PROLOG
Malam telah kelam. Tak seorang penduduk desa pun keluar rumah. Kesenyapan menyergap sejak petang meremang.
Di atas bangku berlapis kain wol, Joachim si tukang kayu, menggenggam ampelas bertangkai kayu murbei yang dibebat kain lusuh. Ia mengilapkan bilah-bilah kayu berserat halus yang kemudian diletakkannya dengan hati-hati dalam sebuah keranjang.
Gerakannya yang monoton di perberat oleh serangan rasa penat dan kantuk. Sesekali ia berhenti. Matanya terkatup, dagunya terlipat.
Hannah, sang istri, melayangkan tatapan lembut di sudut lain ruangan itu. Wajahnya nyaris redup. Pipinya berkerut kala tersenyum. Ia melirik putri mereka, Mary, yang mengulurkan seunting benang wol. Gadis itu membalas dengan seringai tanda mengerti. Lalu sekali lagi, jari-jari rapuh Hannah menarik helai-helai benang wol, menggabungkannya dan memilinnya sedemikian rupa sehingga tak seutas pun yang terjuntai.
Tiba-tiba, mereka dikejutkan oleh pekikan yang bersahut-sahutan.
Sumbernya di luar rumah, dekat sekali.
Serta-merta Joachim berdiri. Tengkuknya menegang, bahunya mengencang, kantuknya mendadak raib.
Terdengar pekikan lain yang tak asing di telinga mereka, lebih nyaring daripada kerincing logam. Tiba-tiba meledaklah tawa yang kurang senonoh. Jeritan seorang wanita melengking, disusul sedu-sedan.
Mary menatap raut muka ibunya lekat-lekat. Sambil menggenggam benang wol, Hannah menoleh pada Joachim. Ibu dan anak itu melihatnya meletakkan bilah kayu yang baru rampung dipoles dalam keranjang. Gerakannya cermat lagi hati-hati. Ampelas berbalut kain tadi ditaruh di bagian atas.
Di luar, lolongan bertambah keras. Warga desa hilir-mudik di jalan. Umpatan terlontar dari sana-sini, bergaung ke seluruh penjuru.
Hannah memasukkan gulungan benang wolnya ke dalam kain katun yang terbentang di pangkuannya dan memberi perintah pada Mary[1] dengan suara pelan, “Ayo naik.”
Ia bergegas menarik gumpalan benang yang dipegang anak perempuan itu. Hannah mengulangi perintahnya dengan nada tegas, “Cepatlah naik!”
Mary berhenti dekat perapian dan mundur sampai kain pembatas lorong menuju tangga yang sangat gelap. Tirai tersingkap. Langkah gadis itu tertahan, tak lepas dari pandangan ayahnya.
Joachim berdiri, melangkah ke ambang pintu. Ia pun tak bergerak. Palang kayu melintang pada daun pintu yang besar dan daun jendela yang unik. Ia sendiri yang memasangnya. Dipastikannya pintu tersebut tertutup rapat.
Joachim sadar bahwa perbuatannya sia-sia. Palang pintu yang kuat tak dapat menghalangi orang-orang yang akan menerobos masuk. Pintu-pintu dan jendela-jendela seakan menertawakan dirinya.
Kini teriakan orang-orang kian merangsek. Suaranya bergaung di ruang-ruang perkakas dan bengkel-bengkel.
“Buka pintu! Buka! Perintah Yang Mulia Herodes, raja kalian!”
Orang-orang itu berbicara dengan bahasa Latin yang berantakan dan mengulanginya dengan aksen Ibrani yang dipaksakan. Suara-suara, aksen, dan cara mereka berteriak menunjukkan bahwa mereka bukan warga pribumi.
Begitulah setiap hari para antek Herodes menebar kengerian dan malapetaka di desa ini. Entah mengapa, mereka senantiasa datang pada malam hari.
Terkadang, mereka bercokol di Nazaret berhari-hari lamanya. Pada musim panas, mereka berkemah di jalan masuk menuju desa. Di musim dingin, mereka melemparkan beberapa keluarga keluar dari gubuk dan mendiaminya. Mereka pergi setelah puas merampok, membakar, memporak-porandakan segala sesuatu dan membunuh orang. Mereka menikmati saat-saat itu, bahkan senang melihat akibat rasa sakit dan musibah yang mereka timbulkan.
Ada kalanya, mereka menyeret tahanan bersama rombongan. Lelaki, perempuan, bahkan anak-anak mereka tawan. Para pesakitan itu tak pernah kelihatan lagi, sehingga dianggap telah meninggal setelah beberapa waktu lamanya.
Kadang-kadang, para tentara ini membiarkan desa tentram selama berbulan-bulan. Sepanjang satu musim pun pernah. Anak-anak, yang paling tidak ambil peduli, hampir melupakan keberadaan mereka.
Saat ini, teriakan bergema dalam rumah. Mary mendengar derap alas kaki di atas lantai batu.
Joachim merasakan pandangan putrinya dari belakang. Ia berbalik, mencari siluet anak itu dalam keremangan.
Wajahnya tak menampakkan kemarahan saat menemukan Mary masih disana, tetapi tangannya bergerak dengan tegas.
“Cepat naik, Mary! Hati-hati.”
Ia menyeringai pada anak itu. Nyaris tersenyum, bahkan ia melihat ibunya menutup mulut dengan tangan sambil memandangnya cemas. Kali ini, ia benar-benar membalikkan tubuh dan menaiki tangga.
Dalam kegelapan, ia berpegangan pada dinding tanpa perlu berjinjit. Para serdadu Herodes terus berseru ramai hingga mereka tak mungkin mendengar langkahnya.
Hentakan kaki mereka begitu keras hingga dinding yang disentuh Mary bergetar saat ia mendorong pintu yang menuju loteng.
Dari situ, hiruk-pikuk teriakan, perintah, tangisan hilang ditelan malam. Di ruang tamu di bawah, suara Joachim terdengar tenang meski bergetar ketika membuka palang pintu dan membiarkannya terkuak.
* * *
Obor yang dibawa serdadu membentuk gelombang kemerahan dalam pekatnya malam. Dengan jantung berdetak kencang, Mary menahan keinginannya untuk mengintip dari balik tembok. Ia dapat menerka apa yang terjadi. Seruan lantang bergemuruh di rumah, di lantai bawah. Ia melihat ekspresi protes ayahnya, gemetar sikap ibunya, tatkala tentara-tentara bayaran itu dengan kasar menyuruh mereka diam.
Ia berlari ke ujung lain loteng yang panjang itu melalui bagian atas bengkel yang menjorok dan melewati ruangan yang penuh dan campur aduk. Keranjang, karung-karung kayu tua, serbuk gergaji, bata yang terbelah, tempayan, potongan kayu bakar dan kulit sapi. Semua barang tersebut baru-baru ini diletakkannya ayahnya di situ karena tak ada lagi di ruang perkakas.
Di satu sudut, sejumlah besar gelondongan kayu yang hampir tak dipotong bertumpuk tak beraturan hingga mungkin roboh sewaktu-waktu. Meskipun demikian, keadaan yang centang-perenang itu sengaja diatur untuk menutupi sesuatu. Tempat bersembunyi, yang dipersiapkan Joachim untuk anak perempuannya, tak pelak lagi merupakan karyanya yang paling indah dan paling kreatif.
Gelondongan kayu yang betumpuk itu demikian tinggi hingga dibutuhkan dua orang untuk mengangkutnya. Di antaranya, terjepitlah diantaranya papan kecil yang tipis di sana-sini. Yang nampak hanyalah kotak-kotak yang saling menumpang dan diatur dengan sengaja.
Akan tetapi, cukup dengan mendorong salah satu papan tipis dari caroubier[2] di ujung onggokkan, akan terbuka sebuah lubang. Daun pintunya benar-benar tak terlihat karena bercampur dengan kilauan alami kayu dan sematan lis berhias yang telah aus oleh cuaca.
Bagian belakangnya, yang digali dengan penuh siasat dalam tumpukan kayu, dikokohkan dan dipasak dengan cita rasa seni. Hasilnya adalah sebuah gua yang cukup besar untuk tempat berbaring seorang dewasa.
Hanya Mary, ibunya dan Joachim yang mengetahui tempat ini. Tidak demikian halnya dengan teman atau tetangga. Mereka tidak mau mengambil risiko. Tentara-tentara upahan Herodes mampu mengorek rahasia terdalam dari siapa pun.
Saat mendengar papan, Mary mendengar gerakan seseorang. Ia langsung berhenti. Kendati kegaduhan yang menakutkan berlangsung di jalan dan di rumah, ketegangan justru terasa di dekatnya.
Segera ia menoleh. Kegelapan terentang dalam jaringan yang berkelip-kelip. Lalu sinar kecil itu padam. Mary mengamati kekelaman di belakang tong-tong air garam tempat meredam minyak olive dan menyadari bahwa ia terlalu lama di sana.
“Siapa di situ?” bisiknya.
Tak ada jawaban. Dari bawah terdengar suara lantang Joachim yang menanggapi teriakan marah seorang serdadu, “Lelaki muda apa yang kau maksud? Akulah satu-satunya lelaki di rumah ini. Tuhan Yang Maha Kuasa tak menganugerahi kami putra.”
“Jangan Bohong!” seru si tentara bayaran dengan aksen yang mengacaukan pengucapannya. “Di rumah orang Yahudi pasti ada anak laki-laki.”
Mary harus bergegas. Mereka akan naik.
Benarkah ia telah melihat sesuatu atau hanya khayalannya belaka?
Ia maju sambil menarik nafas. Dan tertumbuk pada tubuh seorang lelaki muda. Ia melonjak bagaikan seekor kucing yang siap menyerang.
Seorang lelaki muda, tinggi dan kurus, terlihat olehnya dengan bantuan sinar obor yang redup di jalan. Matanya berkilat-kilat, wajahnya nyaris tak berdaging.
“Kau siapa?” ia berbisik, terheran-heran.
Bila ia takut, ia takkan memperlihatkan diri. Pemuda itu menarik lengan tunik Mary dan menghelanya dalam kegelapan pekat tanpa kata-kata. Tunik itu robek. Mary terpaksa berjongkok dekat pemuda itu.
“Bodoh! Kau akan membuatku ketahuan!” Suaranya parau dan aneh.
“Lepaskan, kau menyakitiku.”
“Tolol!” ia mendesis lagi.
Namun dilepaskannya tangannya seraya bersandar ke dinding.
Mary setengah bangkit dan berhenti. Bila pemuda ini berpikir ia mampu meloloskan diri dari para serdadu dengan bersembunyi di sini, ia sungguh bodoh dan juga nekad.
“Kaukah yang mereka cari?” tanya Mary.
Ia tak menjawab.
“Gara-gara kau, mereka menghancurkan semuanya,” kata Mary lagi.
Kalimat itu bukan pertanyaan. Akan tetapi pemuda itu masih bungkam. Mary mengintip dari sela-sela tumpukan tong. Mereka akan datang dan memergoki keduanya. Para tentara sewaan itu dapat mendengar apa saja. Mereka akan meyakini bahwa orang tuanya memang menyembunyikan anak bodoh ini. Seluruh keluarganya akan dilenyapkan. Mary pernah melihat serdadu-serdadu Herodes memukul ayah dan ibunya.
“Kau kira di belakang situ mereka takkan menemukanmu? Kami akan ditangkap oleh mereka gara-gara kau.”
“Tutup mulutmu! Memangnya ada cara lain?”
Ini bukan waktunya berdiskusi.
“Jangan bodoh begitu. Cepat! Masih ada waktu sebelum mereka kemari!”
Mary berharap lelaki muda itu tak begitu keras kepala. Ia langsung melompat ke arah tumpukan kayu. Tentu saja, si pemuda tak mengikutinya. Mary memandang pintu loteng. Di bawah, seruan protes ibunya berbaur dengan suara gaduh benda-benda yang dibanting.
“Cepatlah! Aku mohon!”
Ia telah mendorong lapisan papan dan menyibak gua persembunyian. Akhirnya lelaki muda itu paham dan menurut, meski kemudian bertanya-tanya.
“Apa ini?”
“Menurutmu apa? Masuklah, di dalam cukup lapang.”
“Tapi kau...”
Mary tidak menjawab. Didorongnya pemuda itu ke dalam gua sekuat tenaga. Ia puas meski mendengar kepala si pemuda terantuk dan mengomel-ngomel. Kemudia ditutupnya gua itu hati-hati agar tidak ribut. Ia menjungkirkan papan sehingga tak memungkinkan penutup gua itu dapat dibuka dari dalam.
“Dengan begini, kita tidak akan terancam karena dia!” Mary tak mengenalnya, bahkan lupa menanyakan namanya. Tetapi ia merasa belum saatnya untuk mencari tahu lebih banyak tentang hal ini.
Ia berjongkok di belakang tong-tong tepat saat para tentara upahan mengarahkan obor ke loteng.
* * *
Mereka mendorong Joachim ke pinggir. Empat serdadu berkostum dari kulit menghunus pedang bermata dua. Hiasan bulu di topi baja bergoyang setiap kali mereka bergerak.
Mereka mengangkat obor agar dapat melihat jelas keadaan tempat yang berantakan itu. Dengan hulu pedangnya, salah satu dari mereka memukul punggung Joachim sampai ia terbungkuk. Perbuatan yang tak ada gunanya dan pantas ditertawakan. Tetapi orang-orang ini sedang memperlihatkan kekejaman mereka.
Pimpinan mereka berseru dengan bahasa Ibrani yang buruk.
“Tempat yang cocok untuk bersembunyi, ya? Mudah sekali ditemukan!”
Karena kaget, Joachim diam saja dan nampak kalut. Pemimpin tadi melihat reaksinya dan terbahak.
“Tentu saja! Sudah pasti ada orang di sini!”
Ia mengeluarkan perintah. Para bawahannya mulai menggeledah, mengacak-acak semuanya, sedangkan Joachim sekali lagi memastikan bahwa tak ada yang bersembunyi di situ.
Prajurit tersebut tertawa dan mengulangi kata-katanya, “Seseorang masuk ke rumahmu! Kau bohong, tapi kau pendusta yang buruk untuk seorang Yahudi.”
Dua teriakan terdengar. Seruan terkejut seorang serdadu dan pekik kesakitan Mary, karena rambutnya dicengkeram.
Joachim lalu berteriak, ingin maju melindungi putrinya. Petugas itu mengibaskan tuniknya dan menariknya ke belakang.
“Itu anakku! protes Joachim. “Anak perempuanku, Mary!”
Obor-obor menyinari Mary sampai membuatnya silau. Bibirnya bergetar ketakutan. Semua pandangan tertuju padanya dan membandingkannya dengan Joachim, yang terkejut karena anak itu tak berada dalam gua. Mary menggertakkan rahang. Didorongnya tangan serdadu yang menjambak rambutnya tadi. Karena terkejut, lelaki itu melepaskan tangannya.
“Dia anakku,” Joachim berkata lagi dengan suara memelas.
“Diam kau!” bentak si tentara.
Ia bertanya kepada Mary, “Apa yang kau lakukan di situ?”
“Sembunyi.” Suara Mary lebih gemetar dari dugaannya. Ketakutannya membuat tentara itu senang.
“Mengapa kau sembunyi?” ia bertanya.
Pandangan Mary sekilas ke tempat ayahnya berada.
“Aku disuruh ayah dan ibuku. Mereka takut pada Anda semua.” Para serdadu tertawa.
“Kau yakin tidak akan ditemukan di balik tong-tong ini?” cemooh si tentara.
Mary hanya mengangkat bahu. Joachim menjawab dengan suara yang lebih tenang, “Ia hanya seorang anak. Ia tak berbuat apa-apa.”
“Kalu begitu, mengapa kau takut kami akan menemukannya di rumah ini?”
Sunyi mencekam. Mary segera menjawab, “Ayahku takut karena mendengar bahwa serdadu-serdadu Raja Herodes kerap membunuh wanita dan anak-anak. Kata orang, Anda membawa mereka ke istana Raja dan mereka tak pernah pulang.”
Tawa sang pemimpin pasukan meledak, membuat Mary terlonjak, disusul gelak serdadu lain di sekitarnya. Pria itu kembali berekspresi serius. Disentuhnya pundak Mary, dipegangnya erat-erat.
“Mungkin kau benar, Bocah. Tetapi kami tak menangkap siapa pun yang mematuhi kemauan Raja. Apakah kau yakin tidak melakukan perbuatan buruk?”
Mary mengangkat pandangannya, ekspresinya datar. Alisnya terangkat tak mengerti, seolah-olah si serdadu upahan mengatakan sesuatu yang tidak masuk akal.
“Bagaimana aku dapat menentang Raja? Aku hanya seorang anak dan bahkan ia tak tahu bahwa aku ada.”
Kembali para serdadu terbahak-bahak. Si tentara mendorong Mary ke arah ayahnya. Joachim meraihnya dan mendekapnya erat-erat hingga nafas gadis itu tersengal.
“Anakmu bengal, Tukang Kayu,” ujar si tentara. “Sebaiknya kau awasi dia. Menyembunyikannya di loteng bukan tindakan tepat. Para pemuda yang kami kejar berbahaya. Mereka sanggup membunuh anak-anakmu jika meras terancam.”
* * *
Hannah, yang juga diawasi para tentara bayaran menunggu di bawah tangga rumah mereka. Ia memeluk putrinya sambil menggumamkan doa syukur pada Tuhan.
Tentara tadi melontarkan ancaman, “Bandit-bandit muda itu ingin merampas rumah petugas pajak. Mereka telah berkali-kali mencoba menculik Raja. Mereka akan ditangkap dan dihukum dengan cara yang pasti sudah kalian ketahui. Semua yang membantunya akan mengalami nasib serupa. Tak ada belas kasihan setitik pun.”
Sewaktu akhirnya serdadu-serdadu itu meninggalkan ruangan, Joachim segera memasang palang pintunya lagi. Suara gemerisik terdengar dari perapian. Para tentara tersebut tidak puas dengan hanya menjungkirbalikkan beberapa kursi, memporakporandakan tempat tidur dan peti-peti. Mereka juga melemparkan bilah-bilah kayu, yang dikerjakan Joachim dengan cermat, ke dalam api. Kini, potongan-potongan kayu itu terbakar dengan hebat. Kobaran apinya bersaing dengan cahaya lampu minyak.
Mary bergegas berjongkok di depan perapian, mencoba menjangkau potongan-potongan karya ayahnya dengan sebatang besi. Terlambat. Ayahnya menyentuh pundaknya.
“Tak ada yang bisa diselamatkan,” ia bergumam. “Tidak apa-apa. Aku tahu cara mengerjakannya, maka aku akan mampu membuatnya lagi.”
Airmata mengaburkan pandangan Mary.
“Paling tidak mereka tidak masuk ke bengkel. Entah apa yang mereka ambil,” bisik Joachim.
Tatkala Mary merasa lega, ibunya bertanya, “Bagaimana mereka dapat memergokimu? Tuhanku, apakah mereka menemukan gua itu?”
Joachim menjawab, “Tidak. Ia hanya menyelinap di belakang tong.”
“Mengapa?”
Mary memandang wajah-wajah yang masih letih itu, mata mereka yang berkilat, dan ekspresi yang penuh kekhawatiran akan kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi. Ia memikirkan lelaki muda yang terkurung di atas. Hanya kepada ayahnya, ia dapat memberitahukan hal itu.
Ia berkata lirih, “Aku khawatir mereka menyakiti Ayah dan Ibu. Aku takut sendirian di sana saat mereka melakukan itu.”
Yang dikatakannya separuh dusta. Hannah mendekapnya ke dada, menghujani keningnya dengan airmata dan kecupan.
“Anakku sayang, kau benar-benar nekad.”
Joachim memberdiri sebuah bangku, lalu mengembangkan seulas senyum.
“Ia benar-benar lihai bersilat lidah dengan petugas itu. Anak kita pemberani. Hebat, kan?”
Mary melepaskan pelukan ibunya. Pipinya memerah karena bangga. Tatapan Joachim sarat kebanggaan, nyaris bahagia.
“Bantu kami berbenah,” katanya, “lalu tidurlah. Malam ini akan tenang.”
* * *
Memang, teriakan-teriakan para tentara bayaran itu tak terdengar lagi. Mereka tak menemukan apa yang dicari. Hal ini seringkali terjadi. Sangat sering, malah. Kegagalan terkadang membuat mereka segila binatang buas. Karena itulah, mereka membantai dan menghancurleburkan semua yang ditemui tanpa berpikir apalagi berbelas kasih. Namun malam itu, mereka langsung meninggalkan desa untuk kembali ke kamp legiun yang letaknya dua mil dari Nazaret. Mungkin karena sudah sangat lelah dan mengantuk.
Setelah orang-orang itu pergi, warga desa mengurung diri di rumah masing-masing. Semua meredakan kesedihan, menyeka airmata dan melipur ketakutan mereka. Saat dini hari tiba, tampak teror masih terasa karena ketakutan itu menjalar melalui cerita dari rumah ke rumah.
Mary harus menunggu cukup lama sebelum dapat menyelinap keluar kamar tidurnya. Akibat masih tercekam kecemasan, Hannah dan Joachim sepertinya sulit untuk memejamkan mata.
Tatkala akhirnya Mary melihat nafas mereka yang teratur dari celah dinding kayu yang memisahkan kamar, ia bangkit. Dengan tubuh terbungkus selendang tipis, ia menaiki tangga ke loteng. Kali ini gadis itu berhati-hati agar langkahnya tidak menimbulkan suara.
Bulan sabit berselubung kabut mengkilatkan segalanya dengan cahaya pucat. Mary maju selangkah lagi dengan mantap. Ia mampu berjalan dalam kegelapan yang tebal.
Jemarinya dengan segera menemukan papan pelapis yang melingkupi gua. Ia hampir tidak sempat mengendap-endap. Untuk mengantisipasi kemungkinan lubang yang dikelilingi gelondong kayu itu dibuka dari dalam dengan keras, maka ia tak mengetuknya. Si pemuda sudah berdiri.
“Ini aku! Jangan takut,” ia berbisik.
Lelaki muda itu tidak takut. Ia menyumpah-nyumpah, menggoyangkan tubuh seperti binatang liar untuk membersihkan rambutnya dari jerami dan potongan-potongan kain wol yang melapisi lantai gua persembunyian itu.
“Jangan berisik!” protes Mary dengan suara rendah. “Orangtuaku nanti terbangun.”
“Kenapa lama sekali? Aku sesak nafas di dalam sana, dan tidak bisa membuka kotak buruk ini!”
Mary cekikikan.
“Kau mengurungku, ya!” gerutu lelaki itu. “Kau sengaja melakukannya!”
“Aku tergesa-gesa.”
Pemuda itu berhenti mengomel. Mary menunjukkan cara membuka lubang itu dari dalam. Ia hanya perlu mengungkit sebilah kayu.
“Sederhana, bukan?”
“Kalau tahu caranya, memang.”
“Jangan mengeluh. Para serdadu itu tidak menemukanmu. Dibelakang tong-tong itu, kau pasti tertangkap.”
Pemuda itu menjadi tenang. Dalam keremangan, Mary melihat matanya bersinar. Mungkin ia tertawa.
“Siapa namamu?” ia bertanya.
“Mary. Ayahku Joachim, seorang tukang kayu.”
“Kau cukup berani untuk anak seumurmu,” ia mengakui. “Kudengar kau berdebat dengan tentara-tentara itu.”
Sekali lagi, si pemuda menggaruk pipi dan lehernya dengan keras karena helai-helai jerami membuatnya gatal.
“Kurasa aku harus berterima kasih padamu. Namaku Barabbas.”
Mary spontan tertawa kecil. Nama itulah salah satu penyebabnya, karena Barabbas berarti ‘anak ayah’. Ia juga tertawa karena nada suara serius si pemuda dan pujiannya yang menyenangkan.
Barabbas duduk di atas balok-balok.
“Apa yang lucu?” ia bersungut-sungut.
“Namamu.”
“Walaupun pemberani, kau sama tololnya dengan bocah perempuan yang lain.”
Sindiran tersebut tidak menyinggung Mary. Ia tahu kebanyakan anak laki-laki memiliki semangat besar.
Mereka ingin membuatnya terpesona. Pemuda ini sudah menarik perhatiannya tanpa perlu berusaha.
Kekuatan dan kelembutan serta kekokohan dan keberanian berbaur dalam dirinya bagai campuran logam yang menyenangkan tanpa terlalu ia sadari. Sayangnya, pemuda-pemuda di tempat kediamannya selalu menganggap anak perempuan sebagai anak kecil.
Kendati demikian mengganggunya, tetapi tentu bukan hal itu yang mendorong para serdadu untuk datang ke rumah dan desa mereka.
“Mengapa orang-orang Roma mencarimu?” ia bertanya.
“Mereka bukan orang-orang Roma, tapi manusia barbar. Entah di mana Herodes membeli orang-orang itu!
Di Galia atau di Trasia. Mungkin di wilayah orang Goth[3] . Herodes tidak mampu merekrut legiun sebenarnya.
Oleh karena itu ia mengambil para budak dan tentara sewaan.”
Ia meludah ke bawah. Mary terdiam, menunggu pemuda itu benar-benar menjawab pertanyaannya.
Barabbas mengamati kegelapan yang melingkupi rumah-rumah di sekelilingnya, seolah memastikan tak ada yang melihat atau mendengar mereka. Diterangi cahaya bulan yang samar-samar, mulutnya terlihat menawan, raut mukanya lembut. Janggut pendek tumbuh di pipi dan dagunya. Janggut masa remaja yang membuatnya tak tampak terlalu tua.
Mendadak tangannya terbuka. Di telapaknya, sebuah lencana dari emas berkilau terkena sinar rembulan. Bentuknya sangat jelas: seekor elang dengan sayap terkembang, kepala serong, paruh kokoh dan tajam. Elang lambang Roma. Elang dari emas yang biasa terpasang di perisai panji-panji yang dipamerkan bala tentara Roma.
“Aku mengambilnya dari salah satu gudang mereka. Kami membakarnya habis sebelum serdadu-serdadu dungu itu terbangun,” bisik Barabbas seraya tertawa bangga. “Kami juga punya cukup waktu untuk mengambil dua atau tiga karung gandum. Ini baru namanya keadilan.”
Mary memandang lencana itu dengan penuh rasa ingin tahu. Ia belum pernah melihatnya sedekat ini. Bahkan ia tak pernah melihat benda apapun yang terbuat dari emas selama ini.
Barabbas mengepal tangannya kembali, memasukkan lencana itu ke dalam saku bajunya.
“Harganya mahal,” ia menggumam.
“Apa yang akan kauperbuat dengan lencana itu?”
“Aku kenal seseorang yang dapat melelehkannya dan mengubahnya menjadi emas biasa. Pasti ada gunanya,” ia berkata misterius.
Mary bergeser selangkah. Perasaan yang bertentangan bercampur-aduk. Ia menyukai pemuda ini. Dalam dirinya terdapat kesederhanaan, keterusterangan dan ambisi yang menarik. Juga keberanian, sebab ia harus berhadapan dengan tentara Herodes. Namun Mary tidak yakin bahwa hal itu adil. Ia belum tahu banyak mengenai kebenaran di dunia ini, juga keadilan dan ketidakadilan untuk mengambil keputusan.
Gadis ini menganggumi antusiasme Barabbas, kemarahannya terhadap ketakutan dan penghinaan yang terjadi setiap hari bahkan pada diri anak-anak kecil di kerajaan Herodes. Tetapi ia juga mendengar pendapat ayahnya yang sabar, serta kecamanya terhadap kekerasan yang disampaikan dengan bijaksana.
Dengan sedikit bernada provokasi, Mary berujar, “Kalau begitu kau pencuri.”
Barabbas bangkit dengan paras tersinggung.
“Tentu saja bukan! Kaki tangan Herodeslah yang mengatakan kami pencuri. Semua, yang kami ambil dari orang Roma dan tentara upahan, atau benda-benda berharga simpanan Raja, dibagikan kepada mereka yang membutuhkan. Pada rakyat!”
Emosi membuat suaranya lebih keras. Sambil bergerak-gerak mempertegas perkataannya, Barabbas melanjutkan, “Kami bukan pencuri, melainkan pemberontak. Aku tidak sendiri. Kau dapat mempercayaiku. Aku turut serta dalam pemberontakkan. Petang ini, tentara-tentara itu takkan mengejarku lagi. Untuk menyerbu gudang, kami berjumlah paling tidak tiga atau empat puluhan.”
Mary sempat ragu sejenak dengan pengakuan Barabbas.
‘Para pemberontak’! Memang begitulah orang menyebut mereka. Dan seringkali, maknanya negatif. Ayahnya dan sesama tukang kayu di Nazaret kerap mengeluhkan mereka. “Orang-orang muda itu tidak berpikir panjang. Mereka berbahaya dan seharusnya tidak dibiarkan berkeliaran leluasa. Dengan kekerasan mereka melwan tentara-tentara upahan Herodes – lantas apa hasilnya? Suatau hari, mereka akan mengakibatkan pembantaian di semua desa di seluruh wilayah.” Pemberontakan! Perlawanan orang-orang lemah, tak berdaya, yang dikuasai Raja dan orang-orang Roma sepenuhnya ketika mereka harus mematuhinya.
Menurut mereka, pemberontakan ada hasilnya. Kerajaan Israel berlumur darah, airmata dan penghinaan. Herodes adalah raja yang paling kejam dan paling semena-mena. Umurnya sudah lanjut, mendekati ajal, pula teramat sewenang-wenang. Ia kadang-kadang nampak lebih buruk dari orang Roma sendiri, para kafir tanpa hati.
Adapun kaum Farisi dan Saduki, yang mengelola kuil Yerusalem dan kekayaannya, sama sekali tidak lebih baik. Mereka malah tunduk pada kehendak sang raja. Mereka hanya berpikir untuk membiarkan kekuasaan itu merajalela dan menetapkan hukum yang memungkinkan untuk memperkaya diri karena tidak ada penegakan keadilan.
Galilea terletak jauh di sebelah utara Yarusalem. Wilayah itu dihancurkan dan diluluhlantakkan oleh pajak yang menggembungkan pundi-pundi Herodes, putra-putranya dan semua pihak yang menelan mentah-mentah penindasan terhadap rakyat.
Tuhan berpihak pada umatNya dan kerajaanNya seperti yang telah sering terjadi semenjak persekutuan dengan Abraham. Tetapi haruskah kekerasan demi kekerasan berlanjut untuk itu? Apakah kita yang lemah dan kesulitan melawan yang kuat harus mengambil risiko memrovokasi pembunuhan?
“Ayahku bilang, kalian bodoh. Kalian akan membuat kami semua mati,” tandas Mary dengan nada menegur.
Barabbas tergelak.
“Aku tahu. Banyak yang sependapat dengan ayahmu. Mereka menggerutu dan meratap seakan-akan kamilah penyebab penderitaan mereka. Mereka pengecut dan hanya berdiam diri. Entah apa yang ditunggu. Sang Messiah?”
Barabbas mengakhiri kata-katanya dengan gerakan tangan seolah melemparkan perkataan itu dalam kekelaman malam.
“Kerajaan Israel ini penuh dengan messiah yang gila dan tak berdaya. Tidak perlu mendengarkan ceramah para rabi untuk mengerti bahwa Herodes dan orang-orang Roma tak mungkin berubah. Ayahmu keliru. Herodes akan terus membantai, memperkosa dan merampok, sebab dari situlah ia dan anak-anaknya bisa hidup. Mereka begitu kaya dan berkuasa karena kemiskinan kita! Aku tidak mau ongkang-ongkang kaki saja. Tak ada yang pernah bisa menemukan aku.”
Ia terdiam, nafasnya tersengal karena amarah yang menggelegak. Berhubung Mary tak mengucapkan sepatah kata pun, Barabbas menambahkan dengan suara lebih keras, “Kalau kami tidak berontak, siapa yang melakukannya? Ayahmu dan semua orang tua yang sependapat dengannya salah besar. Semua orang pasti mati. Dengan kondisi sekarang ini, mereka akan binasa sebagai budak. Aku sendiri akan menutup mata di Yahudi sebagai orang besar Israel. Kematianku akan lebih terhormat dibanding mereka.”
“Ayahku bukan budak ataupun pengecut. Keberaniannya sama denganmu...”
“Lalu apa gunanya? Menyerah bagaikan pengemis ketika para serdadu Herodes menemukan anak perempuannya bersembunyi di loteng?”
“Aku berada di sana karena harus menolongmu! Seluruh isi rumah kami dan tetangga kami dijungkirbalikkan, pula bilah kayu yang dikerjakan ayahku dan perabot kami. Semuanya karena kau berbuat nekad!”
“Ah, hentikan ocehanmu! Sudah kukatakan, kau bicara seperti bayi. Ini bukan urusan anak kecil!”
Mereka mencoba meredam suara mereka masing-masing, namun perdebatan tak terelakkan. Mary agak khawatir dibuatnya. Ia menoleh ke arah tangga, menajamkan telinga, lalu memastikan tak ada yang mendengar mereka di dalam rumah. Jika ayahnya bangun, derit tempat tidurnya dapat ia dengar dari jarak jauh.
Setelah yakin, ia kembali berpaling pada Barabbas. Pemuda itu telah meninggalkan gundukan kayu. Sambil bersandar pada dinding, ia mencari jalan untuk turun dari loteng itu.
“Apa yang kau lakukan?” tanya Mary.
“Pergi. Kurasa kau tak menghendakiku berada di rumah ayahmu. Lebih baik aku segera pergi dengan caraku menyelinap kemari.”
“Barabbas, tunggu!”
Mary tahu bahwa perkataan mereka ada yang benar dan ada yang salah. Barabbas pun demikian. Itulah yang membuatnya marah.
Setelah cukup dekat, Mary menepuk dada pemuda itu. Ia terkejut seolah-olah telah dipukul.
“Kau tinggal di mana?” tanyanya.
“Aku bukan penduduk sini.”
Betapa menjengkelkan, ia tak pernah menjawab langsung setiap pertanyaan! Jelas ini kebiasaan seorang pencuri.
“Aku tahu. Kalau kau tinggal di desa ini, aku pasti mengenalmu.”
“Di Safuria...sebuah perkampungan besar, perjalanan kaki satu setengah jam ke utara. Kau harus melewati hutan lebat untuk sampai ke sana, dan tak ada yang melintasinya pada malam hari.”
“Jangan bodoh. Kau tak bisa pulang sekarang,” ujar Mary lunak.
Ia melepaskan selendang wolnya dan menaruhnya di tangan Barabbas.
“Tidurlah dalam gua...jangan ditutup, supaya kau tidak takut. Selendang ini akan menghangatkanmu.”
Sebagai jawaban, Barabbas mengangkat bahu dan membuang pandangan. Namun ia tidak menolak uluran selendang itu atau mencoba melompat dari tembok loteng ke bawah.
“Besok,” lanjut Mary dengan suara yang manis,“ secepatnya akan kubawakan susu dan roti. Tetapi pada siang hari sebaiknya gua ditutup. Kadang-kadang ayahku kemari setelah bangun tidur.”
* * *
Dini hari, rintik gerimis yang dingin melembabkan udara di rumah-rumah. Mary berusaha menyisihkan semangkuk kecil susu dan sepotong roti dari makanan simpanan ibunya. Ia naik ke loteng tanpa dicurigai penghuni rumah.
Pintu gua tertutup rapat. Balok-balok kayu basah kuyup oleh hujan. Mary melihat sekeliling dan menarik papan tipis. Papan penyekat terjungkit cukup lebar untuk mengetahui bahwa ruangan itu kosong. Barabbas sudah pergi.
Ia belum lama meninggalkan tempat itu, sebab tumpukan wol masih terasa hangat. Selendangnya ditinggalkan di sana dalam keadaan terlipat rapi. Begitu rapi sampai Mary tersenyum. Mungkin sebagai tanda terima kasih.
Mary tidak terkejut mendapati Barabbas telah menghilang dalam waktu singkat. Ia telah menduga bahwa pemuda itu tidak tahan berdiam di satu tempat, sering bertindak tanpa perhitungan, dan tidak menyukai suasana yang tenang. Lalu hujan turun. Tentu ia khawatir telihat oleh penduduk Nazaret. Bila dirinya sampai ditemukan, orang tak akan melepaskannya. Siapa yang berani menjamin bahwa tak ada yang akan membalas dendam karena merasa dirugikan oleh pemberontak seperti dirinya?
Meski begitu, kala menutup gua, Mary merasa agak kesal juga. Ia ingin berjumpa kembali dengan Barabbas. Berbicara dengannya lagi. Melihat wajahnya di hari terang.
Kecil kemungkinan mereka akan bertemu lagi. Pasti Barabbas akan menghindari Nazaret, demi keselamatan warga.
Mary berbalik dan menuju rumah tersentak. Cuaca dingin, hujan, ketakutan, adn amarah melingkupinya sekaligus kini. Matanya, yang terbiasa menyaksikan ketegangan, menyergap tiga salib kayu yang ditancapkan di bukit pinggiran desa.
Enam bulan lalu, para tentara bayaran Herodes mengikat ‘penyamun’ yang ditangkap di wilayah sekitar. Sekarang, mayat orang-orang itu tinggal onggokan kaku, busuk, kering, dan separuh disantap oleh burung bangkai.
Itulah yang akan terjadi pada Barabbas jika ia tertangkap. Hal itu pulalah yang memperkuat alasannya untuk berontak.
Notes:
[1] Mary adalah Ibunda Isa Al-Masih. Nama Mary merupakan versi Bahasa Inggris. Dalam Kitab Perjanjian Lama Mary dikenal dengan Miriam. Di masyarakat kita lebih dikenal dengan Maryam atau Maria.
[2] Nama jenis pohon
[3] Orang Jerman kuno
Tidak ada komentar:
Posting Komentar