Sabtu, 03 Desember 2011

HAK UNTUK MALAS

KATA PENGANTAR


Sebuah aktivitas pemenuhan kebutuhan manusia tidak seharusnya mendominasi dan memperbudak manusia. Kebutuhan akan makanan, pakaian dan tempat tinggal telah ada sejak dulu hingga sekarang. Dahulu manusia melakukannya dengan meramu dan mengumpulkan bahan-bahan kebutuhannya.

Aktivitas ini di zaman kita sekarang disebut kerja. Banyak teoritisi kontemporer, seperti Bob Black[1], mendefinisikan kerja sebagai “aktivitas produktif wajib yang dilakukan di bawah paksaan tuntutan ekonomi atau politik”. Lepas dari kenyataan bahwa ini memang bukan buku antropologi, materi ini tidak menjelaskan mengapa kerja merosot derajatnya menjadi seperti yang kita lihat sekarang. Hal ini sesungguhnya penting, karena untuk mengetahui makna kerja, mau tidak mau kita mesti membahas sejarah kerja. Dalam buku ini tidak juga dibahas apakah populasi manusia yang dahulu sangat kecil dan sumberdaya alam yang melimpah, yang memudahkan aktivitas pemenuhan kebutuhan, telah berperan menjauhkan kerja untuk berubah menjadi aktivitas yang penuh penderitaan. Sayangnya Lafargue juga tidak menyertakan pembahasan tentang konsekuensi-konsekuensi dari kondisi geografis, atau bahkan keberlangsungan populasi manusia itu sendiri, sedemikian rupa sehingga pertanian ataupun kerja-kerja yang lebih kompleks muncul.

Buku ini langsung dibuka dengan serangan terhadap dogma kerja. Lafargue tidak lagi mengarahkan serangannya terhadap kerja yang mengalienasi, sebagaimana Karl Marx yang mengutuk pola buruh upahan. Melampaui meski tidak melupakan analisis Karl Marx, kritik Lafargue lebih mendasar, yakni mengenai kerja itu sendiri. Bagi Lafargue, kerja merupakan aktivitas manusia yang tidak masuk akal. Bahkan baginya kerja bukanlah kebutuhan organik manusia.

Melalui tulisan ini, penulis mempertanyakan mengapa walau sedemikian besar kerja telah dilakukan kaum pekerja, tetap saja kebutuhan jasmaniah dan mental mereka tidak terpenuhi. Kelaparan, kekurangan bahan sandang dan papan semakin menggerogoti hidup mereka. Apakah kaum pekerja kurang rajin, ataukah justru mereka terlalu rajin?

Lafargue menyoroti betapa dahsyatnya dogma kerja diamini oleh kaum pekerja. Dia menuliskan sesuatu yang penting saat menggambarkan bagaimana ketika krisis ekonomi datang, kaum pekerja justru makin giat dan berbondong-bondong baris di tempat kerja untuk bekerja. Mereka enggan menggunakan kesempatan ini untuk mendistribusikan barang-barang yang telah mereka produksi kepada masyarakat umum secara gratis. Di sini penulis terkesan hendak menyiratkan bahwa masalah perubahan sosial juga terkait dengan perubahan kesadaran. Pernyataan Lafargue ini secara tidak langsung mengambil posisi berbeda dari ramalan Karl Marx bahwa kapitalisme berpotensi hancur bila krisis ekonomi datang. Sekali lagi sistem akan tetap kokoh, bukan hanya karena sistem kapitalisme juga semaksimal mungkin bertahan dan merubah diri, melainkan juga sang aktor perubah, proletariat, belum tentu memiliki keberanian untuk menyelesaikan penderitaannya.

Kalau penulis anarkis Peter Kropotkin [2] mengkampanyekan perlunya pencurian, bahkan perampasan roti, kepada proletariat yang dilanda kelaparan; mendorong aksi langsung (direct action) sebagai lawan mekanisme demokrasi, maka lewat jalan lain, Lafargue berteriak lantang, mengapa proletariat tidak merampas saja hasil produksi. Lafargue menuding bahwa proletariat telah digilakan oleh dogma kerja kaum borjuis.

Buku ini juga menguak borok kelas kapitalis beserta etika kerja dan agama. Saat kaum borjuis berjuang melawan kaum bangsawan/ningrat, mereka mengibarkan bendera kebebasan dan kemerdekaan untuk hasrat tubuh yang justru sering diharamkan oleh agama. Namun, di zaman sekarang, kapitalisme mengibarkan etika hemat, kerja keras dan anti bersenang-senang.

Ditulis dengan banyak lelucon dan semangat yang menggelora, Lafargue bergerilya secara zig-zag di antara treks dengan menyerang borjuis dan mengkritik sekaligus mendorong keberanian proletariat. Di satu sisi, membakar semangat proletariat, terutama kelas pekerja Perancis, namun di sisi lain, juga menyiramkan garam memerihkan luka proletariat.

Dalam serangannya ini, lafargue tidak jatuh ke dalam tendensi anti-pekerja, sebagaimana yang tercium keras dalam teks-teks anarkis kontemporer. Tendensi anti-pekerja ini dikritik seorang, anarkis, Chaz Bufe, dalam Listen, Anarchist! Terbitan tahun 1988 dengan kata pengantar oleh Janet Biehl, sebagai “bias anti-pekerja” [3].

Anti-pekerja dalam hal ini adalah memandang pekerja telah bersalah karena menjadi pekerja, dan semena-mena menyetarakan status pekerja dengan tentara, yaitu menjadi salah satu elemen aktif pelindung negara. Tentu saja, dari kacamata yang sangat luas, setiap orang bisa dikategorikan sebagai penyokong sistem. Bahkan pengangguran pun berguna bagi kapitalisme. Namun pekerja, karena fungsinya yang cukup sentral dalam produksi dan distribusi, tetap memiliki potensi menghancurkan negara. Dan fungsi yang terbentuk sejak berabad-abad lalu ini tidak bisa begitu saja dikerdilkan hanya dengan kecaman “ketiadaan keberanian” untuk memilih jalan hidup tidak bekerja. Tidak adil juga memposisikan hal ini sebagai sesuatu yang berhadapan dengan kebutuhan nyata masing-masing individu pekerja. Karena itu, sikap anti-pekerja telah mengaburkan semuanya.

Penolakan terhadap kerja tidaklah dilihat sebagai gerakan melarikan diri ala drop out alias menjadi parasit dengan mengkritik kerja sekaligus bergantung pada orang-orang yang bekerja. Bukan itu, melainkan melihatnya sebagai bagian dari aktivitas ciptaan subyek manusia yang, karena itu, semestinya tunduk pada fitrah manusia. Kerja haruslah tunduk kepada manusia itu sendiri. Seperti harapan Lafargue:

“Sementara itu proletariat, kelas besar yang mencakup semua produsen di bangsa-bangsa beradab, kelas yang dalam membebaskan dirinya akan membebaskan umat manusia dari kerja rendahan membanting tulang dan akan membuat binatang manusia menjadi makhluk bebas; proletariat, dengan mengkhianati nalurinya, meremehkan misi sejarahnya ...” 

Jawaban Lafargue ini menginginkan agar manusia tidak lari dari peradaban, melainkan merubah peradaban kapitalis ini. Penulis ingin meyakinkan kita bahwa etika kerja kapitalis, yang disebarkan ke kalangan rakyat luas, itu buruk dan tak bermanfaat. Tawaran Lafargue sudah jelas, yakni bahwa kerja hendaknya menjadi “sekedar bumbu bagi senangnya kebersantaian, suatu olahraga yang bermanfaat bagi organisme manusia, suatu hasrat yang berguna bagi organisme sosial.” Ini tak bisa dibandingkan dengan waktu bebas seusai kerja yang dalam sistem kapitalisme sekarang ini hanya dipakai untuk mereproduksi kerja. Waktu istirahat, tidur, bahkan seks, kini ditujukan untuk mempersiapkan tubuh pekerja guna kembali diperas dalam kerja (4). Karena itu, Lafargue mengusulkan agar masyarakat di masa depan bekerja tak lebih dari 3 jam sehari.

Dari perihal bekerja, salah satu yang patut mendapat sorotan ialah bahwa manusia bekerja terlalu lama. Berbagai jenis kerja dalam masyarakat manusia banyak yang tak berguna dan memboroskan waktu. Jenis kerja semacam ini sebenarnya bisa dirubah, bahkan bila perlu dihapuskan. Kerja menunggu yang membuang waktu, seperti supir taksi dan satpam, sebenarnya bisa dihapuskan, karena dengan adanya kerja semacam ini, organisasi masyarakat menjadi sangat palsu dan boros waktu. Jenis kerja lain yang sebenarnya tidak terlalu berguna adalah bank, media, iklan dan asuransi.

Selain itu, salah satu sebab mengapa kerja menjadi begitu lama, menurut Lafargue, adalah karena produksi menggunakan model teknologi yang sederhana. Di Indonesia, misalnya, bidang kerja konstruksi masih menggunakan alat-alat sederhana, bukan alat-alat berat yang canggih yang memang diperlukan untuk efisiensi. Hal yang sama juga berlaku di bidang pertanian.

Masih seputar keterkaitan antara perkembangan teknologi dan kerja, Lafargue juga mempersoalkan mengapa dengan makin majunya teknologi, waktu istirahat justru makin berkurang, hari libur makin sedikit. Dalam pandangannya, teknologi memiliki kesempatan begitu besar untuk membantu manusia. Meski demikian, perlu kiranya diungkapkan di sini bahwa pandangan Lafargue tersebut masih jauh dari kritis. Sebuah kelompok Marxis Otonomis Perancis, Socialisme ou Barbarie, telah mengkritik teknologi sebagai “instrumen borjuis di dalam pabrik yang seringkali ditujukan untuk memata-matai dan memperpanjang jam kerja”. Jadi, teknologi bukanlah suatu yang netral sebagaimana dilihat Lafargue.

Dalam “sosialisme ilmiah” tradisional, teknologi kekuatan produksi (mesin) dianggap sebagai faktor yang independen dan netral. Pabrik, misalnya, digambarkan dalam Kapital sebagai puncak dari efisiensi dan rasionalitas. Teknologi kapitalis yang digunakan di dalam pabrik semata-mata dilihat sebagai teknologi. Masalah di dalam sebuah masyarakat yang didasarkan pada persaingan dan keuntungan terletak sepenuhnya pada penerapan teknologi: di dalam sosialisme prioritas lain di dalam produksi tersedia dan pekerja sendiri akan mengelola pabrik-pabrik. Castoriadis, di lain pihak, tidak menganggap teknologi sebagai sesuatu yang netral; di bidang ini juga, dia memandangnya sebagai masalah kekuatan hubungan dan perjuangan. Dia menganggap berlanjutnya pemisahan tugas-tugas tertentu sebagai metode yang digunakan manajemen untuk meningkatkan kontrol mereka atas para pekerja. Dengan mengharamkan setiap gerakan tubuh dalam kaitan dengan mesin, independensi mereka pada gilirannya akan terpengaruh. Di dalam sosialisme, sebuah teknologi baru mesti dikembangkan, yang justru memperkaya proses kerja dan meningkatkan otonomi pekerja. Dengan secara ketat mengharamkan setiap gerakan tubuh dalam kaitan dengan mesin, kemerdekaan mereka jauh lebih terpengaruh. Teknologi, karenanya, pertama dan yang paling utama adalah teknologi kelas. Di dalam sosialisme, sebuah teknologi baru mesti dikembangkan yang akan memperkaya proses kerja dan meningkatkan otonomi pekerja.” (Socialisme ou Barbarie: Sebuah kelompok revolusioner Prancis (1949-1965) oleh Marcel van der Linden).

Kerja menguras waktu, tenaga dan ruang jelajah manusia, padahal ada banyak sekali aktivitas selain kerja. Dengan argumen ini, Lafargue melakukan kontra atas hak untuk bekerja (the right to work) dengan membaliknya menjadi hak untuk bermalas-malasan (the right to be lazy). Usul Lafargue soal bersenang-senang (bukan dalam hal abstrak, melainkan dalam bermain, bercinta, dan lain-lain) jelas merupakan keadaan yang bisa menjadi terapi massal bagi masyarakat. Ini mengingat bahwa sekarang kerja telah menjadi sumber dari banyak penyakit modern, stres, gangguan tidur dan penurunan gairah seks.

Pesan yang hendak disampaikan di sini ialah bahwa pekerja sebenarnya telah bekerja demikian banyak, telah menghasilkan demikian besar. Paul Lafargue juga menutup gong kutukan dengan memaparkan mengapa bekerja membawa petaka bagi para pekerja dari sudut pandang ekonomi-politik.

Analisis Lafargue melampaui para Marxis sezamannya, dan mendekati kaum Marxis otonomis Italia, dengan menyatakan bahwa aktivitas proletariat – melalui resistensinya maupun sikap pasifnya – itulah yang menentukan hidup-mati kapitalisme, dan bukan sebaliknya sebagaimana yang diyakini kaum Marxis tradisional.

“karena kuantitas kerja yang diperlukan masyarakat niscaya dibatasi oleh konsumsi dan oleh pasokan bahan mentah, mengapa kerja untuk satu tahun dilahap dalam enam bulan; mengapa tidak membaginya secara rata selama dua belas bulan dan memaksa setiap pekerja untuk berpuas diri dengan enam atau lima jam sehari sepanjang tahun ketimbang hanya menimbulkan ketaksanggupan mencerna akibat dua belas jam kerja dalam sehari selama enam bulan?”

Demikian Lafargue menyimpukan bahwa kerja juga berarti dihasilkannya sekian kuantitas barang, dan dengan kerja sebenarnya buruh membebani masyarakat dengan sekian kuantitas barang yang harus dikonsumsi.

Namun, berbeda dengan solusi sebagian kalangan anti-kapitalis sekarang ini yang menyerukan pembatasan konsumsi, kemuakan terhadap produk-produk kapitalis tertentu macam Nike, McDonald dan Starbucks, Lafargue justru mematahkan argumen keberpantangan konsumsi dan penghematan ala borjuis. Lafargue menyatakan bahwa proletariat justru harus mengembangkan kapasitas konsumsinya secara tak terbatas. Seruan ini sudah pasti tidak dimaksudkan untuk dilakukan kaum pekerja dalam logika ekonomi kapitalis. Ini serupa dengan ajakan untuk bergaul secara umum dengan perempuan bagi para “biarawan pekerja di dalam gereja aliran kapitalisme” yang telah lama berpantang dan meniadakan hidup. Atau, mungkin saja seruan ini dikumandangkan Lafargue lantaran dia hidup jauh di belakang kita, sebelum datangnya era konsumsi massal.

Lepas dari banyaknya pertanyaan, kontroversi dan perdebatan yang mungkin muncul, agaknya perlu kita pahami bahwa teks ini sudah sangat tua. Di dalamnya terkandung data, nama-nama dan contoh-contoh yang tak lagi relevan untuk masa sekarang, sehingga mungkin dapat diganti dengan gambaran yang lebih bersifat kekinian.

***
Jakarta 18 Agustus 2008
Komunitas Merah-Hitam
<sosialislibertarian@gmail.com>


Referensi:

[1] Bob Black, The Abolition of Work (1985), Loompanics Unlimited, Port Towsend, Washington, United States (ISBN 0-915179-41-5). Sayangnya, teks karya Bob Black yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia kini sulit diperoleh, baik di internet maupun dalam bentuk pamfletnya.
[2] Materinya dapat diperoleh di http://dwardmac.pitzer.edu/anarchist_archives/kropotkin/conquest/toc.html, atau http://www.gutenberg.org/etext/23428
[3] Perlu dicatat bahwa ini merupakan hasil pengamatan Chaz Bufe atas konstelasi Kiri di Amerika Utara pada era 1980-an. Lihat di http://www.seesharppress.com/listen.html
[4] Lihat Harry Cleaver, Reading Capital Politically (http://libcom.org/library/reading-capital-politically-cleaver). Juga materi lainnya, An Interview with Harry Cleaver, di: http://www.geocities.com/CapitolHill/3843/cleaver.html
[5] Untuk pengantar SoB, lihat: http://pustaka.otonomis.org/index.php?title=Socialism_ou_Barbarie




Tidak ada komentar:

Posting Komentar