Rabu, 06 Juli 2011

Virgin Mary: Perawan Suci Maryam

6

Beberapa minggu lamanya, mereka melupakan pertemuan mengharukan tempo hari dan pertempuran yang tengah dinantikan. Hari demi hari bergulir tentram, disemati aneka kegembiraan yang melenakan bagai suasana sunyi menjelang badai.

Mary mengambil alih tanggung jawab mengurus anak-anak. Halwa akhirnya setuju untuk beristirahat begitu merasa perlu. Pipinya tak lagi pucat, vertigonya jarang kambuh, dan setiap hari tawanya berderai di sekitar rumah.

Joachim tetap berada dalam bengkel kerja Yusuf. Ia kembali menyentuh perkakas, mencium bau serbuk kayu, menghaluskan dan melumasi kayu dengan tenaganya yang telah pulih. Lelaki itu bekeja dengan semangat penuh.

Lysanias, yang diam-diam dikabari Hannah, datang sambil mengucap syukur, mendoakan Mary dan mengecup keningnya. Ia membawa berita baik dari Hulda. Wanita itu tidak lagi merasakan dampak pukulan yang diterimanya tempo hari. Kesehatannya, bahkan tindak-tanduknya, kembali seperti semula.

“Ia memperlakukan seperti suaminya yang sudah jompo,” papar Lysanias gembira. “Rasanya seolah kami benar-benar selalu bersama selama ini.”

Ia teramat merindukan saat-saat bekerja sehingga langsung bergabung dengan Yusuf dan Joachim. Dalam beberapa pekan saja, mereka bertiga berhasil menyelesaikan pekerjaan yang biasanya bisa memakan waktu hingga empat bulan.

Setiap malam, tatkala membenahi perkakas sesuai kebiasaannya sejak dulu, Lysanias berkata puas, “Wah! Ini yang membuat kita berhasil menempuh separuh jalan.”

Yusuf, yang biasanya menyetujui dengan senyuman sebelum mengajak semua orang bersantap, berkata pada suatu hari, “Kita tidak boleh begini terus. Aku mengupah Lysanias, tetapi kau, Joachim, bekerja tanpa dibayar. Sungguh tidak adil padahal, aku mendapat pekerjaan karena orang tahu bengkelmu tutup. Aku merasa tak enak. Kita harus membuat kesepakatan.”

Joachim tertawa senang.

“Ya ampun! Tempat bernaung, makanan, kebahagiaan memiliki sahabat dan kedamaian, itulah hasil kerjasama kita, Yusuf. Bagiku sudah cukup. Jangan khawatir, Sobat. Kau sudah menanggung risiko cukup besar dengan menampungku dan Mary di sini.”

“Jangan menyebut-nyebut Mary! Ia bekerja sepeti pelayan saja.”

“Sama sekali tidak! Ia meringankan tugas istrimu. Upahlah Lysanias sewajarnya, Yusuf. Tak usah risaukan aku. Kebahagiaan yang kudapat karena bekerja denganmu sudah merupakan imbalan. Hanya Tuhan yang tahu kapan aku dapat membuka bengkel lagi, tak ada ruginya bagiku untutk bertukang di bengkelmu.”

Yusuf tetap mengemukakan protes dengan serius. Joachim dianggapnya tidak bijaksana. Bagaimanapun, ia seharusnya memikirkan hari esok, demi Mary dan Hannah.

“Suka tidak suka, akan kusisihkan sejumlah uang untukmu setiap kali pekerjaan dilunasi.”

Lysanias menyela perbincangan itu. “Yang penting, Yusuf, ajukan tenggat waktu yang lebih panjang dan kemungkinan pekerjaan tertunda pada pelangganmu. Kalu tidak, mereka akan mengira kau bersekutu dengan iblis sehingga dapat bekerja secepat ini!”

Hanya Barabbas yang tetap kesal. Ketidaksabaran membuatnya menduga bahwa para serdadu datang ke Nazaret utnutk membalas dendam atas kaburnya Joachim. Mereka dapat mengacaukan rencana dan Barabbas mengkhawatirkan terjadinya serangan mendadak. Untuk mengatasi kegalauan itu, ia memutuskan untuk pergi ke hutan.

Sejak pagi hingga petang, pemuda itu menapaki rerumputan di sekeliling rumah, di antara hewan ternak yang berhasil diloloskan Yusuf dari tangan-tangan serakah pemungut pajak. Ia berjalan cukup jauh untuk mengawasi jalur keluar-masuk sekitar desa. Berada di alam terbuka membuatnya amat senang. Di jalan-jalan yang panjang, aroma perbukitan ditebarkan oleh kehangatan akhir musim semi kerap melelapkan tidurnya di bawah hamparan bintang.

Kegelisahan dan keinginan Barabbas untuk berkelahi dengan tentara-tentara melemahkan kewaspadaannya. Ia bahkan tidak menyadari kedatangan Abdias.

* * *

Malam segera bertandang. Mary baru saja mencium anak-anak setelah menceritakan dongeng pengantar tidur. Halwa sudah pulas. Terdengar suara-suara gembira dari bengkel di belakang rumah. Untuk kesekian kalinya Joachim, Lysanias dan Yusuf mengungkapkan kebahagiaan mereka karena dapat bekerja bersama. Seperti, biasa mereka duduk mengelilingi meja dengan semangat yang sama besar untuk makan dan mengobrol.

Percakapan mereka akan memakan waktu berjam-jam apabila Barabbas turut serta. Akan tetapi, ia tidak menganggap serius topik diskusi mereka.

“Percayakah kita pada anak-anak yang ingin mengubah dunia ciptaan Tuhan?” ia berkata pada Halwa.

Mereka berdua bersantai sambil menyaksikan para lelaki dengan bangga. Dengan senang hati, Mary melewati ruang utama rumah. Hari sudah kelam. Bau tilleul mewangi, ditebarkan oleh angin malam.

Ia mencari lampu dan guci minyak sebelum mengisinya. Saat kembali, gadis itu merasa kehadiran seseorang di belakangnya. Sekilas terlihat olehnya dalam keremangan senja di sekitar situ. Ia berusaha untuk tidak terkejut. Tak ada lagi bayangan yang nampak di ambang pintu, hanya selarik cahaya dari belahan awan di langit yang merona.

Ia kembali pada lampu minyak tadi. Namun saat menggunakan pemantik pai, sebuah tangan berjari besar menyentuh pergelangannya. Mary berlompat dan berteriak, hingga sumbu lampu di genggamannya terlepas. Terdengar seseorang berbisik, “Ini aku, Abdias. Tak usah takut!”

“Demi Tuhan, Abdias! Bagaimana aku tidak takut? Kau masuk seperti pencuri saja.”

Mary tertawa dan menepuk anak lelaki itu. Abdias tersenyum geli.

“Aku tak bermaksud menakutimu,” bisiknya halus, sambil menyalakan lampu. “Sungguh menyenangkan melihatmu lagi setelah sekian lama. Aku benar-benar gembira dapat bertemu denganmu.”

Cahaya dari sumbu menyala cukup terang untuk menguak kegelapan. Mary memperhatikan penampilan anak lelaki itu setelah mendengar pengakuannya. Ia membelai rambutnya yang berantakan dengan sikap keibuan.

“Aku juga senang berjumpa denganmu lagi, Abdias. Apakah kau kembali sendirian?”

“Tidak.” Abdias mengedikkan kepala ke arah bengkel Yusuf dengan sikap acuh. “Ada dua orang rahib besar dari Essene, seperti yang diminta ayahmu. Yang dari Damas, tidak jadi masalah. Mungkin ia benar-benar pemuka agama. Tapi yang satunya, Giora de Gemala, bukan main menyebalkannya. Ia bahkan tak mau memandangku. Bayangkan sikapnya saat mendengarkanku bicara dan menerima surat dari Joachim! Aku tiba di Gamala dalam keadaan kotor dan sangat kehausan. Mereka sama sekali tak memberiku minum.”

Abdias mengomel. “Teman-teman ingin pergi lagi, karena ada pasar besar tempat kami dapat makan dan melakukan kegiatan seperti biasa.”

Mary mengernyitkan kening penuh selidik. “Maksudmu mencuri?”

Abdias nyengir lebar.

“Setelah perjalanan panjang dan sambutan yang selaku tidak ramah, mereka ingin bersenang-senang. Aku tidak ikut. Aku menemukan cara sendiri untuk menyampaikan pesan Joachim kepada orang tua yang berbulu ini.”

Kebanggaan mencerahkan wajahnya, memupus keganjilan air mukanya. Sinar samar-samar di matanya berkilat.

“Tiga hari tiga malam, aku tidak bergerak dari depan bangunan tertutup tempatnya tinggal bersama para pengikutnya,” Abdias menerangkan. “semuanya memakai tunik putih. Janggut mereka sangat panjang sehingga nyaris terinjak. Mereka selalu terlihat akan memotongmu berkeping-keping. Kalau bukan sedang membersihkan diri, ya berdoa. Pokoknya mereka berdoa terus! Belum pernah kulihat orang berdoa seperti itu. Tapi setelah tiga hari, akhirnya mereka punya waktu untuk menemuiku. Mereka jengkel. Aku sudah tidak di sana lagi. Tiada bocah Am-haretz yang mencemari pandangan. Mereka langsung memberitahu Giora. Tapi malam harinya, kejutan lagi! Sewaktu Giora masuk kamar, ia menemukanku duduk di atas ranjangnya! Lucu benar melihat rahib Essene ini melonjak dan memekik.”

Abdias tergelak-gelak mengingat kejadian itu.

“Andai saja kau mendengarnya ketika ia memanggil semua pengikutnya, Mary. Aku tenang-tenang saja saat mereka mengerumuniku dan mencelaku habis-habisan. Setelah mereka semua lelah, baru aku bisa bercerita. Ia memerlukan dua-tiga hari untuk mengambil keputusan. Nah, di sinilah kita akhirnya. Perjalanan pulang kemari sangat lama sebab kami harus berhenti sekitar dua puluh kali sehari untuk berdoa. Kalu Giora ikut kita bertempur, pasti akan lucu jadinya.”

Ketika melihat Giora langsung, Mary berpendapat bahwa Abdias benar. Ia terkesima oleh penampilan dan tindak-tanduk rahib dari Gamala itu.

Pria itu sangat pendek, berjanggut tebal, sehingga usianya sukar diterka. Siluetnya menampakkan kerapuhan. Meskipun demikian, ketangguhan fisiknya luar biasa. Ia menekankan setiap ucapan dengan dengan gerakan tangan yang tegas, sedangkan suaranya teramat lantang. Jika bertemu pandang dengan seseorang, matanya terus menatap sehingga lawan bicara ingin mengedip seolah-olah melihat sinar yang menyilaukan.

Pada malam kedatangannya, Giora menegaskan bahwa Mary, Halwa dan Abdias tidak boleh makan bersamanya. “Itu dilarang,” Giora menjelaskan, “karena wanita dan anak-anak adalah makhluk lemah dan tidak setia.” Yang diperkenankan menyantap roti satu meja dengan lelaki tua itu hanya Yusuf, Joachim dan Joseph d’Arimatea, teman seperjalanannya sejak dari Damas. Pria itu juga memimpin sebuah komunitas Essene. Kendati berbusana tunik putih seperti Giora, Joseph sangat berbeda.

Tubuhnya tinggi besar, janggutnya pendek, wajahnya hangat, airmukanya memancarkan kebaikan hati, sikapnya ramah dan lembut. Ia sama sekali tidak memandang hina Abdias. Mary segera merasa simpati terhadap Joseph. Kepribadiannya benar-benar menampakkan ketulusan yang kentara. Bagaikan kekuatan magis, sosoknya yang damai meneduhkan kekerasan perilaku giora.

Namun waktu makan sempat diwarnai dengan ketegangan. Rahib dari Gamala menuntut suasana sepenuhnya tenang. Sedangkan Joseph d’Arimatea sebelumnya menyatakan bahwa berbincang-bincang tetap diperbolehkan. Giora menimpali dengan janggut bergetar, “Apakah kau ingin melanggar aturan Tuhan?”

Joseph d’Arimatea langsung mengalah. Rumah itu sunyi senyap. Yang terdengar hanya bunyi sendok kayu dalam pinggan dan suara mengunyah.

Karena sebal atau mungkin juga takut, Abdias keluar sambil membawa semangkuk gandum hitam dan buah ara. Ia menikmatinya di bawah pohon di pelataran, ditemani denagn suara jangkrik malam dan gemerisik dedaunan.

Untungnya, makan malam tidak berlangsung lama. Giora mengatakan bahwa Yusuf dan joachim harus bergabung dengannya untuk doa panjang setelah mandi, Joseph d’Arimatea, yang letih setelah menempuh perjalanan jauh, segera menemukan cara untuk membebaskan para tuan rumahnya dari kewajiban berat itu. Diyakinkannya Giora bahwa Tuhan akan lebih senang jika pemuka agama dari Gamala itu berdoa sendirian.

* * *

Hari berikutnya dipenuhi lebih banyak kejutan. Saat pagi baru merekah, Barabbas tiba. Tiga orang pria yang berlepotan debu turut bersamanya.

“Aku menemukan mereka tersesat di jalan sewaktu hari gelap,” beritahu Barabbas, dengan nada mengolok, pada Joachim.

Joachim memaksakan senyuman dan segera mengabarkan hal itu kepada Yusuf. Salah satu tamu mereka, seorang lelaki bertubuh pendek dan berwajah kusam, menyelipkan belati besar di pinggang.

“Namaku Levi le Sicaire,” ia memperkenalkan diri dengan suara keras.

Joachim mengenali Jonathan de Kapernaum yang berdiri di belakangnya. Rabi muda itu menganggukkan kepala malu-malu. Lazarus, pria Zelot dari Yozpat yang paling tua dari mereka bertiga, seketika memeluk Joachim sambil mengutarakan kegembiraan karena dapat bertemu dengannya lagi.

“Maha Kuasa Tuhan karena tidak cepat-cepat memanggilmu ke haribaan-Nya!” ia berseru gembira. “Sungguh Ia telah bermurah hati!”

Dua lelaki lainnya mengiyakan dengan riuh sementara Barabbas bercerita bahwa ia menemukan mereka dalam hutan. Mereka berada di jalan yang mengarah ke Samaria, karena takut bertemu serdadu Herodes di Nazaret.

“Kubiarkan mereka tidur beberapa jam sebelum melanjutkan perjalanan dan mengikuti arah dengan panduan bintang. Untuk para calon pejuang, pengalaman ini menarik juga.”

Joseph d’Arimatea muncul karena mendengar kegaduhan itu. Repautasinya sebagai rahib dengan kepiawaian di bidang medis, terutama di kalangan Essene di Damas yang dipimpinnya, telah tersebar kemana-mana. Walaupun demikian, tak satu pun dari ketiga tamu ini pernah berjumpa dengannya.

Joachim memperkenalkan mereka. Joseph d’Arimatea menjabat erat tangan ketiganya yang langsung menciptakan perasaan senang di hati masing-masing.

“Damai selalu bersamamu,” katanya bergiliran kepada Levi, Lazarus dan Jonathan. “Semoga Joachim diberkati karena mengatur pertemuan ini.”

Sesaat kemudian, Yusuf mengajak mereka duduk mengelilingi meja besar di bawah pohon-pohon. Percakapan panjang diawali dengan penuturan masing-masing mengenai perjalanan hidup dan kesengsaraan masyarakat di wilayahnya. Kesengsaraan yang selalu ditimbulkan Herodes.

Halwa dan Mary sibuk menata gelas tinggi berisi susu kental serta buah-buahan di atas meja. Mereka juga menyajikan galette yang dimasak Abdias dengan wajah merah padam.

“Aku tinggal bersama seorang pembuat kue selama setengah tahun,” ia bertutur bangga kepada Halwa yang terperangah melihat keahliannya. “Aku sangat menyukainya.”

“Mengapa kau sendiri tidak menjadi pembuat kue?”

Abdias tertawa pahit. “Pernahkah kau melihat orang Am-haretz yang menjual kue?”

Mary mendengarnya. Ia bertukar pandangan dengan Halwa. Keduanya tak dapat menahan rasa geli. Halwa hendak mengatakan sesuatu yang ramah kepada Abdias, ketika sebuah suara lantang membuat mereka semua menoleh. Sang rahib Giora berdiri di hadapan para tamu. Sikapnya teramat kaku dan ketus sehingga orang mengabaikan tubuhnya yang kecil.

“Mengapa ribut-ribut begitu? Teriakan kalian terdengar sampai kebelakang rumah hingga aku tak bisa berkonsentrasi belajar dan berdoa!” hardiknya.

Semua terhenyak. Joseph d’Arimatea menegakkan tubuh dan beranjak mendekati Giora sehingga perbedaan fisik mereka nampak menonjol. Ia tersenyum. Senyumannya ramah, menyenangkan dan agak dingin. Dari sosok Joseph, Mary merasakan kekuatan yang kentara.

“Kami gaduh karena senang dapat berjumpa, Giora yang baik. Kawan-kawan ini baru tiba setelah nyaris tersesat dalam hutan. Tuhan membimbing mereka pada teman kita, yang memandu mereka dengan bintang-bintang sebagai petunjuk!”

“Menggunakan bintang-bintang sebagai petunjuk!” Janggut Giora bergetar. Pundaknya gemetar karena marah.

“Perbuatan macam apa itu!” ia membentak. “Seorang rahib terhormat seperti kau dapat mempercayai omong kosong yang begitu?”

Senyuman Joseph d’Arimatea membuat yang lain makin kaku.

Abdias telah meninggalkan tungku dan berdiri di dekat Mary. Ia merasakan dorongan untuk mengejek. Para tamu merasa kikuk oleh kemarahan Giora. Sementara Joachim nampak menikmati situasi tersebut, dengan cemas Yusuf memperhatikan kedua pria Essene yang tengah berdebat itu. Tanpa menghiraukan semburan Giora, Joseph d’Arimatea menunjuk tempat duduk yang kosong.

“Giora, kawanku,” katanya tenang, “bergabunglah dengan kami. Duduk di sini dan minum susu. Saling mengenal akan sangat menyenangkan.”

“Tidak perlu. Hanya pengetahuan tentang Yahweh yang harus terus dipupuk. Aku akan kembali berdoa dan menyelesaikannya.”

Giora buru-buru berbalik. Ia melemparkan lirikan tajam ke arah Mary, Abdias dan Halwa yang menghalangi jalannya, kemudian membalikkan badan lagi dengan bergegas.

“Apakah pertemuan yang dimaksudkan sesuai dalam undangan sudah akan dimulai?”

Joachim menggeleng. “Nikodemus belum tiba. Lebih baik kita menunggunya.”

Nikodemus dari Sanhadurim?” tanya Giora dengan nada tak senang.

Joachim mengangguk. “Ia berangkat dari Yerusalem. Perjalanannya jauh dan ia harus berhati-hati menempuhnya.”

“Begitu juga kaum Farisi! Mereka membuat Tuhan menunggu.”

“Tunggulah sampai dia datang dan kita bisa mulai berdiskusi,” interupsi Joseph d’Arimatea seperti biasa tak mengindahkan kesinisan Giora. “Lagipula, teman-teman kita ini perlu beristirahat sejenak. Kita hanya dapat berpikir jernih dengan tubuh segar.”

“Istirahat! Tubuh segar!” cemooh Giora. “Omong kosong orang Damas! Berdoa dan belajarlah jika ingin jiwamu tenang. Itu baru bermanfaat. Selebihnya hanya buang-buang waktu!”

Kali ini, ia langsung beranjak ke belakang rumah. Abdias seketika merasa lega. Disentuhnya tangan Mary.

“Mungkin aku keliru menilai Giora ini. Tak perlu bertempur atau angkat senjata. Pertemukan saja dia dengan Herodes. Dalam sehari saja, si sinting Herodes akan bertambah gila dan askitnya makin parah. ‘Giora, senjata rahasia kita’, kita sebut saja begitu!”

Ia mengatakannya dengan suara nyaring dan ekspresi serius yang malah terlihat lucu sehingga Halwa dan Mary terbahak.

Di sekeliling meja, semua memandang dengan kening berkerut dan siap memprotes. Barabbas bahkan melirik tajam Abdias. Tetapi Joseph d’Arimatea, yang juga mendengar kata-kata itu, tertawa perlahan. Akhirnya yang lain tertular dan suasana berubah sangat menggembirakan.

* * *

Tengah hari, tatkala matahari penghujung musim semi telah amat terik, kawan-kawan Abdias yang mengawasi sekitar kediaman Yusuf sambil menyamar membawa kabar baru.

“Ada yang datang dari arah Tabor!”

“Rahib dari Sanhadurim?”

“Sepertinya bukan, atau mungkin ia menyamar. Kami tak dapat melihatnya dengan jelas.”

Ditemani Barabbas dan anak-anak Yusuf, Joachim menyambut orang yang baru sampai itu. Begitu menangkap siluetnya, ia yakin bahwa lelaki ini bukan Nikodemus. Dengan mantel linen coklat dan penutup kepala yang menyelubungi wajah, pria tersebut maju segera dan bayangan tubuhnya nampak berlari di belakangnya bagaikan hantu.

“Siapa orang ini?” gumam Joachim. “Benarkah kita telah mengundangnya?”

Barabbas memperhatikan orang asing itu dengan kedua matanya. Saat ia melepas penutup kepalanya, ia berseru, “Mathias de Guinchala!”

Pria itu setengah meringkik, menggerakkan tangannya yang berhias cincin perak. Barabbas meraih pundaknya dan mereka berpelukan akrab.

“Joachim, perkenalkan. Temanku ini sudah seperti saudara. Mathias memimpin perlawanan di Guinchala tahun lalu. Dialah salah satu rakyat yang tidak gentar menghadapi antek-antek Herodes.”

Sebenarnya, keberanian itu tergambar jelas di wajahnya, pikir Joachim sambil menyapa tamunya. Kening Mathias tergores dua parutan luka besar yang membekas kasar dan memutih di rambut. Di atas janggutnya yang kelabu, nampak bibir yang dijahit dan gigi yang jarang. Secara keseluruhan, wajah menyeramkan itu menjadi alasan Mathias utnuk senantiasa menyembunyikannya.

“Kudengar kau terdampar di sini,” katanya pada Barabbas. “Rasa iri membuatku ingin datang memberimu selamat atas keberhasilan di Tiberias! Dan menyangkut pemberontakan kalian...”

Barabbas tertawa keras-keras menutupi rasa malunya, sementara Joachim terperanjat. “Kau tahu soal itu? Darimana?”

“Aku tahu semua yang terjadi di Galilea,” jawab Mathias.

Ditonjoknya pelan dada Barabbas dengan jemarinya yang bercincin. “Kau seharusnya mengundangku baik-baik, seperti yang lain.”

“Kau juga tahu mengenai pesan-pesan itu?” Joachim terperangah. “Rupanya kami tak dapat menyembunyikan apa pun darimu.”

“Kau menangkap salah satu anak buahku, ya?” terka Barabbas dengan seringai lebar.

“Anak yang menjadi kurirmu ke tempat Levi le Sicaire,” Mathias mengiyakan sambil membalas pandangan sahabatnya. “Tak perlu memaksanya. Anak malang itu sangat penakut di depanku. Ia pasti tutup mulut jika bertemu orang lain. Tapi aku sudah memberinya imbalan besar agar tidak bicara. Aku ingin memberimu kejutan.”

Joachim memandang keduanya dengan bingung bercampur kesal. Ia sempat menaruh curiga bahwa Barabbas sengaja memberi tahu Mathias. Tanpa mengkonfirmasikan undangan tersebut, karena khawatir Joachim akan menentangnya. Karena itulah mereka bersekongkol.

“Teman-teman kita pasti senang akan kejutan ini,” ujarnya dengan nada dingin sehingga dua lelaki di dekatnya merasa tersindir.

* * *

Sudah barang tentu, kedatangan Mathias ada dampaknya. Abdias menunjukkan antusiasmenya terang-terangan.

“Inilah pejuang sejati,” bisiknya pada Mary dengan sangat gembira. “kudengar ia menghadapi tiga puluh dua tentara seorang diri. Mereka semua tewas dan ia sendiri...kau lihat kan? Hanya kena satu luka tikaman!”

Yusuf, Lazarus dan Levi menerima Mathias dengan tulus. Joseph d’Arimatea bersikap hangat dan terlihat penasaran terhadap parutan lukanya. Jonathan agak pendiam menghadapi dua pemberontak yang kerap didengarnya melalui rumor-rumor tak sedap. Walaupun demikian, semua orang mengkhawatirkan reaksi Giora. Namun setelah diberitahu Joachim dan Barabbas mengenai karakter rahib Essene, Mathias membungkuk di hadapan Giora dengan ekspresi hormat yang tak dibuat-buat.

Giora memandangi sejenak. Kemudian ia mengangkat bahu dan menghela nafas tak sabar.

“Satu orang lagi sudah datang,” ia menggerutu pada Joachim dan Joseph d’Arimatea. “Dia bukan teman Farisimu dari Yerusalem itu. Untuk apa menunggu lebih lama lagi? Ia takkan datang. Jangan pernah membanggakan orang-orang busuk dari Sanhadurim, kalian harus tahu itu.”

Barabbas mengiyakan dengan semangat dan membuat Giora senang. Toh Joachim, yang didukung Joseph d”Arimatea, tetap meminta semua orang bersabar.

Akhirnya saat cahaya senja menerpa langit, para pengintai Am-haretz memberitahukan kedatangan sebuah iring-iringan kecil.

“Iring-iringan?” Barabbas terkejut.

“Seorang lelaki gemuk yang naik kereta warna cerah dengan budak Persia berlari di belakangnya. Pakaiannya berhiaskan emas dan perhiasannya seharga dua belas ekor kuda.”

Tak diragukan lagi, dialah Nikodemus, orang Farisi dari Sanhadurim. Senyuman terulas di bibirnya tapi tak seorang pun yang tahu makna dibaliknya.

Ketika Nikodemus sampai, semua orang termasuk Giora menantinya. Pria ini gemuk, menyenangkan dan awet muda. Ia mengenakan tunik bersulamkan sutra yang bersahaja. Cincin yang menghiasi jari-jarinya terbuat dari emas sedangkan cincin Mathias dari perak.

Meskipun begitu, sikapnya sengat rendah hati dan suaranya mengandung kharisma menenangkan yang enak didengar. Ia menerima penghormatan sebagaimana mestinya. Nikodemus menghadapi Giora dengan sanjungan atas kesalehan dan doa-doanya, bahkan sebelum pria ini mengucapkan sepatah kata. Dilanjutkannya bercerita bahwa ia harus singgah di sejumlah sinagog dalam perjalanan.

“Di sana aku terus mengatakan kebenaran ini. Semua anggota Sanhadurim di Yerusalem terlalu jarang mengunjungi desa-desa Israel untuk mengetahui keadaan rakyat kita. Di samping itu,” ia menambahkan dengan senyum, “semua orang bisa melihat bahwa kecemasan biasa sajalah yang mendorongku datang ke Galilea. Itu jugalah alasanku, teman-teman, sehingga melakukan perjalanan dengan kereta dan membawa budak. Kalu tidak, yang lain akan curiga. Selain itu, aku tak dapat tinggal terlalu lama di rumahmu malam ini, Yusuf. Aku telah berjanji kepada seorang rabi muda di Nazaret untuk menginap di rumahnya. Aku akan kemari lagi besok pagi dan kita dapat berbicara panjang-lebar.”

Ia minum-minum sebentar sebelum pergi lagi. Pada dasarnya hal ini melegakan semua orang. Khususnya Halwa dan Mary, yang memikirkan persediaan makanan untuk dihidangkan serta khawatir harus menerapkan peraturan di luar kebiasaan mereka.

Saat Nikodemus, kereta dan budaknya meninggalkan rumah Yusuf, semua terdiam karena malu. Mathias memecah keheningan itu dengan celoteh yang menggelikan.

“Kalau besok tentara datang menggerebek rumah ini, kita tahu penyebabnya.”

Yang lain terperanjat. “Aku tak pernah menyetujui keterlibatannya,” ungkap Barabbas sambil memandang Joachim.

Jonathan sang rabi muda menyangkal, “kalian salah besar. Aku mengenal Nikodemus. Ia jujur dan lebih pemberani daripada kelihatannya. Lagi pula, tak ada salahnya mendengarkan masukan orang yang tak tahu seluk-beluk Sanhadurim.”

“Kalau kau berpikir begitu, ya sudah,” desis Barabbas.

* * *

Malam harinya, Halwa dan Mary kelelahan setelah berbenah di bawah temaram sinar lampu. Entah mengapa, Mary tiba-tiba merasa bahwa pertemuan esok hari akan sia-sia belaka.

Sambil berbaring di dekat anak-anak, yang nafasnya teratur bagaikan belaian tangan, Mary berusaha menepiskan pikiran negatifnya. Ayahnya telah meyakinkan orang-orang itu. Joseph d’Arimatea bertindak benar dengan menyetujui keterlibatan Nikodemus. Bahkan kehadiran ‘Sang Giora’, seperti dikatakan Abdias, merupakan hal yang baik. Barabbas lupa. Makin banyak orang berbeda, makin besar peluangnya untuk bicara.

Tapi apa tujuan perkataannya itu?

Ah! Mengapa harus sangsi? Mary berpikir. Aku terlalu buru-buru menyatakan pendapat.

Ia merasa terlalu cepat menilai segala sesuatu. Kekuasaan, politik atau keadilan, yang selalu menjadi urusan kaum lelaki. Bagaimana ia bisa yakin? Ia memang mampu berpikir sedalam ayahnya atau Barabbas. Namun caranya berbeda. Mereka berpengalaman, sedangkan ia hanya memiliki intuisi.

Ia harus bersikap rendah hati. Lagi pula, keraguannya akan merintangi Barabbas dan Joachim.

Mary tertidur seraya bertekad akan tetap tersenyum dalam kecemasannya, hal yang tak dapat dilakukan Giora de Gamala.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar