Sabtu, 14 Januari 2012

Virgin Mary: Perawan Suci Maryam

17


"Aku tak mengerti. Kau tak mau bersuami? Tapi mengapa?"

Joachim tidak memerlukan waktu lama untuk mengetahui penolakan Mary. Di malam berhujan yang menjadikan Galilea sangat dingin dan sunyi, Barabbas mengungkapkan kepiluannya dengan hati bergolak.

Pada saat makan pagi, Joachim tak mampu membendung kemarahannya. Ia tak mungkin menunggu lebih lama lagi. Ia menunjuk Mary dengan sendok kayunya dan berujar, "Tidak! Aku tak mengerti pendirianmu yang satu ini. Apalagi Barabbas! Kalau memang tak suka padanya, katakan saja terus terang. Jangan berdalih tak mau menikah."

Suaranya bergetar dan sorot matanya diwarnai kebingungan yang sangat.

"Begitulah kenyataannya. Yang harus kulakukan di dunia ini adalah tidak menikah," jawab Mary.

Suaranya mengandung rasa malu sekaligus ketegasan.

Joachim menggebrak meja. Mereka terlonjak. Yusuf, Zacharias, Elisyeba dan Ruth berusaha tak melihat. Baru kali ini Joachim begitu murka kepada putrinya tercinta.

Akan tetapi ucapan dan penolakan Mary lebih mencoreng muka mereka. Mengapa ia berani menolak pilihan ayahnya, siapa pun orang itu?

Hanya Maryam yang siap membela Mary. Ia sama sekali tidak terkejut. Telah berkali-kali Rachel mengatakan bahwa seorang wanita tak berkewajiban mengabdikan seluruh hidupnya di sisi seorang pria.

"Status lajang bukan kesalahan atau musibah," Maryam meyakinkan. "Sebaliknya, seorang wanita yang dapat hidup sendiri dapat memberikan apa yang dibutuhkan oleh dunia dan yang ditolak para pria dengan membebankan peran seorang istri kepadanya. Kita harus mampu menjadi diri sendiri."

Merasa kata-kata itu ditujukan kepadanya, Joachim menggebrak meja lagi sehingga mangkuk-mangkuk dan roti bergetar dibuatnya.

“Kalau kau melajang, siapa yang akan mengurusmu, menghidupimu dan memberimu tempat tinggal jika aku sudah tak ada di dunia ini?” tanyanya.

Mary memandangnya pilu. Ia mengulurkan tangan di bawah meja, menggapai tangan Joachim. Namun lelaki itu menarik tangannya, seakan ingin menumpahkan amarah dan menjauhkan hatinya dari kelembutan kasih sayang putrinya.

“Ayah, aku tahu keputusan ini menyulitkanmu. Tetapi, demi cinta Yang Maha Kekal, tolong jangan mendesakku menikah. Jangan terburu-buru menghakimiku. Ayah tahu aku pun menginginkan yang terbaik.”

“Apakah itu berarti kau akan berubah pikiran?”

Mary menatap ayahnya, menggeleng tanpa bersuara.

“Kalau begitu, kau ingin aku menunggu apa lagi? Sang Messiah?” omel Joachim.

Yusuf menyentuh pundak kawan baiknya.

“Jangan biarkan amarah menguasaimu, Joachim. Selama ini kau selalu mempercayai Mary. Mengapa sekarang kau meragukannya? Berikanlah dia kesempatan untuk menjelaskan.”

“Apakah menurutmu, hal seperti ini dapat dijelaskan? Barabbas adalah pemuda terbaik yang kukenal. Aku tahu betapa dia menjaga anakku. Dan itu bukan hanya sekarang.”

“Oh,” Elisyeba melayangkan pandangan lembut kea rah Mary. “Menyebut Barabbas pemuda terbaik agak berlebihan, Joachim. Jangan lupa, dia seorang penyamun. Aku agak mengerti alasan Mary. Menjadi istri seorang penyamun…”

Zacharias menukas, “Seorang gadis harus menikah dengan pria pilihan ayahnya. Kalau tidak, apa jadinya dunia ini?”

“Kalau memang begitu seharusnya, maka aturan tersebut tidak sebaik kelihatannya,” sela Maryam, tak kalah tegas dari Zacharias.

Semua orang memperhatikan Mary meraih lengan Maryam dan memintanya tak berkomentar, sementara Joachim menikam Elisyeba dengan tatapannya. Ia menunjuk lereng-lereng Nazaret tempat Barabbas mungkin tengah mondar-mandir sekarang ini, walaupun cuaca membuat jalan berlumpur.

“Orang yang kau sebut penyamun itu telah mempertaruhkan nyawanya untuk meyelamatkanku! Tahukah kau apa sebabnya? Gadis ini, anak perempuanku, yang memintanya. Aku masih mengingatnya. Aku tidak pikun. Ingatanku takkan pudar oleh berjalannya waktu!”

Ia kembali menudingkan sendoknya pada Mary. Suaranya kian lantang.

“Aku pun bersedih atas kepergian Abdias. Aku takkan pernah melupakan orang yang menurunkanku dari tiang salib. Tapi Anakku, sejak awal kau tak boleh menyalahkan Barabbas sebagai penyebab kematiannya. Tentara yang membunuhnya, seperti juga ibumu. Mereka dan Herodes pelakunya, bukan yang lain. Bedanya, Abdias bertempur. Ia sungguh pemuda yang gagah. Menurutku, ia meninggal secara terhormat. Demi kemerdekaan Israel, demi kita! Kematian yang membanggakan. Semestinya kaulah orang pertama yang mengatakannya, Mary.”

Dengan nafas tersengal, Joachim memukul meja. Kemudian ia berkata sambil menatap tajam semua orang, “Kutegaskan pada kalian semua, jangan pernah memperlakukan Barabbas sebagai penjahat di depanku! Pemberontak, pembangkang, pencoleng…beberapa julukan kalian itu sampai ke telinganya. Ia berani mengambil tindakan yang tidak sanggup dilakukan orang lain dan loyal pada orang yang disayanginya. Kuulangi lagi, ketika ia meminang putriku, aku bangga menerimanya. Hanya penyamun ini yang pantas jadi suami Mary.”

Pernyataan keras itu disambut kesunyian. Mary, yang masih menatap Joachim, menggeleng seraya membenarkan pendapatnya.

“Ayah benar. BUkan dendam yang membuatku menolak lamarannya. Aku tahu bahwa Abdias, di tempatnya kini, menyayangi Barabbas sebagaimana ia mengasihinya. Aku pun yakin bahwa Barabbas sungguh pemberani. Sifatnya yang satu itu layak dikagumi. Aku tahu ia baik hati, hangat dan lembut walaupun terlihat keras. Kukatakan padanya, ‘Jika aku harus menikah, memang kaulah yang akan kupilih’.”

“Lalu, tunggu apa lagi?”

“Aku tak bisa.”

“Karena aku adalah aku dan tak akan pernah berubah.”

Mary berdiri dengan tenang dan mantap. Sambil memandang lembut ayahnya, ia meneruskan, “Ayah pasti tahu, aku pun seorang pemberontak. Hari esok takkan tercapai dengan kematian Herodes dan tumpahnya darah para serdadu. Masa depan harus diraih dengan hidup yang gemilang, dengan kasih sayang manusia yang tak pernah dapat dicurahkan oleh Barabbas.”

Ia meninggalkan ruang makan tanpa berkata-kata lagi. Ia membiarkan orang-orang terpaku dan bergabung dengan anak-anak yang tengah bermain.

Ruthlah yang menyeruak selubung keterhenyakan di ruangan itu. Ia berkata pada Joachim, “Aku belum mengenal anak Anda dengan baik. Tapi sejak bertemu dengannya di Beth Zabdai, aku tahu ia tak pernah menyerah. Apa pun risikonya. Bahkan Tetua Joseph d’Arimatea harus mengakuinya. Namun ia tetap mencintai Anda dan menghormati Anda sebagaimana layaknya seorang anak kepada ayahnya.”

Joachim, yang masih emosi, menganggukkan kepala.

“Tak usah khawatir,” ujar Yusuf tiba-tiba, “Mary akan selalu mendapat tempat di rumah ini. Aku berjanji, Joachim.”

Joachim menegang. Dahinya berkerut. Ia melayangkan tatapan curiga kepada teman baiknya.

“Kau ingin ia tinggal bersamamu, meskipun ia bukan istrimu?”

Warna merah menjalari wajah Yusuf sampai ubun-ubun.

“Kau paham maksudku,” katanya pelan. “Rumah ini adalah tempat tinggal Mary juga. Ia tahu itu.”


* * *

Beberapa hari selanjutnya, Suasana hati Joachim tak berubah dan mempengaruhi yang lain. Joachim menghindari Mary sebisa mungkin. Suasana sewaktu makan senantiasa beku dan membisu. Joachim mulai mendiamkan Yusuf, walaupun mereka bekerja bersama-sama.

Yusuf tak tersinggung. Pukulan akibat kematian Halwa agaknya meninggalkan sebuah ruang tersendiri dalam dirinya. Ketenangan yang hanya ia nikmati seorang diri.

Barabbas tak pernah muncul lagi. Tak seorang pun berani bertanya pada Joachim apakah pemuda itu masih berada di sekitar Nazaret.

Waktu menunjukkan keajaibannya. Hari-hari musim semi yang menyenangkan bergulir. Kehangatannya, kesuburan ladang-ladang dan berkembangnya bunga-bunga memikat anak-anak, yang kembali gembira di luar rumah.

Penyesalan terlihat di sorot mata Joachim. Ia mulai berkelakar lagi dengan Yusuf di bengkel kerja. Suatu saat selesai makan, ia meraih tangan Mary. Yang lain diam-diam bertukar senyum dan merasa lega. Joachim menggenggam tangan Mary selama Ruth dan Maryam menceritakan dengan geli bahwa Yakub berpura-pura menjadi nabi dalam permainan bersama adik-adiknya.

“Putra Anda berbakat,” kata Ruth dengan ceria kepada Yusuf. “Bahkan orang-orang di Beth Zabdai tak dapat menyainginya. Aku heran di mana Yakub mempelajarinya.”

“Ketika aku mengajak Yakub ke sinagog suatu hari, seorang lelaki berteriak-teriak di sana,” papar Zacharias, yang sebentar saja tertawa. “Anak itu senang melihatnya. Pujianmu berlebihan, Bu, tapi mungkin Yakub benar-benar berbakat.”

Ruth mengerling pada Mary, menggoda. Gadis itu dan ayahnya tergelak sambil masih berpegangan tangan.

Suatu kali, Elisyeba menarik tangan Joachim dan Mary lalu menyatukannya di atas perutnya. Ia senang mengajak orang lain merasakan janin yang mulai tumbuh di rahimnya. Sekali lagi ia berujar, “Bocah ini bergerak begitu merasakan tangan Mary, iya kan?”

“Ketika yang lain menyentuh perutmu, ia juga bergerak-gerak,” canda Joachim. “Semua bayi begitu.”

Elisyeba menyanggah.

“Anakku lain. Ia memberitahuku sesuatu. Mungkin tak lama lagi kau akan menjadi kakek,” ia mengedipkan mata. “Saatnya akan tiba. Aku yakin.”

Joachim mengangkat tangan Mary lalu melepaskannya dengan mimik kecewa.

“Kau sungguh cerdas dapat menyebutkan harapanku pada anak ini.”

Meskipun demikian, kelembutan dan kegembiraan terasa dalam suaranya.


* * *

Maryam memperhatikan bahwa Mary tetap menjaga jarak walaupun kemarahan Joachim mereda. Malam-malamnya tak pernah tenang, dihantui mimpi yang tak pernah diakuinya ketika terjaga esok hari. Di lain waktu, ia bangun terlalu awal. Tak lagi menjelang pagi, namun tatkala seluruh penghuni rumah masih nyenyak. Maryam mulai mengawasinya. Dalam kegelapan, dilihatnya Mary meninggalkan kamar mereka diam-diam. Ia menunggunya kembali dengan mata terbuka lebar, Ia tahu benar bahwa fajar belum menampakkan diri.

Setelah memperhatikan selama tiga hari, Maryam berkata, “Bukankah keluar malam sendirian itu berbahaya? Kau bisa bertemu orang jahat. Atau kakimu terluka sewaktu berjalan-jalan karena gelap.”

Mary tersenyum dan membelai pipi sahabatnya. “Tidurlah, jangan cemaskan aku. Aku baik-baik saja.”

Rasa ingin tahu Maryam bertambah besar. Malam berikutnya, ia mengintai gadis itu. Namun cahaya rembulan menyerupai benang perak belaka. Bintang-bintang tak cukup terang untuk memandu langkahnya. Tatkala Maryam kembali ke beranda, kegelapan amat tebal dan segalanya terpaku di tempat masing-masing. Maryam terdiam dalam keremangan dan menajamkan pendengaran. Ia terbiasa mendengar suara jangkrik, mengenali kepak sayap burung, namun tiada langkah kaki menghampiri telinganya.

Karena khawatir dan bingung, akhirnya ia membongkar rahasia itu kepada Ruth. Mantan pelayan Kuil Essene itu berpikir sejenak dan menjawab, “Mary memang begitu. Mau diapakan lagi? Jangan sampai ada yang tahu bahwa dia sering keluar malam-malam. Nanti Mary mendapat kesulitan.”

Ruth sendiri menunggu hingga tak seorang pun dapat mendengar pembicaraannya. Ia menegur Mary dengan suara lirih, “Kuharap kau tahu apa yang kaulakukan.”

“Mengenai apa?”

“Keluyuran tiap malam.”

Mary menatap Ruth dengan mata terbeliak dan tawanya pecah.

“Itu bukan malam hari, tapi menjelang pagi.”

“Pagi adalah pergantian hari,” gerutu Ruth. “Jangan pada waktu malam. Lama-lama yang lain akan memergokimu.”

Mary tercenung. Ia hampir tersenyum. Matanya bersinar-sinar.

“Menurutmu apa yang kulakukan?”

“Entahlah. Aku tak pernah bisa menebak kelakuanmu. Tapi turuti saranku. Jangan sampai ayahmu, Elisyeba atau Zacharias mengetahui kebiasaan anehmu ini.”

“Ruth! Apa yang ada dalam pikiranmu?”

Ruth mengibaskan tangan. Wajahnya merona.

“Aku tak ingin tahu apa pun yang membuatmu bertingkah aneh dan keliaran malam-malam begitu. Apalagi membayangkannya. Lebih baik turuti saranku.”

Sesaat kemudian, Mary duduk disebelah Maryam.

“Jangan khawatir,” katanya. “Tak ada yang perlu ditakutkan. Tidurlah dan jangan coba mengikutiku. Percuma. Kau akan tahu pada waktunya nanti.”

Maryam semakin penasaran. Ia tergoda untuk mendatangi bengkel kerja Yusuf di malam buta, tetapi ia bertahan. Ia tak boleh mengambil tindakan apa pun yang berpotensi mengacaukan persahabatannya dengan Mary. Ia hanya saling pandang dengan Ruth setiap pagi.

Satu bulan hampir berlalu. Mendadak kala bulan sivan tiba, kenyataan mencuat bagai sambaran petir.

* * *

Mary menemui ayahnya ketika pria itu sedang sendirian. Ia berkata dengan wajah sungguh-sungguh dan penuh kegembiraan, ”Aku hamil. Seorang anak tumbuh di rahimku.”

Wajah Joachim seolah tak dialiri darah.

Melihatnya membisu, Mary melanjutkan dengan riang, “Perkataan Elisyeba tempo hari benar, Ayah akan menjadi kakek.”

Joachim tak kuasa beranjak dari tempat duduknya.

“Siapa ayahnya?” ia mendesis.

Mary menggeleng. “Tak usah cemas, Yah.”

Dada Joachim bergemuruh. Bibirnya gemetar hebat, seakan hendak mengunyah janggutnya sendiri.

“Cukup. Kau harus menjawab. Siapa ayah anak itu/”

“Tidak, Ayah. Aku berani bersumpah demi Tuhan.”

Joachim memejamkan mata dan mengepalkan tangan. Saat terbuka lagi, matanya memerah.

“Apakah lelaki itu Yusuf? Jika memang Yusuf, katakan. Aku akan bicara dengannya.”

“Tak seorang pun.”

“Kalau orangnya Barabbas, katakan.”

“Bukan, Yah. Bukan Barabbas.”

“Kalau ia memaksamu dank au tak berani mengatakannya, akan kubunuh dia dengan tanganku sendiri. Meskipun dia Barabbas yang hebat itu.”

“Dengarkan aku, Ayah. Bukan Barabbas, bukan siapa pun juga.”

Joachim tak tahan mendengar ucapan Mary. Lehernya tersumbat. Ia gemetar sesaat dan memandang anak perempuannya seolah-olah gadis itu tak pernah dikenalnya.

“Kau berbohong.”

“Untuk apa? Anak ini akan lahir. Kita akan melihatnya tumbuh. Ia akan menjadi raja Israel.”

“Bicara apa kau?! Itu tidak mungkin.”

“Tidak mustahil, Yah. Aku menginginkannya lebih daripada apa pun. Aku telah memohon pada Yahweh, terpujilah namaNya untuk selamanya.”

Joachim memejamkan mata lagi. Tangannya yang gemetar meraba dadanya, lalu mengusap wajahnya seakan-akan perkataan Mary telah menodainya.

“Itu tidak mungkin, dan itu melampaui ketentuan Tuhan. Kau sudah kehilangan akal sehat. Malaikat yang diceritakan Zacharias masih bisa kuterima, tapi tidak dengan yang ini.”

“Tapi aku tidak bohong. Ayah akan lihat nanti.”

Joachim menggeleng kuat-kuat. Matanya masih tertutup rapat.

“Mengapa harus bermuram durja karena berita penting yang menyenangkan ini?” Tanya Mary dengan tenang. “Kita semua, aku, Ayah, Joseph d’Arimatea dan yang lainnya tahu bahwa kehidupan manusia yang mengubah wajah dunia. Bukan kematian atau kebencian. Untuk melawan Herodes, hanya dengan indahnya cinta dan kasih sayang. Hal-hal yang tidak diketahui Roma dan kaum tiran.”

Joachim mengibaskan tangannya dengan kuat seolah-olah ucapan Mary adalah kerumunan lalat.

“Kita tidak sedang membahas Herodes dan Israel, tapi anakku yuang ternoda!” serunya. “Dan jangan sebut ini kabar gembira.”

“Ayah, aku tidak ternoda. Percayalah.”

Kini pria itu menatap putrinya dengan pandangan sangat tajam.

Mary berlutut di hadapannya dan merangkum tangannya erat-erat.

“Joachim, Ayahku, mengertilah. Bagaimana mungkin seorang wanita dapat membebaskan Israel dari jajahan Roma, kalau bukan dengan melahirkan juru selamat? Ingatlah. Ingatlah pertemuan yang diadakan Barabbas untuk menentukan hari pemberontakan. Aku bicara dengan Juru Selamat waktu itu. Orang yang hanya mengakui kekuasaan Yahweh, Pemilik jagat raya. Orang yang mentaati firmanNya dan mematuhi aturanNya.

Setelah itu, aku banyak merenung. Aku telah melihat para nabi. Orang-orang yang tercemar oleh darah dan dusta. Tak seorang pun dari mereka yang menyebut kasih sayang. Padahal, di dalam Taurat tertera Kasihilah penerusmu seperti dirimu sendiri.

Bagi kalian semua, fungsi seorang wanita adalah melahirkan. Melahirkan manusia yang patuh atau manusia pembangkang. Bagaiman jika salah satu dari mereka menjadi ibu yang ditunggu-tunggu oleh Ayah, aku sendiri, dan seluruh rakyat Israel?

Hanya aku yang berpikir untuk melahirkan Juru Selamat. Dan itulah yang akan terjadi. Jadi untuk apa cemas, menyiksa diri, dan mempertanyakan masalah ini?”

Bibir Joachim bergerak. Airmata membanjir sampai ke janggutnya.

“Apa yang telah kulakukan sehingga Tuhan tak henti menghukumku?” ia meratap. “Apa gerangan dosaku yang tak dapat Ia ampuni?”

Ia memandang tangan Mary yang masih menggenggam tangannya.

Ia meringis seolah melihat hewan yang menjijikan. Joachim melepas tangannya dengan kasar, berdiri agak sempoyongan. Ia berusaha tidak melontarkan kata-kata yang mungkin dapat disesalinya kelak.

***

Baru setengah hari kemudian, Joachim memberanikan diri menemui Yusuf. Ia ingin mengamati setiap garis di wajah sahabatnya dan tak ingin melewatkan ekspresinya ketika ditanyai.

“Apakah kau tidur dengan anakku?”

Yusuf terkesiap. “Anakmu?”

“Anakku hanya satu-satunya. Mary.”

“Apa maksudmu, Joachim?”

“Kau tahu apa yang kubicarakan. Mary memberitahuku bahwa ia hamil. Katanya, tak ada lelaki yang menyentuhnya.”

Yusuf terpaku.

“Ini tidak mungkin,” ujar Joachim. “Kalau bukan gila, ini dusta. Tergantung dari jawabanmu.”

Yusuf tak tampak gusar oleh pemaksaan Joachim. Wajahnya justru terlihat sangat berduka, menunjukkan luka akibat kecurigaan sahabatnya.

“Bila aku ingin mempersunting Mary, aku tak perlu sembunyi-sembunyi. Aku akan langsung meminta restumu.”

“Ini bukan soal menikah, tapi tidur dengannya dan menghamilinya.”

“Joachim…”

“Brengsek, Yusuf! Katakan ya atau tidak!”

Wajah Yusuf menegang. Pipi dan keningnya berkerut, mulutnya mengerucut. Belum pernah Joachim melihat air mukanya seperti itu.

Reaksi Yusuf menggetarkan Joachim. Ia mengalihkan pandangan sesaat. Kemudian ia bertanya lagi, “Apakah kau percaya bahwa dia hamil?”

“Kalau dia bilang begitu, aku percaya. Aku akan selalu mempercayai perkataan Mary sampai mati.”

“Apa maksudmu?”

“Aku sudah mengatakannya.”

Kini, Yusuf terluka sekaligus bersikap angkuh. Joachim tergetar dan mengusap wajahnya.

“Aku bingung, aku bingung! Aku tak mengerti apa-apa lagi,” ia merintih.

Yusuf mengabaikannya. Ia berbalik dan sibuk membereskan perangkat kerja yang tergeletak di atas meja.

Joachim maju dan menghela pundaknya. “Jangan berpaling dariku, Yusuf. Aku harus bertanya padamu.”

Yusuf berbalik dan menunjukkan ekspresi yang mengisyaratkan agar sahabatnya tidak mengajukan pertanyaan lagi.

“Yusuf, Yusuf!” raung Joachim dengan pipi basah kuyup.

Didekapnya teman baiknya itu.

“Yusuf, kau sudah kuanggap anak sendiri. Aku berutang segalanya padamu sampai hari ini. Kalau kau menginginkan Mary, aku akan menyerahkannya sebelum dipinang Barabbas…” Dengan nafas tersengal, Joachim merenggangkan pelukannya agar dapat melihat air muka Yusuf. Tak ada kepalsuan di sana.

“Tapi setelah anakku mengandung, itu tidak mungkin lagi. Tak mungkin ada yang menginginkannya lagi, bukan?”

“Dengarkan kata-kata anakmu. Dengarkan dia, jangan mencurigainya seperti yang kau lakukan sejak dia kembali.”

Entah karena suara Yusuf atau kata-katanya, kecurigaan Joachim mendadak bangkit lagi.

“Kau mengetahui sesuatu dan menyembunyikannya dariku.”

Yusuf mengangkat bahu. Ia tak mampu berpaling, tetapi juga tak sanggup menentang sinar mata Joachim yang penuh amarah. Parasnya memerah seperti biasa jika tengah dilanda emosi.

“Aku tak bisa mengatakan apa-apa. Aku menyayangi Mary dan akan melakukan apa saja yang ia minta.”

***

Setelah Mary memberitahu kehamilannya, Ruth mengelilingi ruangan dalam rumah. Ia kebingungan dan tak mampu mengurus anak-anak yang memilih bermain di luar rumah yang tengah terguncang itu.

“Berhentilah mondar-mandir,” tegur Maryam. “Perbuatan Anda mengesalkan.”

Ruth segera duduk. Pandangannya kosong.

“Hatimu pasti hampa juga,” celoteh Maryam lagi.

“Aku sudah mengatakannya. Sudah kukatakan ini akan terjadi.”

“Ini apa?”

Ruth membisu. Tetapi Maryam mengguncang pundaknya.

“Yang terjadi pada Mary, bukan ‘ini’! Apakah Anda tidak mengerti?”

“Apa yang menimpanya sudah dapat diterka.”

“Demi Tuhan! Tak seorang pun ingin mendengarkan Mary! Juga Anda yang mengaku teman baiknya. Memalukan!”

“Tentu saja aku loyal padanya, seperti dirimu. Tidaklah kau mendengar aku menegurnya? Yang kukatakan padanya adalah nasihat, bukan sekedar mengaguminya selalu. Apakah kau ingin aku bersuka-cita?”

“Tentu saja, ya. Anda tidak boleh bersusah hati, tapi bergembira mendengar kabar baik ini.”

“Berhentilah menyebutnya kabar baik!”

“Dengarkan apa kata Mary. Tak ada pria yang menyentuhnya.”

“Jangan bodoh! Aku sudah berumur dan pernah hamil. Aku heran mengapa Mary ngotot mengatakan hal aneh ini.”

Kalau Anda menyayanginya, Anda tak perlu heran!” pekik Maryam dengan kesal. “Satu-satunya jalan hanya mempercayainya. Putra Cahaya telah dating, di rahim Mary dan ia sendiri tetap suci.”

“Aku tak bisa,” Ruth membentak. “Aku sudah banyak mendengar kegilaan terjadi di Beth Zabdai. Tetapi seorang wanita hamil tanpa pernah bersentuhan dengan lelaki mana pun adalah kekonyolan terbesar yang belum ada!”

“Kalau begitu, Anda tidak pantas menjadi temannya.”

***

Malam harinya, Elisyeba berkata sambil menangis, “Zacharias tak mampu bicara lagi. Ia sangat malu sehingga tak ingin mengatakan apa pun di rumah ini.”

“Baguslah, biar dia menumpahkan rasa malunya di luar saja,” tukas Maryam.

Tatkala Elisyeba dan Ruth menatapnya sedih, Maryam menunjuk perut Elisyeba yang besar sambil berkata tajam, “Anda mengatakan bahwa malaikat datang memberitahu Zacharias bahwa ia dapat menjadi pria sejati jika hembusan angin menjatuhkannya ke tanah. Anda hamil padahal tidak bisa mengandung selama tiga puluh tahun! Keajaiban ini sama dengan yang dialami Mary.”

Di luar dugaan, Elisyeba mengangguk. Tetapi air matanya masih berlinang.

“Aku percaya. Sangat percaya. Tapi Zacharias…Zacharias seorang pria. Juga pendeta. Seperti Joachim, ia tak bisa mempercayainya…”

Mereka bertiga berusaha menenangkan diri dan tenggelam dalam pikirannya masing-masing.

“Di mana Mary?” bisik Ruth. “Aku tak melihatnya sejak tadi pagi.”

“Ia tak terlihat sejak Joachim tak mampu menerima keadaannya,” tandas Maryam.

***

Malangnya Joachim tak pernah bisa menerima apa yang terjadi pada putrinya.

Ketika Barabbas muncul di hadapannya, ia menanyainya seperti pada Yusuf. Barabbas menjawab dengan ketersinggungan yang kental, “Mengapa aku tidur dengan wanita yang tidak menginginkanku?”

“Hal itu bisa saja terjadi. Penolakan membangkitkan amarah, dan amarah mengalahkan akal sehat.”

“Aku tak pernah mengalahkan akal sehat sampai ingin meniduri seorang perempuan. Aku suka bertempur dengan orang Roma dan tentara Herodes. Di mana letak kepuasan yang dapat kuperoleh dengan merenggut kehormatan Mary?”

Joachim tahu perkataannya benar. Ia tak meragukan ucapan Barabbas maupun kesungguhan yang terlihat di wajahnya.

Seperti halnya Joachim, Barabbas terperangah mendengar berita itu. Mereka sukar melupakan ucapan Mary yang terekam dalam benak.

Barabbas berseru tiba-tiba, “Pasti ini perbuatan Yusuf!”

“Darimana kau tahu?”

“Aku merasakannya.”

“Ia bersumpah bahwa bukan dia pelakunya.”

“Omong kosong! Semua orang bisa melakukannya.”

“Mary bersumpah atas nama ibunya bahwa ayah bayinya bukan dia atau kau.”

Sikap Barabbas menumbuhkan keraguan Joachim.

“Ia mengatakan tak seorang lelaki pun menyentuhnya,” ujar Joachim lirih. “Mengapa ia berkata begitu?”

“Jelas, Mary malu. Pasti laki-laki itu adalah Yusuf. Dialah yang terlintas di benakku. Kematian Halwa membuat darahnya bergolak. Ia tak sanggup menanggung kesepian. Ia melihat Mary seperti lalat yang mengerumuni buah segar. Kalau perlu, ia akan menjilati kakinya.”

“Lalu mengapa Yusuf tak pernah melamar Mary? Ia boleh melakukannya. Aku takkan menolaknya.”

“Mungkin mau, tapi takut ditolak. Maka beginilah jadinya.”

“Kecemburuan membuatmu berkhayal!” protes Joachim.

“Aku punya mata dan otak. Aku melihat apa yang kulihat.”

Barabbas tetap tak ingin menyerah. Dalam kegalauan, ia berkata lagi, “Kalau bayi Mary lahir, wajahnya pasti mirip Yusuf. Saat itu Anda tahu bahwa aku benar.”

Penekanan ini membuat Jaochim ragu. Barabbas menambahkan, “Pertemuan Mary dan Yusuf. Kebohongan mereka akan terbongkar.”

***

Keesokan harinya, Mary hadir bagaikan terdakwa. Ketujuh orang itu berada di ruang tamu, berdiri di depan meja makan. Joachim dan Barabbas, Zacharias dan Elisyeba, Ruth, Maryam dan Yusuf.

Joachim memanggil anak perempuannya tanpa mengetahui keberadaannya. Ia meneriakkan nama Mary di sekeliling beranda. Maryam mengatakan tak seorang pun tahu di mana Mary berada. Namun Yakub, putra sulung Yusuf, berkata, “Aku tahu. Kami bermain seharian ini. Sekarang, Mary sedang mandi di sungai bersama Libna dan Shimon.”

Ia segera menghilang dan kembali sambil menggandeng Mary. Di hadapan gadis itu, semua salah tingkah.

Mary nampak sangat cantik. Matanya jernih dan lembut. Helaian rambutnya yang pendek, yang kini menutup tengkuknya, jatuh tak beraturan di tulang pipinya.

Ia mengecup dahi Yakub dan memintanya bermain dengan yang lain. Ketika berbalik, Mary tahu apa yang akan terjadi. Ia tersenyum. Senyumannya benar-benar lembut. Juga saat ia berujar, “Kalian semua tak percaya padaku.”

Mereka hendak menunduk saat tiba-tiba Barabbas menyahut. “Anak kecil pun takkan percaya.”

“Aku percaya!” sergah Maryam.

“Kau akan mengatakan apa saja untuk membelanya, Gadis dari Magdala,” cetus Barabbas.

“Jangan bertengkar karena aku,” Mary menengahi dengan tegas.

Ia menghampiri Barabbas. “Aku tahu kau kecewa. Penolakanku atas pinangmu melukai hati dan egomu. Aku juga tahu bahwa kita saling mencintai. Tapi sudah kukatakan, aku tak bisa menikah denganmu. Keputusan ada padaku dan di tangan Tuhan.”

“Kau mengatakan dua hal yang bertolak belakang!” bentak Barabbas. “Bagaimana aku bisa percaya padamu?”

Mary tersenyum dan meletakkan jemarinya di bibir pemuda itu, memintanya tenang.

“Karena jika kau mencintaiku, kau akan mempercayaiku.”

Ia berpaling pada Joachim tanpa mencemaskan protes Barabbas.

“Ayah juga meragukanku. Namun, ayah menyayangiku melebihi apa pun. Ayah harus menerima keadaan ini. Aku mengandung tanpa pernah disentuh seorang lelaki.”

Joachim menggeleng dan menghela nafas. Yang lain tak kuasa berkata-kata. Wajah Mary berubah keras. Ia mundur beberapa langkah dan mendadak menyibak pakaiannya. Ia mengangkat baju sampai lutut, membuat Joachim terkejut luar biasa.

“Inilah satu-satunya bukti. Yakinkan diri kalian bahwa aku masih perawan.”

Joachim memalingkan pandangan sambil menggumam tidak jelas. Di sisinya, Zacharias bergetar sedangkan untuk pertama kalinya, Barabbas menunduk.

“Lakukanlah, demi ketenangan kalian semua. Aku siap,” desak Mary.

Semua orang merasa ditampar oleh gadis itu.

“Tentu saja, kalian tak dapat melakukannya sendiri,” ucap Mary dingin. “Elisyeba akan tahu.”

“Oh, tidak!”

“Kalau begitu, Ruth.”

Ruth berbalik, ia ingin bersembunyi di ruang bawah.

“Maryam tidak bisa. Barabbas bilang, ia akan berdusta untuk melindungiku. Carilah seorang bidan di Nazaret. Ia dapat memastikan keadaanku.”

Setelah ia selesai bicara, suasana riuh-rendah.

“Tak usah malu, karena kalian meragukan perkataanku.”

Joachim mundur sambil menarik Zacharias. Ia duduk dibangku dekat meja.

“Seandainya yang kau katakan benar,” katanya dengan suara lirih.

Sambil memandang putrinya seakan-akan dia sakit, Joachim bertanya, “Tahukah kau apa yang akan dialami seorang wanita hamil tanpa suami?”

Ia meneruskan kata-katanya dengan getir, “Menurut hokum, kau akan dirajam.”

Tangannya terjatuh lemas ke atas meja.

“Mula-mula, akan tersiar kabar tak sedap di Nazaret dan tersebar dengan cepat di seluruh Galilea. Orang-orang akan bergunjing, ‘Anak si tukang kayu Joachim mengandung anak haram’. Bayangkan rasa malunya. Cibiran tetangga. Dan anak yang kau kandung takkan pernah melihat matahari.”

Joachim memandang berkeliling.

“Karena kami ingin melindungimu dan menutup aib ini, kami akan disumpahi untuk selamanya.”

“Apakah kalian takut?” Tanya Mary dingin. “Kalian boleh melaporkan aku.”

Semua menunduk dengan tenggorokan tersumbat. Dalam kesenyapan yang menyerupai sekat, Mary mendekati ayahnya dan mengecup keningnya seperti yang dilakukannya pada Yakub. Ia meninggalkan ruangan itu dengan tenang, membiarkan yang lain dalam kegundahan.

***

Mereka saling menghindar hingga malam tiba. Masing-masing takut pada pikirannya sendiri maupun pikiran yang lain.

Saat petang menyeruak, Yusuf memecah kebisuan ini dan mengajukan usul yang mengejutkan. Ia menemui Joachim dan berkata, “Jangan buang anakmu. Sudah kukatakan rumah ini adalah rumahnya juga, keluarganya adalah keluargaku. Mary punya tempat tinggal di sini, dan anaknya adalah anakku juga. Bila suatu hari nanti orang-orang Nazaret menanyakan nama ayah bayi itu, ia boleh mengatakan bahwa kami bertunangan dan memberikan namaku.”

“Ah!” seru Barabbas. “Akhirnya!”

Yusuf menoleh padanya dengan tinju teracung. “Berhenti melecehkan orang yang lebih tua darimu!”

“Kau pembohong dan pengecut. Mary berkorban demi nama baikmu.”

Yusuf melompat kea rah Barabbas. Mereka bergulat dan berguling di tanah. Joachim berusaha keras melepaskan tangan Barabbas yang mencekik Yusuf.

“Tidak! Hentikan!”

Ruth dan Maryam harus membantunya memisahkan mereka, sementara Zacharias dan Elisyeba menjauh ketakutan.

Sambil berdiri, Yusuf dan Barabbas mengibaskan debu yang mengotori pakaian mereka. Keduanya saling pandang dengan nafas memburu. Joachim memegang tangan masing-masing namun tak kuasa mengucapkan sepatah kata pun.

Yusuf meronta dan menjauh. Ia mengatur nafas sambil menunduk. Saat mnegangkat kepala lagi, ia berujar, “Rumahku terbuka untuk siapa pun. Tapi tidak bagi orang yang tak mau mendengar kebenaran dari mulut Mary.”

***

Amarah, sakit hati dan kekecewaan mendorong Barabbas meninggalkan Nazaret saat itu juga.

Keeseokan harinya, Zacharias memasang kuda di kereta bobrok yang dibawanya dari Yudea. Dalam kereta itulah, Hannah menemui ajalnya. Elisyeba naik dengan airmata bercucuran, mengatakan bahwa mereka tak perlu pergi secepat itu. Tetapi Zacharias yang tetap diam seribu bahasa, tak mengindahkannya. Dengan tali kekang dan cemeti di tangan, ia menunggu Joachim yang tengah menimbang-nimbang.

Keraguan terlihat jelas dalam tindak-tanduknya. Nafasnya tersendat. Ia mendekati Yusuf, menepuk dadanya dan menghembuskan nafas di wajahnya.

“Bila kau bersalah semoga Tuhan mengampunimu. Untuk kemurahan hatimu, Tuhan pula yang akan member ganjarannya.”

Yusuf memegang lengan Joachim dan berkata, “Kembalilah, Joachim! Kembalilah kapan pun kau mau.”

Joachim mengangguk. Ia melewati Mary tanpa menoleh dan menggapai sisi kereta. Dipandanginya bangku yang masih ternoda cipratan darah Hannah dan duduk di sana. Untuk pertama kalinya sosok tukang kayu itu terlihat sangat renta.

Ia terlonjak mendapati Mary mengikutinya. Gadis itu berdiri di sebelah kereta, sangat dekat dengan tempatnya duduk. Ia meraih tangan Joachim, mengelusnya penuh kasih sayang, dan menyentuhkan jemari ayahnya ke pipinya.

“Aku sayang pada Ayah. Tak ada anak perempuan lain yang seberuntung aku karena memiliki orangtua sebaik Ayah.”

Saat itu, Joachim tercenung. Ia berpikir untuk turun dari kereta.Dadanya bergemuruh dalam kegalauan. Tetapi Zacharias melayangkan cemetinya ke punggung kuda. Isak tangis Elisyeba semakin nyaring tatkala kereta menjauh. Roda-roda kayu melindas bebatuan yang tersebar di jalan, berderit dengan laju yang lambat.

Dengan lembut dan sangat hati-hati, Yusuf menyentuh bahu Mary.

“Aku mengenal baik sifat ayahmu. Suatu hari kelak, ia akan kembali dan bermain dengan cucunya.”

Mary mengucapkan terima kasih melalui senyuman. Matanya bersinar dan pipinya memerah walau tangisnya belum mereda.

Maryam dan Ruth memandangi gadis itu seraya berdiri di antara anak-anak Yusuf. Malam harinya, Ruth yang Nampak makin tua dalam cahaya lampu minyak nan samar, memohon pada Mary, “Izinkan aku mendampingimu, Mary. Jangan memintaku untuk mempercayai apa yang tak bisa kuterima. Cukup minta kau menyayangi dan mendukungmu. Aku akan memenuhinya sampai jantungku berhenti berdetak, bahkan tanpa memahami alasannya.”

Mary memberi isyarat dengan tangan kepada kedua teman akrabnya. Gerakan yang aneh dan agak lambat, seolah-olah ia melambaikan tangan pada mereka sepulang dari perjalanan jauh. Ruth dan Maryam pertama kalinya dilanda perasaan yang menerpa mereka untuk seterusnya, dianggap asing oleh orang-orang yang mereka kenal dekat.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar