16
Mereka tiba di kawasan pemukiman Nazaret dua hari sebelum bulan nisan. Di langit, cemerlang matahari musim semi memupus musim dingin yang menusuk tulang. Sepanjang jalan dari Safuria, sang surya mengintip kerimbunan pohon aras dan mélèze . Di mulut Nazaret, kereta merangkak dalam gulita pagar tanaman yang membingkai jalan. Kepada Ruth dan Maryam yang masih asing melihat perbukitan itu, Mary menunjukkan jalur-jalur dan ladang yang membangkitkan memori kegembiraan masa kecilnya. Ia sudah tak sabar ingin berjumpa ayahnya, Halwa dan Yusuf, sehingga kepedihan akibat kematian ibunya nyaris terkikis.
Tatkala rumah Yusuf telah di depan mata, Mary tak kuasa membendung gejolak hatinya. Kuda-kuda yang letih membuat kereta berjalan lambat. Mary melompat turun dan berlari menyusuri lorong utama yang kelam.
Joachim jelas telah menantikan kedatangannya. Ia muncul dan merentangkan tangan. Mereka berpelukan dengan airmata berlinang di pipi masing-masing. Kegembiraan dan kesedihan larut menjadi satu.
Joachim terus berucap, “Kau sudah datang, Nak. Sudah datang...”
Mary mengecup pipi dan kening ayahnya. Kerutan di wajah Joachim semakin banyak, bersaing dengan uban di kepalanya.
“Aku langsung berangkat begitu menerima surat ayah!”
“Tapi..rambutmu? Apa yang kau lakukan dengan rambut indahmu? Apakah sesuatu terjadi di perjalanan? Tempat ini terlalu jauh untuk seorang anak perempuan.”
Mary menunjuk kereta yang mendekati halaman.
“Tidak, jangan khawatir. Aku tidak sendirian menuju kemari.”
Sewaktu Mary memperkenalkan Rekab, Maryam dan Ruth kepada ayahnya, sepasang suami-istri yang sudah berumur keluar dari rumah Yusuf. Kebingungan menyergap mereka sejenak.
Yang pria berjanggut panjang khas pendeta. Matanya dalam dan agak tajam. Istrinya mungil dan agak gemuk, anggun, berumur sekitar empat puluh tahun. Ia menggendong seorang bayi merah, diikuti beberapa soosk kecil. Mary mengenali mereka sebagai anak-anak Halwa. Yakub, Yusuf junior, Shimon dan Libna.
Ia memanggil mereka sambil merentangkan kedua tangan. Namun hanya Libna yang mendekat dengan senyum malu-malu. Mary meraihnya ke dalam pelukan dan bertanya kepada yang lain, “Ada apa? Kalian tak mengenaliku lagi? Ini aku, Mary.”
Sebelum anak-anak itu membuka mulut, Joachim yang masih emosional karena pertemuan itu buru-buru menggamit pasangan tadi.
“Ini Zacharias, sepupu yang menampung aku dan ibumu di rumahnya. Semoga Tuhan memberkati Hannah. Dan ini Elisyeba, istrinya yang baik hati. Yang digendongnya ini Yehuda, anak bungsu Yusuf! Semoga Yang Maha Kuasa melindunginya...”
“Ah! Satu lagi!” seru Mary riang. “Sudah tahu badannya lemah, Halwa masih menambah anak. Tapi di mana dia? Masih tidur? Dan Yusuf?”
Hening mencekam sesaat Joachim membuka mulutnya tanpa suara. Zacharias, menoleh pada istrinya yang membelai bayi dalam pangkuannya.
“Apa yang terjadi?” Mary semakin penasaran. “Di mana mereka berdua?”
“Aku di sini.”
Suara Yusuf, yang muncul dari bengkel kerja di belakang Mary, mengejutkan gadis itu. Ia langsung berbalik. Dengan penuh suka cita, diturunkannya Libna dan dirangkulnya Yusuf. Pipi lelaki itu merona tatkala ia melewati Ruth dan Maryam tanpa menoleh pada mereka.
“Yusuf!” tegur Mary dengan kerongkongan tersekat. “Di mana Halwa?”
Langkah Yusuf limbung. Ia memegang pundak Mary, mendekapnya dengan isak tertahan.
“Yusuf!” ulang Mary.
“Halwa meninggal saat bersalin.”
“Oh tidak!”
“Tujuh hari yang lalu ia berpulang.”
“Tidak! Tidak! Tidak!”
Teriakan Mary sangat keras sehingga semua menunduk, seolah-olah telah ditempeleng.
“Ia sangat bahagia memikirkan kedatanganmu,” bisik Yusuf seraya menganggukkan kepala. “Ya Tuhanku, ia benar-benar gembira! Ia terus menyebut namamu sebelum menutup mata. ‘Mary seperti saudara bagiku…Aku rindu Mary…Mary akhirnya kembali.’ Kemudian…”
“Tidak!” pekik Mary sambil mundur selangkah. Ia mengangkat wajah ke angkasa. “Oh Tuhan, tidak! Mengapa kau ambil Halwa? Juga ibuku? Kau tak bisa melakukan ini padaku.”
Tangan Mary terkepal, menghantam perutnya seakan ingin meredam kepedihan yang menyayat di sana. Sekonyong-konyong ia menyerang Yusuf dengan tinjunya.
“Dan kau? Kenapa kaubiarkan dia hamil?” ia meraung. Kau tahu ia sakit! Kau tahu itu!”
Yusuf tak berusaha menghindar. Ia menunduk. Airmatanya membanjir. Maryam dan Ruth segera menarik tubuh Mary, smeentara Zacharias dan Joachim menghela Yusuf ke belakang.
“Tenang, tenang, Nak,” Zacharias terperanjat.
“Dia benar,” gumam Yusuf. “Selama ini aku selalu mengulang-ulang ucapannya dalam hati.”
Elisyeba mundur, melindungi anak-anak dari semburan amarah Mary. Bayi dalam pelukannya terbangun. Ia berujar keras, “Tak ada yang bersalah. Kau tahu wanita kerap menghadapi risiko maut. Itu sudah merupakan ketentuan Tuhan.”
“Tidak!” teriak Mary sambil menepiskan tangan Ruth. “Tidak sama! Tidak ada kematian yang mneyerupai risiko melahirkan, terutama wanita yang memberikan kehidupan!”
Kali ini, si bayi menangis. Elisyeba mendekapnya dan membawanya ke dalam rumah. Libna dan Shimon tersedu-sedu sambil berpegangan erat pada ujung pakaian wanita itu. Si sulung Yakub memegangi Yusuf junior sambil memandang Mary dengan mata membulat. Yusuf tak kuat lagi menahan tangis dan menutupi wajahnya dengan kedua tangan.
Zacharias menyentuh pundak suami Halwa itu dan menoleh pada Mary.
“Kata-katamu keliru, Anakku. Yahweh tahu apa yang dilakukanNya,” ia berkata tegas. “Ia menilai, mengambil, memberi. Ia Maha Kuasa, Pencipta alam semesta dan segala isinya. Tugas kita adalah mematuhiNya.”
Mary tak menghiraukan perkataan itu.
“Di mana dia? Di mana Halwa?”
Di dekat ibumu,” jawab Joachim lirih. “Hampir satu lubang.”
* * *
Tatkala Mary bergegas ke pekuburan Nazaret, yang lain mengikutinya dengan ragu-ragu. Dengan paras berselubung duka, Yusuf melihat gadis itu lenyap dalam kegelapan jalan setapak. Tanpa berkata-kata, ia mengurung diri dalam bengkel kerja. Bersamaan dengan itu, Elisyeba mengajak anak-anak masuk sambil menenangkan si kecil Yehuda.
Akhirnya, Joachim bangkit. Ia mengikuti anak perempuannya dari kejauhan bersama yang lain. Tetapi di gerbang pekuburan, Ruth menarik tangan Maryam dan menahannya. Rekab berdiri di belakang mereka, sementara Zacharias melangkah dengan tenang ke belakang Joachim. Meskipun demikian, mereka juga tak berani mendekati kawasan tempat peristirahatan terakhir Hannah dan Halwa.
Hingga petang merebak, Mary berdiam di makam. Menurut tradisi, mereka yang mengunjungi sebuah pusara meletakkan kerikil putih sebagai tanda kedatangannya. Akan tetapi, Mary menaburkan sejumlah besar batu yang diambilnya dari karung yang diletakkan beberapa langkah dari nisan. Sekujur makam tertutup kerikil. Sedikit demi sedikit, kedua pusara itu berubah menjadi gundukan putih yang tertimpa kilatan mentari musim dingin. Setelah batu ditangannya habis, ia kembali merogoh karung tadi.
Sekali lagi, Zacharias ingin memprotes. Joachim melarangnya dengan kerlingan. Zacharias menghela nafas sambil menggelengkan kepala.
Selama itu, Mary terus berbicara. Mulutnya komat-kamit namun tak satu pun mendengar apa yang ia ucapkan. Ruth memberitahu yang lain bahwa Mary tidak benar-benar berbicara. “Ia berbuat sama di makam Abdias, di Beth Zabdai,” ia bercerita.
“Begitulah caranya bercakap-cakap dengan mereka yang telah tiada. Kami semua tidak mampu melakukannya.”
Sambil memandang Zacharias yang terlihat keheranan, Ruth melanjutkan, “Di Beth Zabdai, Tetua Joseph d’Arimatea sudah terbiasa melihat Mary seperti ini dan tak pernah menegurnya. Ia juga tidak menganggapnya gila. Terhadap yang menilainya demikian, Joseph memandangnya telah melewati batas kesopanan dan di luar adapt kebiasaan. Ia mengetahui penyakit yang bersarang dalam jiwa seperti halnya yang menggerogoti raga. Aku bahkan berani memastikan, jika ada wanita yang dikaguminya dan dipandangnya setara dengan pria meski masih muda, Mary lah orangnya. Ia mengatakannya berulang-ulang kepada para bruder di kuil, seperti Anda, Zacharias. Menurut Joseph, Mary berbeda dari wanita pada umumnya dan jangan berharap ia akan bertindak seperti orang lain.”
“Wajar jika ia bereaksi keras mendengar semua kematian ini,” Maryam menambahkan dengan lembut. “Sejak Abdias tiada, Mary sudah terlalu banyak menanggung duka. Ia dan kalian semua. Aku hanya dapat berkata-kata untuk menghibur kalian.”
Tetapi ketika kembali ke rumah Yusuf malam itu, Mary terlihat tenang dan tabah. Ia berkata pada Joachim, “Aku mendoakan Ibu agar mengampuniku atas semua kesedihan yang telah kutimbulkan. Aku tahu ia merindukanku dan seharusnya aku berada di sisinya. Kujelaskan padanya penyebab aku tak dapat memberikan kebahagiaan itu. Mungkin di tempatnya berada, di tempat abadi Yang Maha Kuasa, ia akan mengerti.”
“Jangan salahkan dirimu, Nak,” tukas Joachim, matanya berkaca-kaca. “Semuanya salahku, bukan salahmu. Kalau saja aku dapat menahan diri, kalau saja aku tak nekad membunuh seorang serdadu dan melukai seorang petugas pajak, ibumu pasti masih hidup. Kita takkan mengalami nasib malang begini.”
Mary mengelus janggut ayahnya dan mencium pipinya.
“Jika aku tak boleh menyalahkan diri, berarti Ayah jauh lebih tak bersalah daripada aku,” katanya dengan suara halus. Hari itu ayah bertindak atas nama kebenaran, seperti yang Ayah lakukan sepanjang hidupmu.”
Sekali lagi, mereka menunduk. Mary masih berbicara. Kini keteguhannya yang mengejutkan Joachim, bukan amarahnya. Bahkan Zacharias tak memprotes lagi. Namun sulit dijelaskan sumber kekuatan yang mengaliri Mary waktu itu.
* * *
Setelah memeluk ayahnya malam itu, Mary menemui Yusuf di bengkel. Saat ia berdiri di ambang pintu, lelaki itu memperhatikannya mendekat dengan agak takut.
Marry menghampirinya dan meraih tangannya. Ia membungkuk.
“Maafkan aku. Aku sangat menyesali semua yang telah kukatakan tadi. Itu tidak benar. Aku tahu betapa Halwa bahagia menjadi istrimu dan ia senang menjadi ibu.”
Yusuf menggeleng, tak mampu berkata-kata.
Mary mengembangkan senyum lembut.
“Tetua di kuil, Joseph d’Arimatea, kerap menegurku karena mudah terbakar nafsu amarah. Dia benar.”
Suaranya yang lunak menenangkan Yusuf. Ia menghela nafas, menyeka mata dengan sehelai chiffon yang tergeletak di bangku.
“Ucapanmu benar. Kami berdua tahu bahwa melahirkan satu anak lagi dapat merenggut nyawanya. Seharusnya kami dapat mencegahnya.”
Senyuman Mary melebar. “Alasan utamanya karena kalian saling mencintai, Yusuf. Cinta itu harus menimbulkan kehidupan yang sama indah dan baiknya.”
Yusuf memandang gadis itu terhenyak, seolah-olah pikiran itu tak pernah tersirat di benaknya.
Mary melanjutkan, “Di makam tadi, aku berjanji pada Halwa takkan mengabaikan anak-anaknya. Mulai hari ini, jika kau kehendaki, mereka akan kuurus seperti anakku sendiri.”
“Tidak! Keputusanmu keliru. Kau masih muda, kau akan segera memiliki keluarga sendiri.”
“Jangan mengaturku. Aku tahu apa yang kukatakan dan apa yang kuhadapi.”
“Tidak,” tegas Yusuf. “Kau tak menyadarinya. Empat anak lelaki dan dua anak perempuan! Itu sangat berat! Kau tidak terbiasa dengan keadaan itu. Halwa mengorbankan kesehatannya untuk itu. Aku tak mau kau jadi sakit pula karenanya.”
“Sungguh konyol. Memang kau bisa mengurus mereka sendiri?”
“Elisyeba akan membantuku.”
“Ia sudah berumur, tidak akan sanggup. Dan ia belum pernah menjadi teman Halwa.”
“Kelak, aku akan mencari seorang janda di Nazaret.”
“Kalau kau ingin menikah lagi, itu lain soal,” tukas Mary agak dingin. “Tapi sekarang ini, biarkan aku membantumu. Ruth akan membantuku. Ia terbiasa mengerjakan tugas dua orang sekaligus, dan sebelum berangkat, aku sudah memberitahunya bahwa kami akan membantu Halwa.”
Kali ini, Yusuf menyerah.
“Baiklah,” ia memjamkan mata malu-malu. “Halwa pasti senang bila anak-anak berada di tanganmu.”
Ketika diberitahu, Ruth langsung menyetujui permintaan Mary.
“Akan kubantu kalian selama kau dan Yusuf menginginkan.”
Joachim terlihat bahagia. Setelah sekian lama, semangatnya kembali bangkit. Ia bekerja bersama Yusuf di bengkel. Mereka berdua harus banting tulang untuk menafkahi keluarga besar ini.
“Begitulah jalan hidup menurut ketentuan Yahweh,” gumam Zacharias serius. “Ia membimbing kita antara kematian dan kelahiran agar hidup kita bersahaja dan berjalan di arah yang benar.”
Kendati demikian, Joachim mengabaikan nada suaranya itu. Karena gembira mengetahui keputusan Mary, ia berujar, “Ternyata Zacharias punya kabar baik. Ia malu mengumumkannya di masa berkabung ini. Biar aku saja yang memberitahu kalian. Dalam perjalanan menuju Nazaret, Elisyeba mendapati dirinya hamil. Siapa menduga?”
“Aku pun tak menyangkanya,” jawab Elisyeba dengan wajah berseri-seri. “Aku telah memasrahkan keinginanku menjadi ibu kepada Yahweh. Sungguh mulia Dia mengabulkan doaku di usia setua ini.”
Paras Elisyeba, yang umurnya dua kali lipat Maryam dan Mary, bercahaya dan tak menyembunyikan kebanggaannya. Kedua gadis itu memandangnya tercengang.
“Itu memang mengejutkan. Sungguh di luar dugaan.”
“Semuanya mungkin terwujud jika Tuhan merestui. Terpujilah Dia!”
“Harus dipercaya. Orang mengatakan aku lebih steril daripada sebongkah batu karena tak kunjung mengandung di masa subur… dan kini mimpi terlaksana,” ujar Elisyeba sambil melirik Ruth.
“Aku yang mengatakannya,” tukas Zacharias sangat serius, “Malaikat Tuhanlah yang mendorongku menurunkan anak ini. Malaikat yang menyatakan ‘Dengan izin Tuhan, kau akan menjadi Ayah.’ Aku memprotes dengan congkak, kukatakan bahwa itu tidak mungkin. ‘Kau tidak setua itu Zacharias. Dan Elisyeba-mu masih muda jika dibandingkan dengan Sarah, istri Abraham. Mereka jauh lebih tua daripada kalia berdua.’”
“Sebenarnya, aku meledeknya kerena impian itu. Aku sama sekali tak percaya!” tutur Elisyeba. “Lihat diri kita, Zacharias-ku sayang, kataku. Mimpi hanyalah bunga tidur, dan setelah kau terjaga, kau akan melupakannya. Bagaimana mungkin aku yakin masih mendapatkan karunia indah ini?”
Tawa Elisyeba membahana.
Ia segera berhenti, menoleh pada Yusuf dan Joachim untuk memastikan bahwa keceriaannya tidak mengejutkan mereka berdua.
“Kau boleh berbahagia,” dukung Joachim. “Setelah masa sulit belakangan ini, kabar baikmu menciptakan gairah hidup kembali.”
Elisyeba mengelus perutnya seolah telah menggelembung oleh adanya si jabang bayi. Ruth, yang tak bersuara sejak tadi, memandangnya seksama.
“Apakah Anda yakin?”
“Seorang wanitapasti tahu jika ia hamil.”
“Seorang wanita berbuat kekeliruan lebih dari sekali, dan seringkali menganggap mimpinya sebagai kenyataan. Terutama untuk hal-hal seperti ini.”
“Aku tahu apa yang diperintahkan Tuhan!” sergah Zacharias.
Mary menengahi dan menyentuh pundak Ruth dengan lembut. “Sudah pasti Elisyeba hamil.”
Wajah Ruth merona malu.
“Aku bodoh, maafkan aku. Aku datang dari tempat orang-orang sakit atau kehilangan akal. Kudengar mereka bilang, langit merupakan lalu lintas para malaikat, dan para nabi berjejalan di Israel. Semua itu membuatku terlalu curiga.”
Mendengarnya, Joachim dan Yusuf tergelak.
* * *
Kemudian, Maryam bertanya pada Mary, “Apakah kau menginginkanku di sini beberapa lama? Walaupun aku tak pandai menangani anak-anak, aku pasti bisa melakukan sesuatu. Ibu pasti memperbolehkan. Biar Rekab pulang membawa pesan untuknya. Ibu akan mengerti.”
“Aku tak memerlukan mu untuk mengurus anak-anak. Tetapi secara psikis dan menjadi teman bicaraku yang terpercaya, aku senang jika kau di sini. Kau membawa buku dari perpustakaan Rachel. Aku harus membacanya.”
Wajah Maryam memerah senang.
“Temanmu Halwa bagaikan saudara bagimu. Tapi kita juga begitu, kan? Bahkan walaupun kita tidak mirip lagi, karena rambutmu sudah begitu pendek.”
Kediaman Yusuf kembali hangat. Semua mempunyai tanggungjawab dalam rutinitas sehari-hari, mengurus sesuatu dan melipur kesedihannya sendiri. Kegembiraan Zacharias dan Elisyeba yang menanti kehadiran bayi mereka menular pada yang lain. Mereka membuka lembaran baru, seperti luka yang pulih berangsur-angsur.
Sebulan kemudian, Elisyeba terbukti benar-benar tengah mengandung. Ia kerap menghampiri Mary dan berujar, “Bayi dalam perutku sudah jatuh hati padamu. Kurasakan ia bergerak, seperti memukulkan tangannya, jika aku dekat denganmu.”
Ruth, yang kaget dan tak habis heran atas keajaiban ini, memperhatikan bahwa perut Elisyeba tak terlalu besar. Bayinya mungkin hanya sebesar bola, tidak lebih dari sekepalan tangan.
Elisyeba menjawab riang, “Begitulah yang kurasakan. Kepalan tangan yang sangat kecil dan memukulku jika aku tak menyapanya.”
“Oh ya,” Ruth menengadah, “Kalau awalnya sudah begitu dalam satu-dua bulan ini, apa jadinya jika ia sudah berdiri!”
* * *
Sebelum anak-anak bangun, setiap pagi Mary terbiasa berjalan-jalan ke luar rumah. Di bawah bayangan fajar, ia menyusuri jalan menuju Safuria di seberang hutan dan sengaja berkeliling.
Tatkala mentari beranjak ke cakrawala, ia berjalan pulang. Ia melintasi halaman sambil merenung.
Maryam dan Ruth memperhatikan Mary kian lama kian pendiam serta sering menyendiri. Hanya setelah pekerjaan rumah tangga selesai, ia dapat diajak berbincang-bincang. Gadis itu tak lagi tertarik pada bacaan yang disodorkan Maryam sewaktu anak-anak tidur siang, walaupun ia sendiri yang memintanya.
Suatu petang, setelah mereka berdua selesai meremas adonan untuk dibuat roti esok harinya, Maryam bertanya, “Kau tidak bosan jalan-jalan setiap pagi? Kau bangun sangat awal, bisa-bisa kecapaian nanti.”
Mary tersenyum dan memandangnya ceria.
“Aku tidak jemu apalagi letih. Tapi kau pasti terganggu. Kau ingin tahu mengapa aku selalu keluar rumah tiap hari.”
Maryam tertunduk malu.
“Tidak apa-apa. Penasaran itu wajar saja.”
“Ya, aku penasaran. Terutama mengenai kau.”
Mereka memotong-motong adonan dalam diam untuk membuat bulatan-bulatan. Saat membentuk yang terakhir, Mary berhenti.
“Ketika berada di jalan, aku merasakan kehadiran Abdias,” bisiknya. “Begitu dekat seolah-olah ia masih hidup. Aku memerlukan kedatangannya seperti bernafas dan makan. Berkat dirinya, semua berjalan lancar. Hidup ini tak terasa begitu pahit…”
Maryam menatapnya tak bersuara.
“Kau menganggapku agak sinting?”
“Tidak.”
“Karena kau sayang padaku. Ruth juga sebal jika aku menyebut-nyebut Abdias. Ia yakin aku sudah tak waras. Tapi karena ia juga menyayangiku, ia berpura-pura mengerti.”
“Tidak, percayalah. Menurutku kau waras.”
“Lalu mengapa aku selalu merasakan kehadiran Abdias?”
“Entahlah,” Maryam berterus terang. “Aku tak mengerti. Sesuatu yang tak dimengerti tak dapat dijelaskan. Meskipun begitu, apa yang tak kita mengerti itu tetap ada. Bukankah itu yang kita pelajari di Magdala ketika membaca buku-buku Yunani yang membuat ibuku senang?”
Mary mengelus pipi Maryam dengan jemarinya yang berlumur tepung.
“Kau lihat sendiri kan mengapa aku membutuhkanmu di sisiku? Karena kita sependapat dan aku jadi semangat. Karena aku sendiri sering bertanya-tanya apakah aku berkhayal.”
“Sewaktu Zacharias mengatakan bahwa ia melihat malaikat, tak ada yang menganggapnya kurang waras!” tukas Maryam, dan melanjutkan dengan mata bersinar nakal, “Tapi mungkin, tanpa malaikat itu pun, tak ada yang percaya bahwa bayi dalam kandungan Elisyeba adalah anaknya.”
“Maryam!”
Meskipun nadanya agak keras, Mary berseri-seri. Sambil menutup mulutnya dengan tangan yang memutih karena tepung, Maryam terbahak-bahak.
Tawanya memancing Mary tergelak pula.
Ruth muncul di ambang ruangan itu, dengan si kecil Yehuda di pangkuannya.
“Ah!” serunya, “Akhirnya ada juga yang tertawa di rumah ini, tempat anak-anak menjadi serius. Itu menyenangkan.”
* * *
Beberapa hari kemudian, saat Mary berjalan sekitar satu mil dari Nazaret, sosok Barabbas muncul di bawah sebatang pohon sycamore besar.
Mentari hampir membentuk cakram yang membara. Mary mengenali tubuh tinggi semampai itu, pakaiannya yang terbuat dari kulit kambing, juga rambutnya. Penampilan Barabbas tak berubah sedikit pun. Mary dapat mengenalinya dari jauh. Ia memperlambat langkahnya dan berhenti cukup jauh dari pemuda itu. Dalam keremangan pagi yang baru merekah, ia kesulitan melihat wajahnya.
Barabbas pun tak bergerak. Jelas ia melihat Mary datang dari kejauhan. Mungkin ia terusik oleh kehadiran wanita ini, namun tak segera mengenalinya karena rambutnya yang sangat pendek.
Mereka tidak saling menyapa, hanya saling memandang dalam jarak lebih dari tiga puluh langkah satu sama lain. Tak satu pun dari mereka dapat bergerak lebih dulu atau mengawali suatu percakapan.
Karena tak tahan melihat pandangan yang diarahkan padanya, Barabbas mendadak berbalik. Ia mengitari pohon sycamore itu, melompati sebuah tembok batu dan pergi. Gerakannya masih pincang. Ia memegang paha kirinya agar dapat melakukan lompatan itu.
Mary teringat luka Barabbas yang dilihatnya di tepi danau Genesaret. Ia mendapati luka itu di atas perahu, ketika menggendong tubuh Abdias. Terbayang kembali pertengkaran sengit mereka di gurun menuju Damas. Ia mengabaikan kaki Barabbas yang mengucurkan darah, menyemburkan amarah pada semuanya termasuk pada dirinya sendiri, tatkala nyawa Abdias tak tertolong lagi.
Setelah ditinggalkannya hari itu, Barabbas pasti berjalan berjam-jam dengan lukanya yang kian parah dan tak mendapat perawatan.
Mary telah memupus peristiwa itu dari ingatannya, sebagaimana ia hampir melupakan Barabbas. Gadis itu merasa kasihan sekaligus menyesal.
Meski demikian, ia menyesali pertemuan mereka. Ia menyesal karena Barabbas mendekatinya dan berada tak jauh dari rumah Yusuf di Nazaret. Entah mengapa, ia khawatir berjumpa dan berbicara dengan pemuda itu akan menyebabkan kehadiran Abdias di sisinya selama ini akan pudar.
Sungguh aneh dan sukar dijelaskan. Seperti halnya bisikan-bisikan Abdiasyang didengarnya beberapa bulan ini. Namun, Maryam benar. Apa yang kita pahami tidak penting. Jiwa mampu melihat apa yang tak dapat dikenali oleh mata. Bukankah Barabbas hanya ingin melihat dengan matanya?
Mary berbalik dan pulang lebih awal dari biasanya.
Sekitar tengah hari, ia memberitahu Joachim, “Barabbas ada di sekitar sini. Aku melihatnya pagi ini.”
Joachim memperhatikan air muka putrinya. Melihatnya tenang-tenang saja, ia mengaku, “Aku tahu. Belum lama ini ia kemari. Ia banyak membantuku setelah kepergian ibumu, semoga Tuhan menjaga jiwanya. Ia harus pergi dari Nazaret beberapa lama, tapi akhirnya kembali. Ada beberapa hal yang ingin dikatakannya padamu.”
* * *
Dua hari berlalu. Mary tak menghiraukan setiap perkataan yang menyangkut Barabbas. Baik Joachim maupun Yusuf tak pernah menyinggung namanya.
Pagi-pagi di hari ketiga, pemuda itu muncul tatkala Mary keluar rumah. Ia menunggunya sambil berdiri di tepi jalan. Melihat gerak-geriknya, Mary mengerti bahwa Barabbas ingin berbicara dengannya. Ia berhenti beberapa langkah dari pemuda itu, menatapnya.
Matahari hampir beranjak dari peraduan. Cahaya yang samar menyinari wajahnya dan mengubah kelembutan di sana. Gerakan tangannya menunjukkan rasa malu.
“Ini aku,” katanya, agak canggung. “Kau pasti mengenaliku. Aku tak banyak berubah sepertimu.”
Mary tak dapat membendung senyumannya. Barabbas menjadi lega.
“Bukan hanya rambutmu, kau berubah sepenuhnya. Itu sudah kelihatan dengan sekali pandang saja. Sudah begitu lama aku ingin berbicara denganmu.”
Mary tetap membisu namun tetap menyimak. Terlepas dari apa yang dipikirkannya mengenai Barabbas, ia senang melihatnya lagi, mendengar suaranya, dan mengetahui dirinya masih hidup. Pemuda itu mengetahuinya dari paras Mary.
“Aku juga berubah,” ujarnya. “Sekarang aku tahu kau benar.”
Gadis itu mengiyakan.
“Kau pendiam sekali,” Barabbas cemas. “Kau tak suka aku di sini ?”
“Sebaliknya. AKu senang melihatmu masih hidup.”
Barabbas memijat kakinya.
“Aku tak pernah melupakannya. Setiap hari aku memikirkan dia. AKu tetap agak cacat.”
Mary menunduk perlahan.
“Itu luka yang disebabkan oleh Abdias, kenanganmu terhadapnya. Bagiku juga, begitu rapi sehingga tak satu hari pun terlewat tanpanya.”
Barabbas mengerutkan alis, ingin bertanya apa yang telah Mary dengar. Tetapi lidahnya kelu.
“Aku turut berduka untuk ibumu. Kuusulkan pada Joachim untuk membalas dendam pada tentaracyang membunuhnya, tapi ia menolak.”
“Dia benar.”
Barabbas mengangkat bahu.
“Jangan bunuh semua. Itu baru benar. Hanya satu yang perlu dihabisi, Herodes. Biarlah yang lain pergi ke neraka sendiri.”
Mary tidak menentang atau mengiyakan.
“Aku sudah berubah,” ulang Barabbas dengan penekanan dalam suaranya, “Tapi tidak melupakan tujuanku untuk memerdekakan Israel. Untuk hal yang satu itu, aku masih seperti dulu. Sampai akhir hayatku.”
“Aku meragukannya, tapi tak mengapa.”
Barabbas nampak lega mendengarnya.
“Kami melancarkan serangan bersama kaum Zelot. Herodes berkeras ingin menancapkan kuku Roma di Kuil dan sinagog-sinagog, Kami menghancurkan semua itu. Atau jika menemukan satu desa yang dilanda kelaparan, kami menguras persediaan pangan legion. Tetapi peperangan besar tak dapat dicegah! Pandanganku dalam hal itu tidak berubah. Pertempuran harus dilaksanakan sebelum seluruh Israel luluh lantak.”
“Aku juga tak melupakannya sedikit pun. Tetapi bersama Joseph d’Arimatea, aku belajar mengenai kekuatan hidup. Hanya kehidupan menimbulkan kehidupan. Sekarang ini, kita harus menjaga kehidupan di satu tangan dan keadilan di tangan yang lain. Itulah yang menyelamatkan kita. Hanya saja, langkah ini lebih sulit dibandingkan bertempur dengan pedang dan tombak. Dengan cara itulah keadilan di negeri kita akan pulih.”
Mary berbicara dengan suara perlahan dan sangat tenang. Di bawah cahaya sang surya yang cemerlang, Barabbas menatapnya penuh perhatian. Mungkin ia terkesima oleh keteguhan Mary yang tak pernah diingkarinya selama ini.
Mereka membisu sejenak. Lalu Barabbas tersenyum. Senyuman lebar yang memamerkan geliginya. Ia segera berujar dengan suara yang agak tersendat.
“Aku pun memikirkan kehidupan. Aku telah menemui Joachim. Kukatakan dengannya bahwa aku ingin meminangmu.”
Mary terperangah.
“Sudah lama aku memikirkan itu,” kata Barabbas segera. Memang kita tak selalu sependapat. Tapi tak ada wanita di dunia ini yang seistimewa dirimu dan aku hanya menginginkan kau seorang.”
Mary mengatupkan mata, mendadak merasa kikuk.
“Apa kata ayah ?”
Barabbas tertawa kecil. “Ia setuju. Katanya, kau pasti akan menerimaku.”
Mary mengangkat muka, menatap Braabbas sangat lembut, dan menggeleng. “Aku tidak bersedia.”
Barabbas gemetar dan tersentak.
“Kau menolak lamaranku ?” bisiknya, seakan tak memahami ucapannya sendiri.
“Jika aku harus menikah, memang kaulah yang akan kupilih. Sudah lama aku tahu hal itu. Sejak melihatmu bersembunyi di loteng kami untuk menghindari tentara waktu itu.”
“Lalu…mengapa…?”
“Aku takkan pernah menikah. Itu pun sudah lama aku tahu.”
“Mengapa? Itu konyol. Tak pernah ada yang berkata demikian. Semua wanita mempunyai suami!”
“Tidak denganku, Barabbas.”
“Aku tak mengerti yang kau bicarakan. Ini tidak masuk akal.”
“Jangan marah. Bukan berarti aku tak mencintaimu…”
“Pasti karena Abdias! Aku menyangsikannya. Kau selalu menyalahkan aku!”
“Barabbas!”
“Katamu kau mencintai kehidupan dan menginginkan keadilan! Tapi kau tak dapat memaafkan. Tahukah kau bahwa aku selalu menderita? Aku kehilangan Abdias seperti halnya aku merindukanmu… Tapi kau masih saja mendendam!”
“Tidak! Kau keliru…”
Pemuda itu telah membalikkan badan dan menjauhdengan terburu-buru. Gerakan tubuhnya memperlihatkan amarah dan kepedihan, sehingga ia tak mau mendengar penjelasan Mary lebih jauh. Perbukitan kini bermandikan kilau mentari. Sinar yangmenimpa tubuh Barabbas dari belakang membuatnya nampak bagaikan bayangan yang melesat pergi.
Mary menggelengkan kepala. Tenggorokannya kering. Tentu saja Barabbas sangat marah dan sedih. Juga merasa terhina. Reaksinya sangat wajar.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar