Senin, 11 Juli 2011

Virgin Mary: Perawan Suci Maryam

15

Dugaan Joseph menjadi kenyataan.

Dalam sekejap, jalan-jalan di Beth Zabdai dipenuhi rombongan yang melantunkan doa sejak pagi hingga petang. Di antara mereka, beberapa orang pria berpakaian compang camping menyanyikan puji-pujian dan berteriak lebih keras dari yang lainnya. Dengan sungguh-sungguh, mereka bersikap seolah seorang nabi baru telah datang. Tingkah beberapa orang bahkan lebih eksentrik lagi, meyakinkan bahwa sejumlah mukjizat lain akan menyusul. Yang lain menceramahi kerumunan orang itu dengan menggambarkan neraka yang sangat terperinci solah-olah mereka pernah ke sana. Ada pula yang meneriaki para pasien dengan menyatakan bahwa kaum Essene merupakan perpanjangan tangan Tuhan dan mereka memiliki kekuatan luar biasa untuk menghidupkan kembali yang sudah mati, selain menyembuhkan luka dan membebaskan mereka dari rasa sakit.

Karena panik melihat keriuhan itu, para bruder memilih tetap bersembahyang dan belajar. Mereka menutup rapat gerbang-gerbang dan berhenti menerima pasien. Meski tidak menyetujui perbuatan itu, Joseph diam saja. Ia merasa dirinya menjadi sumber kesalahpahaman masyarakat. Dibiarkannya Gueouél melaksanakan penutupan kuil yang tidak tepat waktunya itu.

Tatkala Ruth memberitahukannya pada Mary, gadis itu tak bereaksi. Ia berkonsentrasi pada perawatan wanita tua yang ditanganinya. Kondisi pasien membaik setiap hari. Wanita tersebut tak lagi kesulitan bernafas. Ia dapat makan dan perlahan-lahan kembali sadar.

Joseph d’Arimatea datang memeriksanya diam-diam. Kunjungannya menyerupai sebuah ritual. Mula-mula, ia mengamati pasien tanpa bersuara. Kemudian ia membungkuk dan mendengarkan detak jantungnya melalui sehelai kain yang ditempelkan ke dada wanita itu. Ia menanyakan apa yang diminum, dimakan dan dialami pasien. Kemudian, diajarinya Mary meraba anggota badan, panggul dan rusuk-rusuk. Ia memantau reaksi kesakitan di wajah si nenek yang baru pulih itu sambil memandu gerakan tangan Mary. Ia juga mengajarkan cara mengidentifikasi tulang, otot dan memar-memar serta retak yang mungkin terjadi di bagian bawah tubuh.

Lima hari setelah wanita itu dinyatakan benar-benar masih hidup, Joseph berkata, “Masih terlalu dini untuk mengetahui apakah tulang punggung dan pinggulnya utuh serta apakah ia dapat berjalan lagi. Bahkan, aku ragu pemeriksaan itu bisa dilaksanakan. Untuk sementara, jika jari-jarimu benar, hanya satu rusuk yang retak. Rasa sakitnya cukup lama, tapi ia akan tahan. Yang lebih buruk adalah jika tulang dadanya patah dan melukai paru-parunya. Kalau demikian, yang bisa kita lakukan hanyalah menunggu saat-saat sekarat yang mengerikan.”

Mary bertanya mengapa ia begitu yakin pasien tidak mengalami hal tersebut. Joseph menggeleng sambil menyeringai.

“Bila itu terjadi, tanda-tandanya sangat jelas! Ia akan sangat sulit bernafas. Di bibirnya akan muncul gelembung-gelembung darah. Ketika bernafas, dadanya bersuara keras menyerupai hujan badai!”

“Tapi kalau tak ada tulang yang patah, mengapa ia terlihat seperti tak bernyawa?” kejar Mary.

“Karena ia kekurangan oksigen di bawah reruntuhan yang menimpanya tempo hari. Ketika tengah berjuang untuk hidup, jantungnya melemah. Detaknya tidak benar-benar berhenti, tetapi gerakan memompanya melambat, dapat bertahan hanya karena satu pembuluh darah yang kecil. Karena begitulah keadaan manusia yang hidup, jantung yang berdegup dan memompa darah ke seluruh bagian tubuh.”

“Jadi Anda menguatkan jantungnya dengan ramuan yang kemarin?”

Joseph mengangguk puas.

“Hanya itu. Satu bantuan yang direstui Tuhan. Tak ayal lagi, Ia yang menentukan, tetapi juga Persekutuan kita sejak datangnya Abraham. Kita dapat menunaikan tugas untuk mempertahankan hidup di dunia ini.”

Penjelasannya mengandung sedikit ironi, sebab Joseph sangat tak ingin terlihat pongah. Kendati demikian, Mary tahu Sang Tetua tulus. Manusia yang lahir ke dunia tak sama dengan batu yang dilontarkan ke dasar lubang. Ia membawa takdirnya sendiri.

Sambil terdiam sesaat, keduanya mengamati keadaan pasien. Kerutan demi kerutan, seperti lingkaran tanda-tanda pergantian musim yang tergurat di batang pohon, memancarkan kehidupan di wajah wanita tua itu. Masih nampak sisa kecantikan masa mudanya, kepolosan yang mewarnai parasnya sebelum dewasa dan tak pupus oleh berjalannya waktu. Sekarang, parutan luka dan kerja keras membekas, di sela-sela selubung penuaan yang tak berarturan. Namun wajah itu menampakkan kehidupan, daya hidup, dan semua hasrat yang dimiliki manusia.

Teriakan salah satu ‘nabi’ yang menceramahi kerumunan pendatang menguak kesunyian dan bergema di antara dindingkuil yang tebal. Di tengah hiruk-pikuk bernada mengancam itu, mereka menekankan kata ‘janji, petir, pengangkatan yang mulia, penyelamat, es, api.’ Orang itu menyerukan bergantian dalam bahasa Aram, Ibrani, dan Yunani.

Joseph menghela nafas. “Sudah datang orang yang ingin tampak mulia Bukan main.”

Seakan menanggapi perkataannya, di luar terdengar sorak-sorai yang nyaring. Dua-tiga ratus orang meneriakkan ayat mazmur Daud.

Tuhan, lihatlah wajah Messiah-mu,

Hanya satu hari di jalanMu yang berharga dibanding ribuan lainnya,

Tuhanku, aku telah memutuskan untuk tetap di ambang pintu rumahMu...

Suara ‘nabi’ segera melanjutkan ceramahnya yang menakutkan.

“Bila Tuhan tidak benar-benar menurunkan seorang nabi, paling tidak Ia memberinya mulut yang mulia untuk mengumumkan kabar-kabar di padang pasir,” kelakar Joseph.

“Bruder Gueouél pasti bisa mendengarnya,” Mary setengah tersenyum.

“Gueouél sangat angkuh dan sombong,” gerutu Joseph.

Mary membenarkan.

“Kalau saja ia lebih rendah hati, ia akan tahu bahwa wanita dan kaum papa yang dicemoohnya sama dengan orang-orang yang ramai di luar sana,” tuturnya lembut. “Hanya saja, teriakan kami tak sekeras itu. Bagiku, keluhan mereka sama dengan wanita tua ini. Mereka sama-sama menderita. Mereka sengsara karena tak tahu arah hidup dan tak bisa lagi mengerti mengapa mereka ada. Mereka berjalan tanpa arah di hari-hari mendatang dan menanti apa yang diberikan dunia dan membawa mereka dalam jurang. Aku pun sedih mendengar mereka berteriak. Orang-orang itu sangat ketakutan melihat Tuhan berpaling dari mereka. Mereka tak merasakan lagi tangan Tuhan yang memandu mereka pada kebaikan dan kebenaran.”

Joseph memandangnya lekat-lekat, ternganga. Ruth, yang beristirahat di ruangan itu, juga menatap Mary seakan perkataan yang baru saja ia ucapkan benar-benar ganjil.

Dengan gerakan yang menunjukkan rasa malu atau kebingungannya, Joseph mengelus kepala gadis itu.

“Aku memahamimu, tapi pendapatku berbeda. Bukan berarti aku tak menyadari ketakutan orang-orang di luar. Jika seorang Essene berbakti untuk keadilan, kemurnian dan kebaikan orang banyak, ia tahu kapan hidup membimbingnya ke arah Yahweh. Itulah makna doa dan pilihan kami, kemiskinan dan kesetaraan hidup dalam kuil ini.”

Mary memandang Joseph tepat di kedua matanya.

“Aku bukan orang Essene dan tak akan pernah menjadi bagian dari kalian, karena aku seorang wanita. Aku seperti orang-orang itu. Dengan tak sabar aku menunggu Tuhan melepaskan kesengsaraan yang kami alami sekarang ini. Itulah satu-satunya harapanku. Masa depan yang lebih baik tidak boleh mengandalkan satu orang saja. Seluruh umat manusia di dunia ini harus bersatu.”

Joseph tak menjawab. Mereka memberi wanita tua itu minum. Dengan bantuan Ruth, Mary menyeka wajahnya.

Tatkala Joseph kembali memeriksa pasien esok harinya, hiruk-pikuk di luar belum mereda. Terkadang terhenti, karena seorang ‘nabi’ baru datang pada malam hari. Bersama dua puluhan pengikutnya, ia meletupkan kegembiraan para martir dan kebencian para jasad manusia yang rapuh dan mudah rusak. Sejak dini hari, pengikutnya bergantian menyanyikan puji-pujian pada Yahweh dan protes mereka terhadap kehidupan dengan penuh semangat.

Ketika Joseph memasuki kamar tempat pasien berada, Mary dan Ruth melihat wajahnya dingin dan menegang. Ia tak mengatakan apa pun sampai lengkingan dan lolongan itu membuatnya jengkel.

“Orang-orang yang mengaku nabi itu lebih arogan daripada kami, orang-orang Essene. Bahkan melebihi Gueouél,” gerutunya. “Mereka yakin dapat mencapai rahmat Tuhan dengan berjemur di padang pasir. Berbulan-bulan mereka berdiri di atas batu, menahan lapar dan haus, sampai tubuhnya melemah. Mereka melontarkan ayat-ayat palsu. Dengan pura-pura cinta kepada Tuhan, mereka melawan kehendakNya menjadikan kita makhluk sesuai rencanaNya. Jika mereka berseru dan menjerit-jerit untuk menentang kehadiran Sang Messiah, itu karena mereka mengharapkan Messiah melepaskan kita dari tubuh yang rapuh ini. Betapa konyolnya! Mereka lupa bahwa Yang Maha Kuasa menginginkan kita semua! Ia mengasihi kita dengan segenap kebaikan dan kebahagiaan, bukan orang-orang lembek yang susah hati dan digoda setan.”

“Bila orang-orang itu membenci manusia di titik tersebut, maka tuhan harus menunjukkan pada mereka. Ia bertanggung jawab atas adanya orang-orang ini. Jika Ia menyukai kita yang berbeda-beda jenis kelamin ini seperti kata Anda tadi, maka Dia tak perlu mengutus rasul asing yang tak akan mampu kita kenali. UtusanNya harus seseorang yang meyerupai kita dan Dia. Seorang anak manusia yang bernasib sama dengan kita, menanggung nestapa kita dan menyelamatkan kita dari kerapuhan. Ia akan menyebarkan cinta yang seperti cinta Anda. Anda yang berkeras memulihkan hidup orang-orang tua, tubuh paling lemah, dan mengatakan bahwa harmoni tindakan dan kata-kata akan menuju kesehatan yang baik.”

Joseph mengangkat alis namun tak nampak marah.

“Wah,” ujarnya, “Tidak sia-sia kau tinggal bersama Rachel! Kau belajar banyak hal yang mengembangkan pola pikirmu.”

Saat menyadari bahwa perkataannya bukan pujian yang diharapkan Mary, Joseph menambahkan dengan tenang, “Mungkin kau benar. Orang yang kau gambarkan tadi akan menjadi raja terbaik di Israel. Sayangnya, Herodes selalu menjadi raja kita. Rajamu akan datang dari mana, ya?”

* * *

Tujuh hari kemudian, kegemparan di sekitar Beth Zabdai tak kunjung surut. Kabar mukjizat yang megembalikan nyawa seseorang menyebar hingga ke seluruh Damas. Sejak dini hari hingga senja, pasien-pasien baru bergabung dengan mereka yang datang untuk mendengarkan ceramah para nabi palsu.

Para bruder Essene khawatir kerumunan orang itu, yang terpengaruh bualan orang-orang mengenai mukjizat tempo hari, akan menerobos ke dalam kuil. Untuk mencegahnya, sepuluh bruder menambah penjagaan di balik gerbang yang dibarikade kuat. Karena tak dapat keluar dan menolak kedatangan siapa pun, komunitas itu segera kekurangan bahan pangan seolah-olah tengah berada di masa peperangan.

Sayangnya, tindakan ini justru menambah semangat para nabi gadungan, yang berdoa sebagai alasan untuk menyibak rahasia dan menekankan firman Tuhan sebagai ancaman. Kerumunan di sekitar kuil kian gaduh. Mereka memenuhi jalan sehingga sebuah kereta besar terpaksa berhenti di depan orang-orang tersebut.

Sang kusir mengetuk pintu. Sesuai kesepakatan, para bruder yang menjaga mengabaikannya. Kusir itu melewatkan satu jam tanpa hasil. Teriakan gadis muda yang menemuinya pun sia-sia.

Sebelum doa pagi tatkala hujan deras turun di desa itu esok harinya, suara Rekab, sais Rachel, terdengar sampai ke dalam kuil. Ruth, yang hendak mengambil air, mendengar seruan itu. Setelah meletakkan ember kayunya, ia berlari memberitahu Mary, “Orang yang mengantarmu dulu ada di depan gerbang!”

Mary memandangnya tak mengerti. Dengan suara tertekan, Ruth menambahkan, “Kusir kereta itu! Yang mengantarmu kemari bersama Abdias yang malang.”

“Rekab. . . di sini?”

“Ia meneriakkan namamu di tembok sebelah luar.”

“Dia harus segera diizinkan masuk.”

“Bagaimana caranya? Para bruder pasti takkan membukakan pintu! Kalau saja kita bisa keluar dari kuil ini.”

Namun Mary sudah bergegas ke aula utama. Ia tengah berhadapan dengan penjaga pintu ketika Gueouél muncul. Ia bersikukuh melarang pintu dibuka.

“Kau tak sadar apa yang kau katakan, Nak! Gerombolan gila itu akan menyerbu kita kalau pintunya dibuka!”

Pertengkaran mereka sangat hebat hingga seorang bruder lekas-lekas mencari Joseph.

“Rekab ada di luar!” pekik Mary menjelaskan.

Joseph segera mengerti.

“Ia pasti kemari untuk urusan penting. Kita tidak boleh membiarkannya kedinginan dan kehujanan.”

“Di belakang sana, ratusan orang kedinginan dan kehujanan, tetapi mereka tetap berisik,” serta-merta Gueouél memprotes. “Orang-orang sakit pun demikian. Agaknya itulah mukjizat yang sebenarnya!”

“Cukup, Gueouél!” hardik Joseph tegas.

Kata-katanya mengejutkan semua orang. Mereka terpaku memperhatikan kedua pria itu, bagaikan dua hewan buas yang siap berkelahi.

“Kita meringkuk di sini seperti tikus saja,” lanjut Joseph tajam. “Bukan itu tujuan didirikannya kuil ini. Penutupan gerbang sudah keterlaluan. Kalau ada tujuannya, kurasa itu tidak benar. Bukankah kita bergabung dalam kelompok ini untuk merintis jalan kebaikan dan mengurangi penderitaan di dunia? Bukankah kita ini penyembuh?”

Pipinya mengencang karena geram. Warna merah menjalari wajahnya sampai ke ubun-ubun. Sebelum Gueouél atau beruder lain menjawab, Joseph menunjuk para penjaga gerbang. Ia berkata tegas, “Buka gerbang, buka lebar-lebar.”

Kerumunan yang hingar-bingar di sebelah sisi kuil membisu. Mereka terperanjat sesaat. Dengan kaki menjejak lumpur dan wajah kuyu, orang-orang yang menunggu berhari-hari mematung. Mereka tercengang.

Jeritan terdengar dari kelompok lainnya. Dalam sekejap, mereka menghambur. Pria, wanita, anak-anak, tua-muda, yang sakit dan sehat, menyerbu aula dan berlutut di hadapan Joseph d’Arimatea.

Mary kemudian melihat Rekab berdiri di kereta, memegang tali kendali kuda yang ketakutan. Ia segera mengenali sosok di sebelahnya.

“Maryam!”

* * *

Rambutmu!” seru Maryam. “Mengapa dipotong?”

Dengan mata bersinar, Rekab memandang Mary. Ia terharu sekaligus kaget, sementara di belakang mereka, Joseph dan para bruder berusaha menertibkan orang-orang serta terus meyakinkan bahwa mereka akan mendapatkan perawatan.

“Badanmu kurus sekali!” Maryam berujar kala memeluk Mary. “Tulangmu sampai terasa di balik pakaian ini... Apa yang terjadi di sini? Apakah mereka tidak memberimu makan?”

Mary tergelak. Mereka berdua segera dibawanya ke kediaman kaum wanita, tempat Ruth menunggu mereka di pelataran dalam. Keningnya berkerut dan ia berkacak pinggang. Ruth memberi isyarat pada Rekab, mengajaknya makan di dapur para pelayan.

“Cepat makan sebelum persediaan kita menipis,” ia mengomel.

Dia aula utama, orang-orang berhasil ditenangkan. Suara Gueouél yang bernada memerintah dan sama sekali tak mengandung kesabaran bersahut-sahutan dengan yang lain.

“Mukjizat sesungguhnya adalah sedikit akal sehat yang dikaruniakan Tuhan kepada orang-orang ini,” gerutu Ruth. Tetapi itu tidak mudah sebab sejak Adam diciptakan, Tuhan sepertinya ragu untuk bersungguh-sungguh!”

Ia segera membalikkan badan dan bergegas memasuki kuil. Rekab menoleh pada Mary malu-malu. Ia memberinya isyarat agar mengikuti Ruth tanpa mencemaskan kejengkelan wanita itu.

“Kau juga lapar, kan?” tanyanya pada Maryam. “Bajumu juga harus diganti. Malam ini turun hujan. Ayo hangatkan dirimu.”

Maryam mengikutinya tetapi hanya menerima semangkuk air panas.

“Kereta nyaman, tak terpengaruh dingin atau hujan. Lagipula, bajuku kan dari wol. Ceritakan dulu mengapa kaupotong rambutmu seburuk ini dan apa yang terjadi di tempat ini. Dari mana orang-orang yang mengerumuni Joseph itu? Kau lihat tidak, tadi ia seperti tak mengenaliku? Padahal ia berkali-kali datang ke Magdala.”

“Ia tak bermaksud begitu. Malam ini, ia pasti menemuimu.”

Dengan singkat, Mary menceritakan gaya hidup para bruder Essene, cara mereka mengobati orang dan wanita tua yang mereka selamatkan tempo hari pada minggu-minggu terakhir ini sehingga orang-orang yang tengah putus asa di Beth Zabdai menyimpulkan adanya mukjizat.

“Orang-orang malang itu ingin tahu apakah Joseph dapat membangkitkan orang mati. Mereka kehilangan akal sehat.”

Maryam tersenyum sinis.

“Sungguh aneh dan bertolak belakang jika dipikir-pikir,” ujarnya. Orang tak menyukai hidup yang dijalaninya, tapi karena adanya mukjizat itu, mereka ingin hidup selamanya.”

“Kau keliru,” Mary menyanggah dengan sungguh-sungguh. “Yang mereka harapkan adalah tanda-tanda adanya Tuhan. Keyakinan bahwa Yang Maha Kuasa berada di pihak mereka. Bahkan sampai mereka mati. Bukankah kita semua begitu? Sayangnya, Joseph tidak mau menghidupkan orang. Ia tak dapat menyelamatkan Abdias.”

Maryam mengangguk. “Aku sudah dengar kematiannya dari Rekab.”

Banyak pertanyaan yang ingin diajukan Maryam namun ia tak mampu megatakannya. Mary terus berbicara walaupun temannya diam saja.

Tentu saja Rekab telah menceritakan kondisinya dan perhatian yang dicurahkan Joseph d’Arimatea untuk memulihkannya. Namun ia tak ingin membahasnya dengan Maryam. Tidak sekarang. Mereka sudah berbulan-bulan tak bertemu. Banyak hal yang membuat mereka agak canggung, termasuk menyangkut rambut pendeknya yang membuat Maryam terheran-heran.

Akan tetapi Mary tak ingin membuat temannya bersedih.

“Kau semakin cantik. Sungguh, Yang Maha Kuasa memberkatimu dengan seluruh kejelitaan yang dapat dimiliki seorang wanita.”

Paras Maryam merona. Ia menarik tangan Mary dan mengelusnya, dengan sangat lembut seperti kebiasaannya di Magdala. Di kuil Beth Zabdai ini, Mary merasa sikapnya agak berlebihan. Meskipun demikian, ia membiarkannya. Ia harus membiasakan diri lagi dengan perilaku ekspresif gadis ini.

“Aku rindu padamu,” bisik Maryam. “Sangat rindu! Aku memikirkanmu tiap hari. Aku khawatir. Tapi Ibu melarangku berkunjung. Kau tahu benar sifatnya. Ia meyakinkanku bahwa kau sedang belajar pengobatan bersama Joseph d’Arimatea dan aku tak boleh menganggu.”

“Rachel selalu benar. Memang itulah yang sedang kukerjakan.”

“Tentu saja Ibu selalu benar. Itu mengesalkan. Ia mengatakan bahwa aku akan senang belajar bahasa Yunani. Tahukah kau, sekarang aku lebih fasih darinya? Dan aku sangat menyukainya.”

Mereka berdua terbahak. Tawa Maryam tiba-tiba lenyap. Ia ragu-ragu sesaat menoleh ke dapur, tempat Rekab dan Ruth memperhatikan mereka. Kemudian ia berpaling pada Mary.

“Ibu mengizinkanku datang kemari hari ini, karena ada kabar buruk yang harus kusampaikan padamu.”

Dari saku gaunnya, Maryam mengeluarkan gulungan kulit yang membungkus sepucuk surat. Ia menyerahkannya pada Mary.

“Ini dari Joachim.”

* * *

Dengan perasaan tak karuan, Mary membuka bungkus gulungan papirus itu. Baris-baris tulisan bertumpang-tindih, membentuk gambar tak beraturan. Tinta yang coklat di sana-sini terlihat buram, hampir di seluruh bagian kertas, sehingga tulisan tangan yang tertera di atasnya menipis.

Mary mengenali tulisan ayahnya yang sederhana. Ia segera merasa lega, paling tidak kemalangan itu tidak menimpa Joachim.

Dengan susah payah, dibacanya kalimat demi kalimat. Tak berapa lama kemudian, Mary mengerti isi surat itu. Hannah tewas di ujung tombak tentara Herodes.

Joachim menulis, bahwa setelah meninggalkan Nazaret, mereka hidup tentram di sebelah utara Yudea. Di sana mereka ditampung oleh sepupu Joachim, Elisyeba dan suaminya, pendeta Zacharias. Seiring dengan berjalannya waktu, kerinduan pada Galilea tak tertahankan lagi. Joachim pun merasa tidak bahagia karena tak dapat melakukan pekerjaan di bengkelnya seperti biasa. Ia merindukan bau kayu, derit gergaji dan timbunan serat pohon aras serta rouvre. Sebab di Yudea, tempat rumah-rumah hanya beratap sederhana dan berdinding bata, seorang tukang kayu merasa tak berguna.

Dengan pertimbangan bahwa kejadian di masa lalu mungkin telah dilupakan, ditemani Zacharias dan Elisyeba yang ingin pindah, Hannah dan Joachim berangkat ke Nazaret sebelum musim dingin yang membuat jalan sulit dilintasi.

Perjalanan berlangsung menggembirakan di pekan pertama dan semakin menyenangkan ketika mendekati Gunung Tabor. Hannah, yang masih ragu-ragu dan khawatir, pun dapat menyungging senyum serta merasa tenang.

Peristiwa itu terjadi bagaikan sambaran petir tatkala mereka mendekati Nazaret.

Mengapa yang Maha Kekal kembali menimpakan musibah kepada mereka? Apa salah mereka sehingga terus menanggung derita?

Mereka berpapasan dengan serombongan serdadu. Joachim telah menutupi wajahnya dan para tentara tak memperhatikannya. Janggutnya pun sudah sangat panjang sehingga seorang kawan lama pun takkan mengenali tukang kayu itu. Namun seperti biasa, kaki tangan Herodes selalu mencari akal untuk menunjukkan kegarangan, mereka membongkar isi kereta dengan kasar dan semena-mena. Hannah dilanda kepanikan. Tanpa sengaja, ia menumpahkan isi sebuah guci anggur ke kaki seorang prajurit. Orang bengis itupun berang seakan-akan kakinya patah. Mary dapat menebak kelanjutannya. Dengan marah, prajurit itu menikam dada kurus Hannah dengan lembingnya.

Semua telah dikatakan.

Hannah, putri Emerence, tidak meninggal seketika. Selagi ia kesakitan, mereka telah sampai di rumah Yusuf. Setelah satu malam yang panjang, Hannah menutup mata untuk selama-lamanya. Kematian yang berat dan menyakitkan, tanpa kedamaian, seperti hidup yang dijalaninya.

Joachim menulis dengan penuh kekecewaan, bahwa mungkin Joseph d’Arimatea dapat mengobati luka Hannah dan menyelamatkan hidupnya.

Tetapi Joseph jauh dari sini. Begitu juga kau, Putriku Tersayang. Sudah lama aku berusaha keras untuk bertahan tanpa kau di sisiku. Sekarang aku membutuhkan kehadiranmu. Aku merindukan dirimu, semangat dan jiwamu yang kuat akan membuatku tabah menghadapi hari esok. Kaulah satu-satunya kebahagiaanku di dunia kini.

* * *

Rekab berujar, “Akan kuantar kau ke Nazaret segera. Rachel menyuruhku melayanimu selama yang kau hendaki.”

Maryam membenarkan. “Aku akan ikut denganmu. Aku takkan meninggalkanmu”

Mary membisu. Angin dingin menggelora dalam dadanya. Hatinya sakit membayangkan siksaan yang mendera ibunya sebelum menghembuskan nafas terakhir, namun kata-kata ayahnya yang malang terus terngiang sehingga ia bertambah sedih.

Akhirnya gadis itu berkata, “Ya, kita harus segera berangkat.”

“Kita pergi besok pagi,” ujar Rekab. “Malam ini masih panjang, tetapi sebaiknya kuda-kuda beristirahat dulu. Perjalanan ke Nazaret sangat jauh. Paling sedikit lima hari.”

“Kalau begitu, besok pagi-pagi sekali kita berangkat.”

Joseph d’Arimatea baru diberitahu setelah kerumunan orang yang menyerbunya sudah tenang. Ia sangat terperanjat sehingga tak dapat mengatakan apa pun. Namun ketika Mary menceritakan isi surat Joachim, Joseph mengelus bahunya penuh kasih sayang.

“Kita semua akan mati. Begitulah kehendak Yahweh, agar kita dapat menjalani hidup yang benar.”

“Ibuku tewas di tangan seorang manusia. Anak buah Herodes, seorang tentara yang diupah untuk merenggut nyawa orang lain. Bagaimana mungkin Yahweh merestui hal seperti itu? Apakah ia menghendaki kita ditindas? Bahkan udara di sekeliling kita, yang kita hirup, harus direnggut. Doa saja tidak cukup.”

Joseph mengusap wajahnya, mengerjapkan mata dan berkata lagi, “Jangan termakan oleh amarahmu. Tak akan ada habisnya.”

“Bukan amarah yang menghuni hatiku,” jawab Mary tegas. “Hanya saja, kesabaran dan kebijaksanaan tak lagi seiring.”

“Peperangan pun tak membantu kita,” tandas Joseph. “Kau tahu itu.”

“Siapa yang menyebut peperangan?”

Joseph memandang Mary tanpa suara, menuggu kata-katanya lebih lanjut. Gadis itu hanya tersenyum. Ia melihat keletihan di wajah Sang Tetua. Ia menghampiri Joseph dengan wajah lembut yang menggetarkan.

“Aku berutang sangat banyak pada Anda dan tak mungkin bisa membalasnya,” bisik Mary. “Saat Anda membutuhkanku menghadapi semua ini di hari-hari selanjutnya, aku justru meninggalkan Anda.”

“Jangan berpikir bahwa kau berutang padaku,” Joseph menyangkal. “Kau sudah membalas semuanya tanpa kau sadari. Lebih baik kau keluar dari sini. Kita berdua tahu, tempat ini tak cocok untukmu. Aku yakin, kita akan bertemu lagi.”

* * *

Malam harinya, ketika lampu-lampu telah dinyalakan, Ruth menghampiri Mary dan berkata dengan suara mantap, “Aku sudah merenung. Jika kau tak keberatan, aku akan ikut denganmu. Bagikupun sudah tiba waktunya meninggalkan kuil ini. Siapa tahu aku akan berguna di Galilea.”

“Kita akan disambut dengan baik di Nazaret. Seorang temanku memerlukanmu. Namanya Halwa dan ia wanita terbaik yang pernah kukenal. Kesehatannya kurang baik dan ia sudah melahirkan lima anak. Mungkin sudah bertambah lagi. Kau akan sangat meringankan bebannya karena aku harus mendampingi ayahku.”

Esok paginya, kala langit masih kelabu dan hujan turun deras, Rekab mengeluarkan kereta dari Kuil Beth Zabdai. Orang-orang memperhatikan mereka tanpa bersuara. Untuk pertama kalinya sejak berminggu-minggu, mereka bersabar dan tidak menanggapi seruan para nabi gadungan yang tampak berang melihat mereka membisu.

Joseph menemani Mary sampai makam Abdias. Ia mengucapkan selamat tinggal sebelum bergabung dengan Ruth dan Maryam. Gadis itu berlutut di atas tanah. Joseph, yang menunggu dan mendengarnya berdoa, terkejut oleh gerakan bibirnya sendiri. Ketika Sang Tetua membantunya berdiri, Mary berbisik dengan kegembiraan yang terlihat jelas.

“Abdias terus bicara padaku. Ia menghampiriku dan aku melihatnya. Seperti mimpi saja, padahal aku sedang tidak tidur.”

“Dan apa yang dikatakannya padamu?” tanya Joseph risau.

Pipi Mary memerah.

“Katanya, ia takkan meninggalkanku. Ia menemaniku kemana pun aku pergi, dan ia akan selalu menjadi suami kecilku.”[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar