Kamis, 20 Juni 2013

HAK UNTUK MALAS (halaman 18)



merusak organisme mereka, dibandingkan kerja dalam lingkungan pabrik kapitalis yang merusak.

Ada yang menyebut zaman kita sekarang sebagai abad kerja. Kenyataannya, ini adalah abad kelukaan, kesengsaraan dan korupsi.

HAK UNTUK MALAS (halaman 17)



bahagia, yang sedang mengandung dan menyusui bayi-bayinya, dipaksa pergi ke pertambangan dan pabrik untuk membungkukkan punggungnya dan meletihkan syarafnya. Dengan tangannya sendiri mereka telah menghancurkan kehidupan dna semangat anak-anak mereka. Kaum proletar yang memalukan! Dimana nyonya-nyonya rumah yang ramah itu, yang diceritakan dalam fabel dan dongeng lama kita, yang berani dan terus-terang dalam berbicara, para pecinta Bacchus. Dimana gadis-gadis montok yang selalu bergerak itu, selalu memasak, selalu bernyanyi, selalu menebar kehidupan, memunculkan kesenangan hidup, melahirkan--tanpa rasa sakit--anak-anak yang sehat dan kuat?... Yang kita punya sekarang adalah para remaja putri dan perempuan pabrik, bunga-bunga yang layu terkulai, dengan darah yang lesu, dengan perut yang terganggu, dengan tangan dan kaki yang lemah... Mereka tidak pernah mengenal kesenangan dari suatu hasrat yang sehat, juga tidak mampu menceritakan kesenangan itu dengan sukaria! Dan anak-anak itu? Dua belas jam kerja untuk anak-anak! oh, kesengsaraan. Tapi bukanlah segala segala Jules Simon dari kalangan Akademi Ilmu Moral dan Politik, bukan segala orang Jerman dari kalangan Jesuitisme, yang telah menciptakan suatu kejahatan yang lebih memerosotkan intelijensi anak-anak itu, yang lebih menggerogoti naluri mereka, yang lebih


HAK UNTUK MALAS (halaman 16)



dipaksa menganggap bahwa putra-putra para pahlawan Teror[5] telah menyerahkan diri mereka untuk direndahkan oleh agama kerja, sampai ke titik menerima sejak 2848--sebagai suatu kemenangan revolusioner--hukum yang membatasi kerja pabrik sampai dua belas jam. Mereka memproklamirkan Hak untuk Bekerja sebagai suatu prinsip revolusioner. Proletariat Prancis yang memalukan! Hanya budak yang akan bisa menerima kehinaan seperti itu. Seorang Yunani di masa-masa heroik akan mengajukan syarat dua puluh tahun peradaban kapitalis sebelum dia bisa menerima kebusukan seperti itu.

Minggu, 16 Juni 2013

HAK UNTUK MALAS (halaman 15)



penulis The Essay on Trade mengusulkan untuk memenjarakan kaum miskin dalam "rumah-rumah kerja" yang ideal, yang hendaknya menjadi "rumah-rumah teror, dimana mereka harus bekerja empat belas jam dalam sehari sedemikian rupa sehingga bila dikurangi dengan waktu istirahat makan, harus tetap berlaku dua belas jam kerja yang penuh dan lengkap."


HAK UNTUK MALAS (halaman 14)



memiliki privilese sejak lahir untuk menjadi lebih bebas dan lebih independen daripada buruh-buruh di negeri mana pun di Eropa. Ide ini mungkin berguna bagi para serdadu, karena ia merangsang keberanian mereka, namun makin kecil pekerja pabrik terilhami oleh ide ini, akan lebih baik bagi diri mereka dan negara. Buruh hendaknya jangan sampai melihat dirinya independen dari majikannya. Sangat berbahaya kiranya bila mendorong ketergila-gilaan seperti itu di sebuah negara perdagangan seperti negara kita, dimana barangkali tujuh per delapan penduduknya hanya punya sedikit properti atau malah tidak punya sama sekali. Pengobatannya tidak akan tuntas sampai buruh industri kita berpuas diri dengan bekerja enam hari untuk jumlah penghasilan sama yang kini mereka dapatkan dari kerja selama empat hari." Jadi, hampir satu abad sebelum Guizot, kerja dikhotbahkan secara terbuka di London sebagai pengekang bagi hasrat-hasrat mulia manusia. "Semakin banyak rakyatku bekerja, semakin sedikit kejahatan yang akan mereka lakukan", tulis Napoleon pada 5 Mei 1807, dari Osterod. "Akulah sang penguasa... dan aku hendak menentukan untuk memerintahkan bahwa pada hari Minggu, setelah jam kebaktian berakhir, toko-toko harus buka dan para buruh harus kembali ke pekerjaannya." Untuk memberantas kemalasan dan mengekang sentimen harga diri serta independensi yang muncul darinya,


HAK UNTUK MALAS (halaman 13)



2. PEMBERKATAN KERJA


Pada tahun 1770 di London, sebuah pamflet anonim muncul dengan judul Essay on Trade and Commerce (Sebuah Esay tentang Pekerjaan dan Perdagangan). Pamflet ini cukup menggemparkan di masanya. Penulisnya seorang Filantropis besar, berang bahwa "populasi pabrik di Inggris telah mencamkan--di kepala mereka--ide baku bahwa dalam kualitas mereka sebagai orang Inggris, semua individu yang merupakan orang Inggris


HAK UNTUK MALAS (halaman 11)



akan membebaskan umat manusia dari kerja rendahan membanting tulang dan akan membuat binatang manusia menjadi makhluk bebas; ploretariat dengan mengkhianati nalurinya, meremehkan misi sejarahnya, telah membiarkan dirinya disesatkan oleh dogma kerja. Hukuman baginya pun keras dan kejam. Segala kesengsaraan individual dan sosialnya terlahir dari hasratnya akan kerja.[]


HAK UNTUK MALAS (halaman 10)



bakung di ladang, bagaimana bunga-bunga itu tumbuh; mereka tidak bekerja keras, juga mereka tidak berputar: namun kukatakan pada kalian bahwa, bahkan Solomon sekali pun dalam segala kebesarannya tidaklah tersusun bagus seperti salah satu dari bunga-bunga ini." Jehovah, sang dewa yang berjenggot dan pemarah, memberikan contoh utama kepada para penyembahnya tentang kemalasan yang ideal; setelah bekerja selama enam hari, dia beristirahat untuk selamanya.


HAK UNTUK MALAS (halaman 9)



dan hati melompat mendengarkan si pengemis, yang berpakaian rapi dengan baju yang compang-camping, merundingkan perihal kesetaraan dengan Duke of Ossuna. Bagi orang Spanyol, yang di dalam dirinya naluri kebinatangan primitif belum dihentikan pertumbuhannya, kerja merupakan bentuk perbuddakan yang paling buruk[3]. Orang-orang Yunani di era kebesarannya memandang jijik terhadap kerja: hanya budak-budak mereka yang diperbolehkan bekerja: oranga hanya mengenal latihan/olahraga untuk tubuh dan pikiran. Maka di era inilah orang-orang seperti Aristoteles, Phidias, Aristophanes, bergerak dan bernafas di dalam masyarakat. Inilah masa ketika sejumlah kecil pahlawan di Marathon melibas kelompok-kelompok besar Asia, yang segera akan ditundukkan oleh Alexander. Para filsuf zaman kuno mengajarkan kemuakan terhadap kerja, bahwa ia merupakan kemerosotan manusia bebas. Para penyair menyanyikan kebersantaian, bahwa ia merupakan pemberian Dewa:


HAK UNTUK MALAS (halaman 8)



Kalau di Eropa kita yang beradab ini kita ingin menemukan jejak kecantikan asli manusia, kita harus mencarinya di dalam bangsa-bangsa dimana prasangka-prasangka ekonomi belum melepaskan orang dari kebencian terhadap kerja. Spanyol, yang kini merosot, duh, mungkin masih menyombongkan diri karena memiliki lebih sedikit pabrik daripada penjara dan barak yang kita punyai; namun sang seniman kegirangan mengagumi kuda Andalusian yang gagah, coklat seperti kuda-kuda pribuminya, lurus dan lentur seperti sebatang baja;


HAK UNTUK MALAS (halaman 7)



dengan teliti, dilayani oleh makhluk perawatnya yang berkaki dua, dengan sosok kuda yang sangat kasar di pertanian Normandia yang membajak tanah , menarik kereta pengangkut pupuk, mengangkut hasil panen. Lihatlah kaum liar yang mulia, yang belum digerogoti--oleh para misionaris perdagangan dan para pedagang agama--dengan Kristianitas, sipilis dan dogma kerja. Lalu lihatlah budak-budak mesin yang sengsara di masa sekarang.[2]


HAK UNTUK MALAS (halaman 6)



Kekuatan vital individu serta anak cucunya. Bukannya menentang penyimpangan mental ini, para pendeta, ekonom dan kaum moralis justru menuangkan pemujaan sakral terhadap kerja. Orang-orang yang buta dan terbatas, mereka berharap untuk lebih bijak daripada Tuhan mereka sendiri; manusia yang lemah dan hina, mereka mengira bisa merehabilitasi apa yang telah dikutuk oleh Tuhan mereka. Saya, yang tidak mendeklarasikan diri sebagai seorang Kristen, ekonom atau pun moralis, saya naik banding dari penghakiman Tuhan mereka; dari pengajaran-pengajaran agama, ekonomi atau pun etika pemikiran bebas mereka, ke konsekuensi-konsekuensi yang mengerikan dari kerja dalam masyarakat kapitalis.


HAK UNTUK MALAS (halaman 5)



DOGMA YANG MEMBAWA PETAKA


"Marilah kita malas dalam segala hal, kecuali untuk urusan cinta dan minum, kecuali untuk bermalas-malasan." -Lessing-

Suatu khayalan aneh merasuki kelas pekerja di bangsa-bangsa dimana peradaban kapitalis mencengkramkan kekuasaannya. Khayalan ini selalu membawa serta rangkaian kesengsaraan individual dan sosialnya yang selama dua abad telah menganiaya umat manusia yang berduka. Khayalan ini adalah kecintaan kepada kerja, hasrat mati-matian akan kerja, yang didesakkan bahkan sampai habisnya