Rabu, 06 Juli 2011

Virgin Mary: Perawan Suci Maryam

4

Barabbas telah memperhitungkan pelarian diri mereka dengan tepat dalam misi penyelamatan Joachim.

Gerombolan itu berpencar. Beberapa orang, bersama para terhukum selain Joachim yang mereka tolong, menyeberangi danau dengan bantuan para nelayan. Sebagian segera menghilang di jalan-jalan menuju hutan lebat di Gunung Tabor. Teman-teman kecil Abdias pindah ke desa di pinggir sungai sebleum bergabung dengan Tarichee dan Yozpat untuk kembali menjalani hidup sebagai anak buangan, sementara pimpinan mereka tetap bersama Barabbas, Mary dan Joachim. Mereka melakukan perjalanan sepanjang malam ke utara.

Tanpa meninggalkan dayung kemudi, berbekal pengalaman mengarungi danau untuk mengatasi arus dan menjaga layar tetap terkembang meski angin bertiup tak menentu, sang nelayan menyergap kegelapan nan pekat di tepian yang senantiasa mereka dekati. Dini hari, mereka telah meninggalkan taman-taman Kapernaum. Mary menemukan suatu wilayah asing di Galilea.

Garis perbukitan yang bersilangan berselubung pohon chenes yeuses nan rapat di antara kelandaian lembah yang sempit dan berliku-liku. Di sana-sini, diselingi rimbunnya pepohonan, tebing karang mencuat di air danau. Tebing-tebing itu membentuk teluk-teluk kecil yang berliku tempat bertambatnya perahu dan berdirinya beberapa rumah bobrok milik nelayan yang beratapkan ranting pohon. Dengan kerapatannya, hutan mengelilingi tanggul. Untungnya, tiada pantai atau teluk tempat kapal-kapal besar bisa berlabuh. Sejumlah desa kecil yang tidak padat hunian melingkar di tepi sungai yang deras di perbukitan. Nelayan mereka mengarahkan embarkasi ke salah satu desa kecil ini. Pangkalan Yordan, yang berada di sebelah utara, nampak dalam sebuah lingkaran kabur tipis yang bersinar.

Sepanjang malam, Barabbas meyakinkan pada Mary bahwa tidak ada tempat mengungsi yang lebih baik. Para kaki tangan Herodes jarang mendatangi daerah ini. Sebuah daerah yang terlalu miskin, bahkan bagi orang-orang rakus di Sanhadurim, dan terlalu sukar dimasuki. Tempat ini hanya dapat dijangkau dengan perahu, tak akan menimbulkan daya tarik bagi para pengunjung yang kurang mengacuhkannya.

Di sini mudah untuk menghilang dalam hutan. Perbukitan itu memiliki banyak sekali gua tersembunyi. Barabbas tahu jumlahnya hampair tak terhitung. Lebih dari sekali, ia besembunyi di sana bersama kawanannya. Pada akhirnya, ia harus membayar lebih supaya para nelayan mau menerima mereka tanpa keengganan atau banyak bertanya. Mary tak perlu cemas. Mereka akan berlindung cukup lama sampai amarah orang-orang Roma, dan mungkin juga herodes, mereda.

Sebenarnya, pilihan tempat mengungsi mereka tidak menjadi persoalan bagi Mary. Yang membuatnya merasa khawatir sejak fajar menyingsing tadi adalah luka-luka ayahnya.

Setelah bercakap-cakap dengan putrinya sepanjang pelarian yang melelahkan dari Tiberias, Joachim tertidur tanpa disadari seorang pun di atas perahu. Sepanjang malam, Mary mengawasi nafasnya yang lirih, seringkali tak teratur. Ia tak mau melihatnya terlalu kesakitan atau berlaku tak wajar. Akan tetapi, ketika ia masih terkantuk-kantuk di atas kulit sapi, seraut wajah menakutkanlah yang nampak pada dini hari berkabut di danau itu.

Tak sedikit pun bagian wajahnya yang tidak terkena pukulan. Bibirnya bengkak, luka sobekan di tulang pipi dan alisnya membuat Joachim sulit dikenali. Tikaman lembing atau pedang mengenai sebelah telinganya dan mencabik pipi sampai dagu. Kendati Mary merendam tanpa henti kerudungnya dalam air danau untuk membasuh luka itu, bekasnya sulit hilang.

Setiap kali bangun, ia memperhatikan dada ayahnya. Pakaian yang dikenakannya ketika menyerang para petugas pajak kini sekedar kain compang-camping yang bernoda darah kering. Bekas-bekas pukulan menghiasi perut hingga dada. Di situ pula darah meleleh dari koyakan luka di pundak dan punggungnya. Dan tentu saja, ikatan di salib meninggalkan bekas di tangan dan kulit telinganya terkelupas.

Jelaslah, ia telah disiksa sedemikian rupa sehingga orang merasa takut bahwa luka-luka yang tidak tampak sebenarnya jauh lebih parah dari yang terlihat dan membahayakan nyawa.

Mary menggigit bibir, menahan airmatanya.

Ia melihat di sebelahnya, Barabbas, Abdias dan si nelayan berjuntai kelelahan di lantai kapal. Mereka mengalihkan pandangan, khawatir dengan apa yang mereka saksikan. Pada siang hari, sulit dikatakan apakah Joachim ssedang tidur atau tidak sadarkan diri.

“Ayahmu lelaki kuat,” akhirnya Barabbas berbisik. “Ia bertahan sampai disalib karena tahu bahwa kau ada di dekatnya. Ia akan hidup demi putrinya.”

Suaranya lebih lembut dari biasanya. Keyakinannya justru tak terasa karena itu. Abdias mengetahuinya dan langsung mendukung kata-kata Barabbas.

“Pasti! Ia tahu bahwa kita melakukan ini semua bukan untuk melihatnya mati.”

Suara si nelayan membuat mereka terkejut. Ia hampir tak pernah membuka mulut sejak berangkat dari Tiberias.

“Anak ini benar,” katanya sambil memandang Mary. “Meskipun menderita, ayahmu tak ingin meninggalkanmu. Seorang lelaki yang mempunyai anak perempuan seperti kau takkan mati begitu saja. Surga bahkan tidak cukup indah baginya.”

Ia terdiam, menarik tali untuk membentangkan layar. Lelaki itu melanjutkan kata-katanya dengan berapi-api sehingga wajahnya mengeras, “Mungkin saja para rabi dan nabi itu benar. Suatu hari kelak Messiah akan datang di antara kita dan hidup yang kita jalani tidak sia-sia.”

Refleks, Barabbas melontarkan serangan terhadap pernyataan itu. “Sampai kapan rakyat Israel akan mempercayai omong kosong para rabi? Sampai kapan orang-orang malang yang ditindas Herodes hingga mati kelaparan, akan menanti seorang Messiah menyelamatkan mereka dan bukan melakukan sesuatu untuk menolong diri sendiri?”

Meski sempat terjadi suasana tegang, nada suara sang nelayan, wajah Mary serta ketidaksadaran Joachim menciptakan keheningan. Bukan waktunya untuk bertengkar. Keputusan tersebut memang tepat karena beberapa saat kemudian nelayan itu mengejutkan mereka lagi setelah sampai di tempat tujuan.

Akhirnya mereka mendarat di tepi pantai. Dengan wajah penasaran, penduduk desa berkumpul menyambut mereka. Setelah melihat keadaan Joachim, mereka membantu mengangkutnya ke sebuah kasur jerami tebal. Ketika rombongan itu pulang ke rumah masing-masing, Barabbas memberikan uang yang dijanjikannya pada si nelayan. Lelaki itu mengibaskan tangan.

“Tidak usah. Jangan sungkan.”

“Terimalah. Tanpa Anda, semuanya takkan lancar. Sekembalinya ke Tiberias, anda mungkin mendapat kesulitan. Siapa tahu mereka membakar kapal-kapal Anda, untuk memaksa teman-teman Anda menceritakan apa yang mereka ketahui.”

Nelayan itu menggeleng.

“Kau tidak mengenalku, Nak. Kami telah menyiapkan serangan ini matang-matang. Aku akan pulang dengan mengelilingi danau. Semua temanku juga begitu. Kami akan tiba di Tiberias bersama, dengan kapal yang penuh ikan. Hasil tangkapan terbesar yang tak pernah kami lihat. Dan yakinlah, kami akan sangat marah jika mengetahui bahwa pasar kekurangan barang. Kami akan menyerahkan ikan-ikan kami. Semua itu akan menyenangkan para ibu di desa dan menghalau monster paling seram sekalipun.”

Barabbas terbahak, namun tetap memaksa.

“Biarpun begitu, ambillah. Anda pantas menerimanya.”

“Sudah kukatakan, tak usah. Aku tak menghendaki uangmu. Untuk apa seorang Yahudi dari Gelilea menerima bayaran untuk menolong sesama dari tiang salib? Para antek Herodeslah yang harus membayar atas kejahatan mereka. Simpan saja uangmu. Kami tahu bahwa Barabbas bukan pencuri, melainkan orang Galilea yang jujur.”

* * *

Walaupun sudah diperringatkan oleh Barabbas, Abdias yang terlalu gembira, bercerita dengan bersemangat dan terperinci mengenai tempat penyiksaan yang sempat dihuni Joachim malam itu juga.

Di desa yang jauh dari jangkauan para tentara iri, baru pertama kali orang melihat lelaki yang diselamatkan dari tiang salib. Wanita-wanita di desa itu bekerja sama untuk menyelamatkan nyawanya. Mereka saling mengadu ilmu masing-masing, mengungkapkan khaiat dedaunan, bubuk ramuan dan sup yang diyakini dapat mengurangi derita rasa sakit akibat pukulan, menutup luka yang terlihat dan tidak, serta memulihkan kekuatan Joachim.

Mary menemani mereka. Dalam beberapa hari, ia belajar cara mengenali tanaman yang sebelumnya tak pernah ia perhatikan sedikit pun. Wanita-wanita itu menunjukkan padanya cara melumatkan, mencampurkan bubuknya dengan lemak kambing, tanah yang lunak, ganggang atau empedu ikan, kemudian mengolahnya menjadi ramuan serta minyak urapan, yang membuat tubuh para wanita itu kuat. Ramuan itu pun membuat mereka sanggup melayani para suami atau mengobati bermacam-macam luka.

Seorang gadis remaja yang sangat periang membantu menyeduhkan ramuan panas dan menyiapkan makanan. Dalam upayanya yang secara tak sadar memerangi rasa sakit, Joachim menggigit rahangnya kuat-kuat. Gadis muda tadi membantu Mary merenggangkan rahangnya untuk menyuapkan makanan dengan banguan corong kecil dari kayu. Maka dengan cara itulah mereka memberi makan si pasien sedikit demi sedikit. Pekerjaan yang sukar, lambat dan kadang menimbulkan rasa putus asa. Namun teman baru Mary selalu meringankan bebannya dan menumbuhkan ketelatenan gadis itu, yang belum pernah timbul selama ini, terhadap ayahnya.

Setiap malam, Mary terus menemani Joachim. Barabbas dan Abdias tak sanggup meredakan kecemasannya. Mereka hanya dapat mendampingi Mary bergantian, tetap di dekatnya dalam kegelapan yang ditingkahi pendar kecil lampu minyak belaka.

Akhirnya, suatu siang, kata-kata Abdias dan nelayan Tiberias dahulu terbukti kebenarannya. Beberapa jam sebelum malam tiba, Joachim membuka matanya. Ia lebih memilih surga dunia bersama putrinya daripada surga Tuhan.

* * *

Ia mendapati wajah Mary di depannya dan tidak terkejut. Senyum terkembang di bibirnya yang sangat pucat. Tangannya yang kaku, dengan kepalan yang masih dibalut ramuan dan kain panjang, mencoba menyentuh anak perempuan itu. Mary bangkit sambil tertawa dan menangis sekaligus. Ia mengelus wajah ayahnya, menyodorkan pipinya untuk dikecup Joachim.

“Anakku...anakku...”

Ia bergumam bahagia, ingin mendekapnya, tetapi bahunya yang masih sakit bergetar hebat.

Para wanita yang duduk di dekat mereka keluar utnuk meneriakkan kabar gembira itu. Seluruh isi desa berdatangan untuk melihat keadaan terhukum yang nyaris mati di tiang salib itu, mendengar tawanya dan kata-kata lembut yang terus dibisikkannya.

“Mary, malaikatku. Aku merasa lahir kembali! Syukurlah Yang Maha Kekal memberiku putri sepertimu.”

Mary menolak sanjungan itu, menjelaskan pada ayahnya betapa semua orang satu sama lain bergiliran menyelamatkan nyawanya.

Tersentuh dan terus berceloteh, Joachim memandang wajah-wajah kasar dan bahagia yang mengelilinginya.

“Kalian boleh tak percaya,” katanya, “tetapi selama aku tidur, aku tahu Mary berada di sisiku. Aku ingat betul. Ia di situ, berdiri tak jauh dariku. Aku juga melihat diriku. Betapa menyedihkan, aku jatuh dari salib dan serasa hancur berkeping-keping. Lenganku sebelah di sini, sebelah lagi di sana. Kakiku terpental jauh sekali. Hanya kepala dan jantungku yang berfungsi. Aku terus mengumpulkan potongan tubuhku sebelum semuanya menjauh. Namun aku begitu lelah sehingga yang kuinginkan hanyalah menutup mata, membiarkan tangan dan kakiku pergi begitu saja. Akan tetapi tampak pula olehku Mary berada di belakangku, mencegahku menyerah.”

Joachim menarik nafasnya, sementara yang lain mendengarkan tanpa bicara. Ia mengerjapkan mata dan berkata, “Anakku berseru, ‘Ayo Ayah, ayo! Jangan sampai matamu terkatup.’ Anda tahu, dengan nada sekuat mungkin, begitu tegas dan meyakinkan utnuk anak seumurnya.”

Semua orang tertawa. Barabbas pun tergelak keras dan warna merah merona di wajah Mary menjalar sampai ke tengkuknya.

“Ia tak berhenti memberikanku dorongan,” tambah Joachim, suaranya bergetar. “Ayah, berusahalah! Jangan buat para pemungut pajak itu senang! Ayah harus temukan tangan dan kaki agar bisa pulang ke Nazaret. Ayo, ayo! Aku menunggu!’ Kini, di sinilah aku. Sungguh aku berterima kasih pada Anda semua.”

* * *

Esoknya, dini hari, tatkala Joachim terjaga setelah lelap sekejap malam harinya, ia mendapati Barabbas dan Abdias di sisinya. Mary tidur di kamar para wanita.

“Kurasa ia akan tidur setahun lamanya,” gurau Abdias.

Joachim mengangguk sambil memperhatikan wajah anak lelaki itu.

“Kaukah yang membebaskanku dari salib? Samar-samar aku ingat.”

“Memang aku, Pak.”

“Sejujurnya, ketika meluhatmu, kukira setan datang menjemputku ke neraka.”

“Anda tidak mengenaliku karena wanita-wanita di sini menyuruhku mandi dan memberiku pakaian yang layak,” gerutu Abdias sambil mengangkat bahu.

Barabbas tergelak riang.

“Itulah penghinaan terbesar yang dialami Abdias sampai hari ini. Ia benar-benar necis. Butuh waktu sangat lama supaya ia kembali seperti semula.”

Joachim brujar lunak, “Kebersihan tidak membuatmu tampak aneh, Anakku. Kau tenang saja.”

“Mary juga bilang begitu,” seringai Abdias. “Tetapi Anda tidak mengerti. Di kota, jika aku sama dengan anak lelaki lain, orang lain tidak akan merasa takut ataupun iba. Sebelum berangkat ke Tiberias besok, aku akan kembali menjadi anak Am-haretz, itu pasti.”

Joachim mengangkat alis.

“Ke Tiberias? Apa yang akan kau lakukan di sana?”

“Mengetahui reaksi anak buah Herodes...”

“Tapi itu terlalu dini!”

“Tidak,” sergah Barabbas. “Enam hari sudah berlalu. Aku ingin tahu apa yang terjadi di Tiberias. Abdias akan memasang telinga di kota. Ia tahu cara membawa diri untuk hal-hal seperti ini. Besok ia akan berangkat bersama seornag nelayan.”

Joachim mencoba protes. Ia masih merasa khawatir. Kekerasan dan kebencian para serdadu terekam dalam jiwanya setelah dilampiaskan ke tubuhnya. Namun Barabbas benar. Ia sendiri akan berusaha mengetahui kabar Hannah, istrinya. Ia juga ingin tahu apakah para petugas pajak, yang dendam karena pelariannya, menimpakan siksaan yang seharusnya ia peroleh kepada warga Nazaret.

Jika demikian, ia harus menyerahkan diri dan kembali ke penjara di Tiberias. Pemikiran dan keputusan yang tidak dapat disampaikannya kepada Barabbas, apalagi Mary.

“Kembalilah,” bisiknya seraya menggenggam tangan kecil Abdias. “Aku telah menjanjikan sesuatu ketika kau membebaskanku dari kamp. Aku tak suka bila janjiku tak terpenuhi.”

* * *

Lima hari kemudian, Joachim tengah berlatih berjalan dengan bertopang pada bahu Mary ketika Abdias muncul. Ia melompat ke luar dari perahu yang belum lagi mendarat di pantai. Wajahnya penuh kegirangan.

“Semua orang membicarakan kita!” serunya bahkan sebelum menghirup segelas jus buah. “Mereka terus berkata, ‘Barabbas membebaskan tahanan orang Roma.’ ‘Barabbas mencoreng muka tentara Herodes.’ ‘Barabbas mencemarkan reputasi orang Roma...’ Bahkan mereka yakin kaulah Sang Messiah!”

Tawa Abdias cenderung bersahabat daripada mengejek, namun Barabbas tetap serius.

“Bagaimana dengan para nelayan? Apakah mereka diusik?”

“Sebaliknya. Mereka bertindak persis seperti yang mereka katakan. Mereka tiba di Tiberias dengan kapal yang begitu penuh muatan sampai angin pun sulit menggoyahkannya. Benar-benar hasil tangkapan yang luar biasa. Mereka sengaja terus-menerus mengeluhkan kita, karena membakar kapal dan pasar mereka. Orang-orang Tiberias pun demikian. Semua orang bilang kita ini penjahat, perusak, mempermalukan Galilea... Tidak ada pandangan baik sedikit pun. Dengan begitu, para serdadu dan orang Roma percaya untuk seterusnya bahwa kita beraksi sendiri. Sekarang, orang-orang itu sedang gembira karena mendapatkan hasil yang banyak.”

Kali ini, Barabbas melepaskan lelah dan Mary menyeka rambut kusut masai Abdias.

“Dan tentunya, kau tahu cara membawa diri? Kau mengumumkan di mana-mana bahwa dirimu teman baik Barabbas yang hebat?” ia menggoda.

“Tidak sulit kok,” tukas Abdias bangga. “Mereka semua telah menduganya. Tak pernah orang memberikan semua yang kuminta. Aku dapat membawa pulang kapal yang sarat.”

“Dan membuatmu ketahuan!” gerutu Joachim.

“Jangan cemas, Pak Joachim! Menemukanku tidaklah mudah. Tak ada yang tahu di mana aku tidur atau kapan aku muncul. Tetapi tahukah Bapak bahwa Anda menjadi terkenal? Semua orang mendengar cerita Anda. Joachim dari Nazaret, yang sanggup menikam perut seorang petugas pajak dengan lembing dan selamat dari tiang salib...”

“Bukan perutnya, tapi dadanya,” ujar Joachim bergurau. “Kabar seperti itu bukan sesuatu yang baik untukku. Apakah kau mendengar berita dari Nazaret?”

Abdias menggeleng.

“Tidak. Aku tidak sempat ke sana...”

Joachim memandang Barabbas, lalu menoleh pada Mary.

“Aku mencemaskan mereka,” bisiknya. “Para tentara itu tidak dapat menemukan kita, tetapi tahu ke mana mendatangkan penderitaan.”

“Aku bisa pergi ke sana, paling tidak melihat keadaan Ibu dan menenangkannya,” kata Mary.

“Jangan. Tidak boleh,” protes Abdias. “Biar aku saja. Aku akan pergi jika kau menghendaki.”

“Atau kita pergi ke sana bersama,” saran Barabbas, penuh pertimbangan. “Karena sekarang Joachim dapat berjalan, kita dapat pindah lagi.”

Semua terperanjat.

“Tidak adakah rumah yang aman di kota itu?” Barabbas bertanya pada Joachim dan Mary.

Joachim menggeleng. “Tidak, tidak. Ini gila...”

“Ada, Ayah!” pekik Mary. “Yusuf dan Halwa pasti akan menampung kita!”

“Kau belum menyadari bahayanya, Nak.”

“Aku yakin Yusuf akan bangga dapat membantu Ayah. Ia sadar akan utang budinya padamu dan ia menyayangimu. Rumah mereka jauh dari desa, tepat di ujung lembah. Tak ada yang dapat menemukan kita begitu saja.”

“Kita akan menyamar, Pak Joachim. Dalam perjalanan, akan kuhubungi teman-temanku. Kita semua akan ada di sana. Anda boleh yakin, takka ada yang dapat mendatangi rumah Yusuf ini tanpa kami ketahui. Tanyalah Mary, kami selama ini menjaga persembunyian Barabbas. Kami tahu caranya.”

Mary tersenyum mengingat sambutan anak-anak itu di Safuria, tetapi Joachim belum merasa tenang. Sikapnya mengesalkan Barabbas dan menghapus kegembiraan Abdias.

* * *

Malam harinya, setelah berdiam diri cukup lama, Mary berkata dengan lembut pada ayahnya, “Aku tahu Ayah mencemaskan Ibu. Seperti juga Ayah, aku ingin memeluknya. Ayolah kita ke rumah Yusuf dan Halwa, walaupun hanya sebentar. Kita akan putuskan kemudian.”

“Apa yang diputuskan, Nak? Kau tahu persis bahwa aku takkan pernah bisa kembali ke bengkel kerjaku dan menjadi tukang kayu lagi bersama Lysanias. Hanya Tuhan yang tahu apakah ia masih hidup sekarang ini!”

“Ya, itu benar,” ujar Barabbas. “Sekarang, Anda sama denganku. Lupakan pekerjaan Anda, Joachim. Kini hanya perjuangan rakyat Galilea melawan Herodes yang kita lakukan bersama.”

“Hanya itu?”

“Anda sudah dengar kata Abdias tadi. Semua orang gembira karena kita telah mengelabui antek-antek herodes dan para bajingan di Sanhadurim. Lihatlah sekeliling Anda, Joachim. Para penduduk desa ini bahu-membahu merawat anda karena Anda akan disalib dan tahu bahwa ini benar-benar tidak adil. Nelayan yang membantu upaya kita tempo hari menolak dibayar dengan emas. Ia terlalu banga dapat terlibat dalam perjuangan kita. Semua itu pertanda. Kita telah menunjukkan pada orang-orang Galilea bahwa serdadu-serdadu itu tidak punya otak. Ini harus dilanjutkan. Dan harus lebih besar lagi, untuk menghalau rasa takut rakyat Israel!”

“Begitu. Semuanya dengan lima puluh temanmu dan anak-anak lelaki itu?”

“Tidak. Semua itu untuk mendorong mereka yang belum ikut serta. Memberikan percikan keberanian. Kami telah membebaskan Anda dari salib, juga tawanan lainnya. Kita dapat melakukan lebih jauh, bergerak ke Yerusalem. Memberi pelajaran kepada serdadu, berperang dan menunjukkan bahwa kita menang...”

Joachim menyeringai kering.

“Barabbas, kau membicarakan sebuah pemberontakan seolah-olah ini hanya gurauan sesaat. Tahukah kau, aku atau banyak orang lain yang sama denganku tak pernah berpikir sejauh itu?”

Barabbas tersenyum lebar. “Nah, Anda sendiri yang bilang. Masih banyak lagi yang tidak ingin tunduk kepada Herodes.”

“Memang aku mengetahuinya. Namun aku tak yakin mereka akan mengikutimu. Mereka semua bijak, tidak sinting.”

“Orang sintinglah yang diminta anak Anda utuk menyelamatkan Anda, Joachim, bukan kawan-kawan Anda yang bijak.”

“Pemberontakan tidak membawa perubahan yang baik bagi seluruh rakyat,” desis Joachim pedih, “tapi malah akan meletupkan pembantaian. Herodes sangat berkuasa dan cerdik. Orang-orang Sanhadurim mematuhinya dan mengendalikan para rabi. Kewenangannya tidak sebesar Herodes, tetapi tak kalah ganasnya.”

“Alasan Anda selalu sama,” tukas Barabbas. “Dalih seorang pengecut.”

“Jangan katakan hal itu lagi! Mengalami penindasan membutuhkan kekuatan mental yang sama dengan bertempur sia-sia. Walaupun akhirnya kau dapat membebaskan Galilea, itu tak berarti apa pun. Kau harus membebaskan juga Yerusalem, Yudea, dan seantero Israel secara keseluruhan.”

“Kalau begitu, ayo, jangan buang waktu!”

“Barabbas tidak sepenuhnya keliru, Ayah,” sela Mary tenang. “Untuk apa menunggu siksaan berikutnya dari para tentara? Kedatangan petugas pajak? Mengapa kita selalu diam jika dihina? Apa untungnya?”

“Ah! Jadi kau sependapat dengannya?”

“Ia sudah bilang tadi. Semua orang sudah muak diinjak-injak. Dan bangga karena kau tidak membiarkan orang-orang jahat itu merampas tempat lilin Nenek Huda. Keberanian Ayah menjadi teladan.”

“Maksudmu teladan yang percuma seperti setetes darah.”

“Jangan lemahkan hati Anda yang tegar, Joachim,” tukas Barabbas. “Ajak teman-teman Anda yang bijak itu ke tempat kawan Anda Yusuf. Abdias dapat menyampaikan pesan Anda pada mereka. Dan biarkan aku yang bicara. Anda tidak rugi apa-apa, bukan?”

Joachim memandang Mary, yang membenarkan hal itu.

“Untuk apa lolos dari salib, jika tidak mengubah apa pun, Ayah? Hanya bersembunyi di Galilea sepanjang hidup kita, tanpa bertindak? Kitalah yang memutuskan menjadi lemah di depan Raja. Karena meyakini tentara-tentaranya selallu lebih kuat dari kita, mereka mempunyai alasan untuk menindas kita.”[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar