Selasa, 05 Juli 2011

Virgin Mary: Perawan Suci Maryam

3

Dikelilingi dua belasan perahu yang serupa, sebuah perahu nelayan kecil menyeimbangkan diri di atas gelombang air danau Genesaret. Selubung merah dan biru telah terhempas. Sejak pagi, di dua titik pantai, para nelayan menebar jala seperti biasanya. Akan tetapi setiap perahu membawa empat teman Barabbas, siap bertempur. Saat ini, mereka bersenang-senang sambil membantu para nelayan.

Sambil meringkuk di atas papan kasar di buritan, Mary memperhatikan dengan tidak sabar tenggelamnya matahari di Tiberias. Di bawah sana, dari sebelah hutan menyeramkan yang mengelilingi benteng, ayahnya menderita dan tak tahu Mary ada di dekatnya. Ia tidak sadar bahwa malam akan tiba dan putrinya akan menyelamatkannya dengan izin Tuhan Yang Maha Kuasa.

Duduk di atas langkan di belakangnya, Barabbas memperhatikan keresahan itu. Disentuhnya pundak Mary.

“Kita hanya akan menunggu sebentar lagi,” katanya kala gadis itu mengangkat wajah ke arahnya. “Bersabarlah sedikit saja.”

Wajahnya amat letih, tetapi suara lembutnya tetap mengandung kecerdikan. Mary ingin menertawakan hal itu, balas menyentuh tangannya untuk mengungkapkan rasa persahabatan dan keyakinan. Tetapi ia tak sanggup. Ototnya terasa amat kaku sehingga ia bahkan berusaha tidak bergetar. Tenggorokannya tersekat. Malam sebelumnya, kekhawatiran dan kelelahan membuatnya sukar memejamkan mata. Barabbas hanya sesekali terlihat mengantuk dan hampir tak pernah tidur.

Sebenarnya, Mary terkejut oleh ketangkasan dan ketepatan strateginya.

* * *

Sebelum berangkat dari Safuria, lalu menempuh perjalanansepanjang malam dan tidak berhenti kecuali mengistirahatkan keledai dan kuda, kawanan Barabbas pagi-pagi sekali telah berada di bukit bagian atas yang menjorok ke aliran danau Genesaret. Tiberias sudah mereka jejak. Benteng bertembok tinggi itu, menara-menaranya dan dindingnya yang berlubang tempat menembakkan senjata, nampak lebih kokoh dari biasanya.

Meskipun jauh, Mary segera menemukan kamp tahanan itu. Di sebelah kanan benteng, lapangan itu terbentang dekat aliran danau hampir seperempat mil. Dari kejauhan, terlihat ratusan tiang gantungan, bagaikan padang rumput raksasa menghampiri wilayah ini.

Di sekellilingnya tidak ada kehidupan. Pohin buah-buahan dan taman mengitari dinding putih kota itu dan garis jalan yang bersilangan dengan hati-hati merapat ke sisi lain benteng. Dilihat dari atas, kamp tahanan itu nampak seperti kelompok panjang yang gelap dibatasi pagar kayu runcing, membentuk garis hitam besar dan menodai keindahan natural taggul-tanggul.

Mary menggigit bibir. Ia ingin bergegas, memastikan bahwa Joachim belum berada di antara sosok hitam yang dilihatnya dari jajaran salib yang tak beraturan, bahkan jika tidak ada di sana ia belum merasa tenang. Mungkinkah ia sudah menemui ajalnya dalam benteng?

Tanpa membuang waktu, Barabbas mengerahkan pasukannya. Mereka harus membangun perlindungan di hutan sementara ia sendiri, Abdias adn orang-orang kepercayaannya akan mencari iformasi di Tiberias.

Mereka kembali dengan wajah kuyu. Abdias segera mendekati Mary. Ditunjuknya kamp tahanan dengan dagu.

“Ayahmu tidak ada di sana. Aku yakin.”

Mary merapatkan mata, menghela nafas dalam-dalam untuk menenangkan debur jantungnya. Abdias menjatuhkan diri di tanah. Pipinya yang kotor nampak mengendur, penampilannya lebih tua dari usianya. Di belakang mereka, yang lain mendekat karena ingin tahu.

“Aku sudah megintai sangat dekat, seperti perintah Barabbas. Penjaganya banyak, tetapi mereka tidak mengindahkan anak-anak. Pagar kayu yang runcing terpaku rapat mengelilingi kamp salib. Siapapun yang melewatinya pasti akan tercabik-cabik. Ada dua tempat yang bisa dilihat dari dekat. Dan yang kulihat, bisa kupastikan, tidak menyenangkan.”

Abdias berhenti sejenak, seolah-olah pemandangan menakutkan itu masih berada di depan matanya.

“Lusinan orang, dan lusinan lagi. Aku tak bisa menghitung. Ada yang sudah berada di sana lama sekali sehingga tubuhnya hanya tinggal tulang. Yang lain sudah cukup lama mati. Kami mendengarnya merintih. Kadang-kadang ada yang meneriakkan sesuatu. Seolah malaikat maut sudah bersama mereka.”

Getaran panjang, tak tertahan, menggetarkan pundak Mary.

“Kalau memang sebanyak itu,” katanya dengan suara parau, hampir tak terdengar, “Bagaimana kau tahu ayahku tidak ada di antara mereka?”

Mata Abdias bersinar nakal. Ia hampir tersenyum.

“Aku dibantu seorang petugas yang sudah lanjut usia. Orang tua seperti itu lebih lunak dari istri seorang pendeta jika berjumpa anak-anak sepertiku. Kukatakan padanya bahwa kakakku akan disalib. Semula ia hanya akan tertawa, mengatakan itu hal biasa dan aku akan segera bergabung dengannya. Aku pura-pura hendak menangis. Maka dibujuknya aku, katanya aku takkan langsung ditangkap. Kemudian, ia bertanya sejak kapan “kakakku” dikurung dalam benteng, karena sudah empat hari tidak ada orang yang disalib.”

Abdias mengangkat tangan, jari-jarinya merenggang.

“Hitunglah, ayahmu di sana sejak dua hari yang lalu...”

Mary setuju, meraih tangan anak lelaki itu di depan yang lainnya. Ia merasakan jemari Abdias bergetar dan tidak lagi memegangnya.

Suara angkuh Barabbas menarik perhatian yang lain dengan menyatakan agar tidak berpikir akan masuk ke kamp tahanan dari gerbang utama.

“Pintu itu cukup besar untuk dilalui sebuah kereta. Lusinan tentara menjaganya terus, siap meneriakkan peringatan dan menguncinya dengan daun pintu berlapis baja.”

“Yang tertutup sepanjang malam, sepengetahuanku,” tambah salah satu kawannya.

Meskipun begitu, kota itu dipenuhi legiun dan tentu saja mata-mata. Sulit untuk menyelinap diam-diam. Melewatinya berkelompok akan menarik perhatian, bahkan meski berpura-pura menjadi pedagang miskin. Penjagaan amat ketat, dan risiko itu terlalu besar untuk diambil.

Bocah lelaki yang lain terdiam. Barabbas mengejek, “Jangan melewati mereka, ada yang lebih mudah dari dugaan kita. Pagar kayu berakhir di danau. Di tanggul, tidak ada apa-apa. Apalgi penjaga.”

Protes mengemuka. Siapa di antara mereka yang dapat berenang? Hanya tiga atau empat orang. Lagi pula, berenang bersama orang-orang malang yang diturunkan dari salib, di bawah intaian pemanah Roma sama saja bunuh diri. Diperlukan kapal dan mereka tidak memilikinya.

“Kita memilikinya ketika tidak tahu cara menggunakannya!”

Barabbas menertawakan kesangsian mereka.

“Pikiran kalian sempit sekali. Kita tidak punya kapal. Tetapi di sepanjang danau banyak kapal nelayan dan perahu. Kita punya gandum, wol, dan kulit sapi. Juga beberapa barang indah dari perak. Mereka pasti mau membantu dengan imbalan itu semua.”

* * *

Sebelum malam, urusan kapal telah selesai. Para nelayan di desa sekitar Tiberias tidak tahan tinggal berdekatan dengan benteng dan kamp penyiksaannya. Reputasi kawanan Barabbas dan perampokan pedati merupakan faktor lainnya.

Malam berikutnya, rumah-rumah di sepanjang danau dibiarkan terbuka diam-diam. Esoknya, selama Abdias dan teman-temannya mengintai benteng lagi, Barabbas menyusun strategi bersama para nelayan.

Mary mengalami mimpi buruk sebelum Abdias mengagetkannya, dua jam sebelum fajar menyingsing.

“Aku melihat ayahmu. Percayalah, ia berjalan. Ia berbeda dengan tahanan lainnya. Setelah dipukul lima belas kali, mereka disalib. Tapi tidak demikian dengan ayahmu.”

Beberapa saat kemudian, di bawah pengawasan Barabbas, Abdias meneruskan, “Serdadu tua yang sudah menjadi temanku membiarkanku melihat selama mungkin. Aku segera mengenali Joachim karena kepalanya yang tegak dan pakaian tukang kayunya. Aku tak sekejap pun berpaling darinya. Aku tahu persis di mana ia berada. Bahkan dalam malam yang gelap, aku dapat menemukannya.”

Kini merek menanti hari pekat. Ketegangan memupus kelelahan mereka. Sebelum meninggalkan daerah sekitar danau, Barabbas mengulangi rencananya dengan seksama dan memastikan setiap orang tahu apa yang harus dilakukan. Mary tidak meragukan keteguhan mereka meski hatinya tetap resah.

Matahari hampir surut di balik bukit sekitar Tiberias. Dari belakang, benteng terlihat bak bayangan hitam berkontur menakutkan. Senja menyedot satu per satu kehijauan pepohonan di sekitarnya. Di udara terpancar sinar yang aneh, benderang dan bernuansa biru, menyerupai sebuah gumpalan awan. Kamp sendiri akan segera hilang dari pandangan mata. Kegaduhan bergaung hingga permukaan danau, berasal dari Tiberias dan bagai dipantulkan oleh kilatan api yang memancarkan bayangan matahari.

Mary memajukan dan menengadahkan kedua belah telapak tangannya, berdoa pada Yahweh dengan suara lirih seperti biasanya. Ia merenungkan saat-saat pertemuan dengan ayahnya nanti, betapa kepedihan yang dirasakan oleh ayahnya dari luka dan memar di sekujur tubuhnya.

Dengan dibantu oleh Barabbas, nelayan pembawa perahu mengikatkan jala di tiang. Ia menunjukkan sungai itu.

“Begitu matahari sampai di balik puncak bukit, sinarnya akan terang dan menyilaukan,” ia berkata. “Akan menjadi lebih mudah untuk melakukan gerakan.”

Barabbas sepakat.

“Akan ada bulan sabit. Persis seperti yang kita butuhkan.”

Barabbas kembali duduk di dekat Mary, sementara nelayan tadi menarik tali untuk menggulung layar.

“Ambillah,” suruhnya lunak. “Kau akan membutuhkannya.”

Barabbas membuka telapak tangannya, ia membawa sebilah pedang pendek, dengan tangkai berbalut kulit merah dan mata pisaunya terhunus. Mary merenung, terpaku.

“Ambillah,” paksa Barabbas. “Dan gunakan jika perlu saja. Jangan ragu. Aku ingin menolong ayahmu, tapi aku juga ingin membawamu pulang dengan gembira dan hidup.”

Ia mengedipkan mata dan segera beranjak untuk membantu sang nelayan menarik tambang sebelum menaikkan layar sepanjang tiang.

Di sekeliling mereka, di atas kapal yang lain, keasyikan tanpa suara melanda orang-orang. Dengan kehati-hatian yang tetap normal, layar naik satu demi satu, bersinar ditimpa cahaya petang.

Matahari bergerak ke atas hutan yang telah gelap. Semburat semerah darah merembet di permukaan danau, sangat menyilaukan hingga mereka harus menutup mata.

Seperti dikatakan sang nelayan tadi, kilauan itu menggoyangkan layar. Ia menggenggam erat-erat dayung kemudi, mendorongnya dengan sekali pukul. Layar terjungkit, mengembang seperti dipukul dengan kepalan tangan. Layar perahu berkerit, haluan membelah air dengan sekali gerakan. Kemudian, perahu lainnya berputar. Layar berkelebat satu sama lain sementara bunyi tiang dan balok penyangga yang direntangkan memecah permukaan danau.

Barabbas berdiri di bawah layar, berpegang pada tiang. Haluan kapal menuju ke arah teluk besar di sebelah timur Tiberias. Sambil tersenyum, si nelayan berkata pada Mary, “Kalaupun mereka melihat kita, kita akan disangka sedang pulang ke rumah.”

* * *

Ketika gelap telah sempurna, mereka mengendap ke arah utara, mengurangi kecepatan layar agar tidak terlalu jauh dari benteng. Kini, sinar samar rembulan memungkinkan untuk melihat kapal-kapal yang paling dekat saja. Di atas air, berpantulan cahaya dari lampu-lampu istana Tiberias dan nyala obor jalan-jalan sekitar benteng.

Sinar itu meredup. Para nelayan menandai kapal mereka seperti sebuah kavaleri terhadap binatang tunggangan mereka. Namun Mary merasakan kegugupan Barabbas. Ia tak berhenti menengok ke atas untuk melihat kibasan layar, sukar menebak kecepatannya, khawatir mencapai benteng terlalu dini atau terlambat.

Tiba-tiba saja, mereka telah begitu dekat dengan kelompok besar menara sehingga siluet para serdadu lenyap dalam lingkaran obor. Sekejap kemudian, terdengar siulan. Kemudian siulan lain membalasnya. Barabbas mengelus dada.

“Di sana!” serunya penuh kelegaan.

Mary memperhatikan aliran air. Ia tidak melihat apa pun yang menonjol di sana. Tiba-tiba sesuatu meledak, begitu kuat sampai mampu meredupkan lampu dan obor. Detik demi detik, cahayanya membesar. Lidah api di bawah berkobar-kobar dan menuju bagian yang gelap. Teriakan, panggilan terdengar di lintasan jalan. Para penjaga bergerak meninggalkan pos mereka.

“Sudah selesai,” gumam Barabbas, girang, “Mereka berhasil!”

Yang disebut mereka dalah selusin anggota kelompoknya. Mereka sengaja membakar barak penjaga dan menara pengawas yang mengitari benteng, di seberang kamp tahanan. Pedati-pedati yang dibawa dari Safuria telah ditinggalkan dalam perjalanan, diisi kayu tua dan tanaman pakan yang tampak tidak berbahaya. Lapisan dalamnya, yang tadinya penuh dengan senjata mereka, kini telah diisi dengan pot sejenis aspal dan tempayan berisi terpentin. Kereta itu menjadi pemicu kebakaran yang hebat. Anak-anak buah Barabbas harus membakarnya tepat satu jam sebelum meninggalkan kota.

Akhirnya misi berhasil. Untuk memastikannya, terdengar ledakan keras di atas danau. Sekali lagi bara api menyinari dinding. Sinar berkilauan dan api menyala lagi, jauh lebih besar dari yang sebelumnya. Kebakaran ini akan menyebarkan kepanikan dikalangan tentara dan membuat warga desa berlarian kalang-kabut.

Teriakan gembira terdengar dari semua kapal, sementara api yang merajalela memantul di jembatan Tiberias. Lalu berkumandang suara terompet yang memanggil para legiun dan tentara memberi bala bantuan. Barabbas berpaling pada si nelayan.

“Ini saatnya!” katanya sambil berusaha mengendalikan kegembiraan. “Kita harus maju selagi mereka sibuk mengatasi api!”

* * *

Rencananya sangat berjalan mulus.

Karena sudah terpencar-pencar oleh kebakaran, pengawasan kamp tahanan dan ruas jalan di sekitarnya berkurang. Bahkan hampir tiada.

Kapal-kapal mendekat tanpa suara ke pantai berbatu kerikil, tempat semua orang berjalan kaki. Di sini, kegelapan teramat kelam, sementara terdengar pekikan mereka yang memadamkan api. Lidahnya berkobar-kobar, kontras dengan gelapnya langit dan danau.

Barabbas dan kawan-kawannya, dengan mata awas dan menggenggam pedang pendek, berlari lebih awal untuk memastikan tak ada penjaga yang sewaktu-waktu dapat membunyikan tanda peringatan.

Tangan Mary diraih seseorang. Abdias menuntunnya.

“Dari sini, ayahmu terlihat di sebelah atas, dekat pagar kayu.”

Tetap saja Mary seperti kawan-kawan Abdias yang mengikutinya ragu-ragu, penuh kecemasan. Mata mereka terbiasa pada kegelapan untuk mengenali keseraman yang melingkupinya.

Salib-salib ditata bagaikan hutan di neraka. Beberapa telah lapuk, terbakar dengan sisa bangkai yang melekat. Yang lain begitu berdempetan sehingga, di sana-sini, lintasan yang dilalui hanyalah berupa koyakan-koyakan tubuh para terhukum yang bertumpang tindih.

Beberapa salib masih utuh. Tetapi di bawahnya, tengkorak bergeletakan, membentuk siluet aneh yang tidak lagi menampakkan makhluk hidup. Mary merasakan bau busuk menusuk indera penciumannya. Bau busuk yang tak lain dari tulang-belulang dan kerangka yang bertumpuk di tanah.

Geraman halus membuat mereka terkejut. Kacaunya udara menghentakkan nafas mereka. Kucing-kucing liar bergegas angkat kaki. Burung-burung malam, binatang buas yang merasa terusik, beterbangan perlahan dengan pandangan mencekam.

Mary sejenak ragu untuk melangkah terus.

“Cepat! Kita tak punya waktu lagi.”

Mereka berlari dan merasa menjadi lebih baik karenanya. Seperti yang dijanjikan, Abdias berjalan dengan yakin di antara salib-salib.

“Di situ,” ia menunjuk dengan jarinya.

Mary tahu yang dikatakan Abdias benar. Walau malam amat gelap, ia mengenali sosok tubuh Joachim.

“Ayah!”

Joachim tak menjawab.

“Ia tertidur,” Abdias meyakinkan. “Sepanjang hari di atas sana membuat kita tak merasa apa-apa, meski kepala dipukuli!”

Tatkala Mary memanggil nama ayahnya lagi, kegaduhan mencuat di sekitar pagar kayu.

“Demi setan!” gerutu Abdias, “Mereka masih meninggalkan penjaga di sini! Yang lain, cepat bantu aku.”

Ia menarik dua temannya ke bawah salibdan melompat dengan gesit ke pundak mereka.

“Periksa orang-orang lain di salib yang ada di sekitarmu,” ia memerintah temannya yang lain. “Pasti ada yang masih hidup.”

Mary melihatnya memanjat sambil menggigit pisau, segesit anak monyet. Dalam sekejap, ia mencapai bagian atas tubuh Joachim.

Dengan lembut, disentuhnya wajah lelaki itu. “Hei, Pak Joachim, bangunlah. Putrimu datang menolongmu!”

Joachim menggumam tidak jelas.

“Bangun, pak Joachim!” paksa Abdias. “Ini bukan saatnya untuk tidur! Akan kupotong ikatanmu, jika kau tak melakukan apa-apa, kau akan jatuh berantakan dibawah sana.”

Mary mendengar rintihan kesakitan di salib-salib terdekat yang didekati bocah lainnya. Makian dan suara menggerincing logam terdengar di tempat orang-orang berkelahi.

“Ayahku pasti terluka,” katanya pada Abdias. “Potong talinya dan kita angkat dia!”

“Jangan khawatir, ia terbangun rupanya!”

“Mary! Mary, suaramukah itu?”

Suaranya parau dan sangat lirih.

“Ya, ayah. Ini aku...”

“Tapi bagaimana...?” Dan kau, siapa?”

“Nanti saja, tuan Joachim,” bisik Abdias sambil menangani tali yang kuat. “Sekarang kita harus kabur cepat-cepat, karena keadaan akan segera memburuk...”

Tepat saat Mary dan teman-teman Abdias mengangkut tubuh Joachim yang merosot sepanjang salib, Barabbas datang bersama kawanannya.

“Bajingan!” umpatnya.

Bajunya robek, matanya masih berkilat penuh semangat. Ia tidak lagi membawa pedang pendek, tetapi sebilah spatha, pedang panjang ala Roma yang terkenal.

“Tinggal empat orang di tenda perang. Mereka takkan lagi ke Yerusalem dan kami telah mengambil senjatanya. Tetapi kulihat seseorang menjaga gerbang benteng. Kita harus pergi sebelum ia memanggil bala bantuan.”

“Siapa kau?” joachim terheran-heran.

Kakinya sangat rapuh dan setiap tarikan nafas membuatnya gemetar. Ia ditopang oleh Mary, yang memegangi kepalanya. Barabbas tersenyum lebar.

“Barabbas siap melayani Anda. Putri Bapak datang memintaku menolong Anda dari tahanan para tentara Herodes. Misi telah tunai.”

“Belum,” ucap Abdias seraya melompat ke tanah. “Aku baru melihat obor di bawah dinding sana.”

Barabbas memerintahkan mereka diam, mendengar suara para serdadu yang mendekat dan berbisik, “Mereka akan sulit mengenali kita di malam hari. Meskipun demikian, kita harus segera pergi dari sini.”

“AYahku tidak dapat lari,” balas Mary perlahan.

“Kita gendong saja dia.”

“Empat orang lagi juga harus dibopong,” kata Abdias.

“Kalau begitu, apalagi yang kau tunggu?” tukas Barabbas sambil menggendong Joachim di pundaknya.

* * *

Perlu beberapa waktu hingga mereka naik ke perahu layar yang telah siap sebelum tentara terpikir untuk mengejar ke tebing. Tapi sudah terlambat, layar sudah terkibar diselingi guncangan perahu yang mulai melaju. Beberapa tembakan berbahaya dilepaskan. Anak panah dan lembing lenyap dalam keremangan. Dari sisi lain benteng, kebakaran masih berkobar, bahkan semakin membesar. Setengah kota terancam dilalapnya, dan tentara tidak sempat mengejar mereka yang membawa pergi para terhukum.

Perahu-perahu hilang ditelan malam. Seperti yang telah disepakati, para nelayan membakar dua di antaranya, yang paling keropos dan kurang cepat geraknya. Mereka meninggalkannya dalam arus air, sebelum memberitahukan kepada orang Roma dan tentara bahwa kedua perahu itu telah dicuri.

Sementara perahu menyusuri danau ke arah utara, Joachim, dengan jari-jemari kaku karena terikat belenggu di pergelangan tangan, terus memegang tangan Mary dan mengelus wajahnya. Batinnya masih bingung, separuh wajahnya kuytu digerus haus dan lapar, pula sekujur tubuh penuh luka. Ia membisikkan ucapan syukur disertai doa kepada Yahweh, sedangkan Mary bercerita betapa ia tak mau membiarkannya mati, biarpun ditentang para tetangganya di Nazaret, kecuali si tukang kayu Yosef dan Halwa, istrinya.

“Tetapi akulah yang punya gagasan menolong Anda, Pak Joachim,” sela Abdias. “Kalau tidak, Barabbas takkan melakukannya sendirian.”

“Kalau begitu, aku berterima kasih padamu dari lubuk hati yang terdalam. Kau sungguh pemberani.”

“Ah, tidak sesulit itu dan tidak cuma-cuma. Anak Anda sudah berjanji jika aku mau melakukannya.”

Tawa Joachim terdengar sampai ke hati Mary.

“Aku akan memenuhi janji itu pula, asalkan bukan untuk menikahimu.”

Kejutan itu membungkam Abdias beberapa saat. Lalu Mary merasakan gelak ayahnya yang ia tahan sendiri. Di atas segalanya, terbukti Joachim masih baik-baik saja setelah keluar dari keseraman kamp tahanan tersebut.

“Bah! Tidak sejauh itu,” gumam Abdias. “Ia berjanji bahwa anda akan menceritakan kisah-kisah di Alkitab kepada kami.”[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar