Sabtu, 09 Juli 2011

Virgin Mary: Perawan Suci Maryam

14

Mary bertahan dalam masa bekabung. Ia berada di luar selama tujuh hari, sesuai tradisi.

Setiap pagi dan petang, sepulang dari ladang, para penduduk Beth Zabdai pun singgah untuk berdoa di makam Abdias seolah-olah pemuda itu dikuburkan di tempat yang suci. Kadang-kadang, orang yang mengantar pasien ke kuil Essene bergabung dengan mereka. Doa perkabungan berbaur dengan permohonan untuk memulihkan kembali kesehatan si sakit.

Lambat laun, pemandangan unik ini menarik perhatian para bruder Essene. Ketika hari beranjak petang, nyanyian doa-doa di makam Abdias bergema di setiap penjuru kuil. Beberapa bruder merasa terusik. Mereka bertanya-tanya apakah baik bila mengkombinasikan cara mereka berdoa dengan ritual warga desa.

Bukankah berdoa merupakan prinsip utama keberadaan mereka di dunia? Bukankah berdoa menjunjung cahaya Yahweh yang menerangi masa-masa dalam kegelapan?

Debat berlangsung berkepanjangan. Gueouél dan beberapa bruder lain memprotes dengan sengit. Mereka yakin bahwa yang lain telah buta dan keliru. Cara berdoa kaum Essene tak dapat disejajarkan dengan ibadah para petani yang sederhana dan tak pernah membaca sebaris pun ayat dalam Taurat! Yang terpenting, bagaimana seseorang dapat terpikir untuk mendoakan seorang Am-haretz, yang bahkan mereka tolak untuk dimakamkan di wilayah Essene, karena berlumur noda? Apakah orang-orang telah melupakan ajaran para rabi dan pemuka agama yang, beribu-ribu kali, menyatakan bahwa kaum Am-haretz tidak memiliki kesadaran manusiawi sehingga tidak layak menjadi bagian Persatuan (manunggaling) Yahweh dengan umatNya?

Argumen ini tidak disetujui oleh para bruder lainnya. Doa yang dilakukan dengan sepenuh hati sungguh istimewa dan bersahaja. Semakin banyak orang berdoa, semakin suci dunia. Mungkin semakin mendekatkan kehadiran Sang Messiah. Apakah Gueouél dan teman-temannya melupakan tujuan utama itu? Setiap doa merupakan semangat baru terhadap Yahweh. Hanya Dia yang dapat menilai, sementara manusia berpikiran sempit melarangnya. Jika gadis dari Nazaret itu, para petani dan para pasien berdoa bersama dalam kesungguhan cinta bagi Yang Maha Kuasa, tidakkah itu sangat baik?

Hal itu membuat Gueouél mengomel. “Apakah kelak kalian akan mendoakan anjing dan kalajengking? Begitukah kesucian yang kalian bawa ke Tanah Orang-orang Saleh? Tak punyakah kalian ambisi selain menghimpun sampah masyarakat?”

Joseph d’Arimatea tak pernah berkomentar, walaupun ia mengingat kata-kata terakhir itu. Seandainya ia menolak opini mengenai kesadaran dan jiwa kaum Am-haretz, berarti ia membenarkan tindakan orang-orang yang mendoakan makam Abdias bersama Mary.

Sebenarnya, kaum Essene tidak menanggung risiko apa pun. Pendapat Gueouél dan teman-temannya terlalu congkak lagi mengandung kecemasan berlebihan. Tak satu pun dari bruder lain yang ingin memanaskan suasana sehingga mengganggu kedamaian dalam komunitas mereka. Walaupun demikian, pada suatu kesempatan Ruth melihat kegembiraan di mata Joseph.

* * *

Setelah masa berkabung berakhir, Mary kembali ke kuil Essene tanpa ditampik siapa pun.

Ia membersihkan diri di dapur di tempat kaum wanita bermukim. Ruth dan dua pelayan lain membawakan sebuah ember besar berisi air murni.

Mary nyaris tak dikenali lagi. Tubuhnya mengurus tentu saja. Wajahnya yang kotor kelihatan keras. Dalam beberapa hari, ia nampak beberapa tahun lebih tua. Matanya yang dihiasi lingkaran hitam bersinar tajam. Otot-ototnya menjadi sekaku tambang. Di balik kelelahan dan tekadnya, tak hanya kecantikan yang terlihat, tapi juga keanggunan yang alami, mencemaskan sekaligus memikat, dan sukar dicari bandingannya. Jelaslah penampilan unik dan ketegaran Mary telah memikat para pria di desa dan menarik mereka untuk berdoa bersamanya.

Kini Ruth merasakan memuatan teramat kokoh, yang pernah dikatakan Joseph sejak mula, di balik penampilan Mary yang rapuh. Energi itu menjadikannya sulit dimengerti dan berbeda dari yang lain. Selain itu ia terlihat senang ketika para pelayan menyiramkan air ke tubuhnya.

Di mana sumber gelak tawa gadis yang belum lama ini menyumpahi ketidakadilan dan kengerian maut?

* * *

Keesokan harinya, Mary hadir di aula untuk menerima para pasien yang datang dua kali sehari pada Joseph dan para bruder.

Di sana banyak orang lanjut usia, juga wanita yang membawa anak kecil. Mereka bergerombol dan menunggu sambil berjongkok. Para pelayan memberi mereka minum dan kadang-kadang membagikan makanan kepada anak-anak yang paling lemah.

Mereka juga membawakan kain dan apa saja yang dibutuhkan dalam pengobatan, Jamu dan salep tertentu, yang paling alami dan paling sering digunakan, telah disiapkan di dapur berdasarkan resep Joseph.

Begitulah Mary dan sang Tetua berjumpa lagi. Mereka hanya berbicara sedikit.

Mary membwa sewadah besar susu, yang dituangkannya ke dalam mangkuk-mangkuk kayu di tangan ibu para pasien kecil. Gueouél mengikuti Joseph dengan menajamkan pendengaran dan penglihatan seperti biasanya.

Ketika melihat gadis itu, Joseph mendekat dan menyapanya dengan senyum ramah. “Aku senang kau tinggal di kuil ini.”

“Aku tinggal untuk belajar.”

“Belajar?” Gueouél terperangah. “Apa yang dapat dipelajari seorang wanita dengan baik?”

Mary tak menyahut. Joseph pun demikian. Tiada senyum terulas di wajahnya. Orang-orang di sekitar mereka dapat menyangka bahwa Gueouél berbicara sendiri.

Hal itu berlangsung berhari-hari. Mary mengikuti anjuran Ruth dan membantu para pasien sebisa mungkin. Ia berbicara dengan suara empuk, mendengarkan mereka selama yang dibutuhkan, menyiapkan jamu dan ramuan obat yang dipelajarinya sedikit demi sedikit dengan efisien.

Ia selalu berada di dekat Joseph saat sang Tetua berkunjung, namun mereka tak pernah bercakap-cakap atau saling memandang. Walaupun demikian, Joseph berbicara dengan suara cukup keras sehingga Mary dapat mendengarnya. Terutam di depan pasien yang sakitnya tak bisa langsung dideteksi. Ia mengajukan sejumlah pertanyaan, meraba dan memperhatikan kondisi pasien serta memikirkannya sungguh-sungguh.

Mary mulai memahami bahwa sakit perut dapat disebabkan minuman atau makanan, sakit dada dapat dipicu oleh kelembaban di rumah atau debu tanaman pasca panen. Luka pada kaki di masa kanak-kanak yang dibiarkan saja dapat berdampak pada punggung seseorang ketika beranjak dewasa.

Mata dan mulut adalah indikator semua penyakit. Setiap hari, seseorang dapat dibersihkan dan dirawat dengan jeruk sitrun dan biji cengkeh, sedangkan yang lainnya menutupinya dengan celak mata. Kaum wanita menderita infeksi yang sukar diutarakan, walaupun rasa sakitnya menyayat bagaikan pisau yang menikam perut. Itulah tanda paling mematikan saat melahirkan.

* * *

Tatkala Mary telah berada di kuil Essene selama satu bulan, seorang pria datang membawa anaknya yang berumur sekitar tujuh atau delapan tahun. Kaki bocah lelaki itu patah karena jatuh dari pohon. Ia melolong kesakitan dan ayahnya memekik tak kalah keras karena panik.

Walaupun hari telah memasuki petang dan waktu bersembahyang sudah tiba. Joseph menjumpai keduanya. Ia meminta mereka menenangkan diri. Dipastikannya bahwa kaki yang patah itu akan sembuh dan setelah beberapa lama, si anak akan dapat berlari lagi. Ia meminta yang lain menyiapkan papan kayu dan kain untuk membalut kaki anak itu dengan posisi yang tepat untuk memulihkan tulangnya.

Dengan jarinya yang halus, ia meraba bagian tubuh yang sudah membengkak. Si anak berteriak. Namun suaranya mereda ketika Joseph menarik kakinya untuk mengembalikan posisi tulang yang patah. Kini saatnya memasang papan. Sambil memegang kaki anak itu, Joseph meminta Mary memijatnya dengan lembut menggunakan salep sementara Gueouél menyiapkan penopang.

Untuk melakukannya, Mary harus membungkuk. Tusuk konde yang dipasang di rambut tebalnya terlepas. Rambutnya terurai dan menampar wajah Gueouél. Ia berteriak nyaring dan meloncat mundur.

Bila Joseph dan seorang pembantu tidak bergerak refleks, anak lelaki itu pasti jatuh dari meja tempatnya dibaringkan. Joseph, yang khawatir kondisi kaki anak itu bertambah parah, mengomeli Gueouél panjang pendek.

“Aku di sini bukan untuk mendukung tubuh perempuan ini,” jawab Gueouél dengan nada mengecam. “Rambutnya membuyarkan konsentrasi kami. Bagaimana kau bisa merawat orang dengan baik jika keburukan menampar wajahmu?”

Semua yang berada dalam ruangan terperanjat dan menatap pria Essene itu. Joseph dan Mary nampak sangat malu. Gueouél berbicara lagi dengan senyum sinis, “Tetua, kau jangan menempatkan istri Potifar di dekatmu. Kau tak bermaksud meniru Joseph yang lain, bukan?”

Dengan wajah merah padam, Mary memberi wadah salep kepada seorang pelayan dan berlari ke tempat tinggal para wanita.

Ruth sangat khawatir. Ia bergegas menyusul Mary dan membujuknya agar tidak memasukkan ucapan Gueouél ke dalam hati.

“Kau tahu sendiri orang itu bermulut tajam! Dia pendengki! Tak ada yang menyukainya di kuil ini. Para bruder, apalagi kami. Ada yang meyakini bahwa Gueouél takkan pernah sebijak orang-orang Essene karena iri hatinya mendarah daging. Sayangnya, karena ia tak pernah melanggar aturan, Tetua tak dapat mengusirnya...”

Sekali lagi, Mary mengejutkan Ruth.

Ia meraih tangan wanita itu dan mengajaknya ke dapur. Di sana, ia mengambil sebilah pisau yang digunakan untuk memotong tali.

“Potong rambutku.”

Ruth memandangnya, melongo.

“Ayo, potong rambutku! Sisakan seujung jari saja.”

Ruth melengking, mengatakan bahwa ia tak dapat melakukannya. Seorang wanita harus menjadi wanita, dengan rambut yang panjang sebagai cirinya.

“Lagi pula rambutmu begitu indah! Akan jadi apa penampilanmu nanti?”

“Aku tetap dipandang rendah, bagaimanpun rupaku. Ini hanya rambut. Kelak akan tumbuh lagi.”

Karena Ruth masih ragu-ragu, Mary menjambak sebagian rambutnya, menariknya dan memotongnya.

“Kalau kulakukan sendiri, hasilnya akan lebih buruk.” Katanya sambil menunjukkan rambut yang sudah dipotong itu kepada Ruth.

Tatkala Ruth berseru ngeri, Mary tersenyum tipis.

Esok harinya. Mary muncul lagi dengan penampilan baru. Rambutnya yang begitu pendek membuatnya asing. Yang tampak adalah paduan wajah lelaki dan perempuan sekaligus. Tatapannya masih tajam dan penuh semangat. Tulang-tulang pipi dan hidung bangirnya mengandung kemaskulinan, kontras dengan mulutnya yang mengukir kelembutan dan senyuman seorang wanita. Karena ia mengenakan pakaian dengan gaya lelaki, menutupi dadanya dengan kaftan pendek, sosoknya menjadi tidak jelas.

Joseph tak mengenali Mary pada awalnya. Ia mengangkat alis sementara Gueouél mengerutkan kening. Saat itulah Mary mengajaknya bicara, mendobrak peraturan yang melarang wanita bersuara lebih dahulu.

“Kuharap penampilanku sebagai wanita tak lagi menggangu konsentrasi Anda, bruder Gueouél. Tak seorang pun dapat mengubah apa yang diciptakan Tuhan. Aku lahir sebagai perempuan, mati pun sebagai perempuan. Tapi selama berada di sini, akan kusamarkan identitas kewanitaanku agar pandangan Anda tidak terganggu lagi.”

Ia mengatakan semua itu dengan senyuman menyindir.

Suasana hening sesaat. Tawa Joseph, diikuti tawa para bruder lain yang hadir di situ, bergaung di lorong sehingga para pasien terhibur dibuatnya.

* * *

Selama beberap pekan, dan berbulan-bulan, tak ada lagi insiden. Para bruder, pelayan, dan pasien telah terbiasa dengan sosok Mary.

Tiada hari terlewat bagi Mary tanpa mempelajari perawatan dan pengobatan yang lebih baik, bahkan jika penyakitnya tak dapat diketahui oleh Joseph.

Dari waktu ke waktu, dengan sembunyi-sembunyi dan sambil lalu, sang Tetua mengajak gadis itu bercakap-cakap.

Suatu kali, ia berkata, “Kita semua harus memerangi setan yang berusaha menyesatkan arah kita. Orang-orang tertentu dikerumuni iblis di sekujur tubuhnya. Mereka sulit melepaskan diri. Beberapa penyembuh menduga bahwa penyakit yang tak dapat dideteksi atau disembuhkan merupakan perbuatan setan. Aku tidak percaya hal itu. Bagiku, iblis merupakan makhluk jahat yang terlihat jelas . Dan ketika aku melihatmu, anak perempuan Joachim, aku tahu iblis yang kau perangi hanya satu. Tetapi sangat kuat. Iblis itu adalah nafsu amarah.”

Joseph menyampaikannya dengan cara yang khas, tenang dan persuasif. Tatapannya sangat lembut.

Mary tak menjawab, hanya menganggukkan kepala.

“Kita memiliki banyak sekali alasan untuk meluapkan kemarhan,” lanjut Joseph. “Bahkan jauh di luar kendali kita. Itulah sebabnya amarah tak pernah menghasilkan kebaikan. Jika dibiarkan, justru akan menimbulkan racun dan merintangi kita memperoleh pertolongan Yahweh.”

Sekali lagi, ia berujar sambil tersenyum, “Kuperhatikan para pelayan di kuil ini tertarik untuk mengikuti jejakmu. Gueouél cemas dan bertanya-tanya jika suatu hari kita akan melihat mereka semua berambut pendek. Kukatakan bahwa mungkin ia akan terbangun suatu pagi tanpa mendapati seorang pelayan pun, karena kau membawa mereka semua pergi dari sini untuk mendirikan sebuah kuil khusus wanita.”

Mary tergelak bersamanya. Joseph mengelus kepala gadis itu yang hampir gundul. Tindak-tanduknya menunjukkan bahwa ia tetap menyenangkan dalam situasi yang sangat serius sekalipun.

“Aku tahu itu tidak mungkin terjadi.”

“Tidak, masih banyak yang perlu kupelajari,” jawab Mary dengan ekspresi tenang sekaligus galak. “Yang harus dibuka bukan kuil khusus wanita, tapi kuil untuk semua orang. Pria atau wanita, Am-haretz atau Saduki, yang kaya, yang miskin, orang Galilea, Samaria, Yahudi dan kaum di luar itu. Kuil tempat kita berbaur sebagaimana kehidupan ini menyatukan kita. Bukan dinding-dinding tempat kita mencerca orang lain di baliknya.”

Joseph tak menyahut, ternganga dan merenung.

* * *

Hujan di awal musim dingin merontokkan daun-daun dari pohon, menyeraki jalan. Orang sakit berkurang jumlahnya. Asap dari rumah-rumah membumbung ke udara. Para bruder menjelajahi desa di sekeliling kuil, karena saat ini merupakan waktu yang tepat untuk mengumpulkan tanaman obat. Mary membiasakan diri mengikuti mereka dari jauh untuk mengamati tumbuhan apa saja yang mereka pilih.

Suatu pagi, Joseph mendapati Mary menunggu di tepi jalan sambil duduk di atas batu. Karena para bruder lain masih jauh di belakangnya, gadis itu berujar, “Tahukah Anda bahwa Abdias sering mengunjungiku? Bukan dalam mimpi, tadi siang hari saat aku terjaga. Ia bicara denganku dan gembira melihatku. Apalagi aku.”

Ia tersenyum dan meneruskan, “Kupanggil dia suami kecilku!”

Joseph mengernyitkan kening, bertanya dengan suara lebih empuk dari biasanya, “Dan apa katanya padamu?”

Mary meletakkan telunjuk di bibirnya dan menggeleng.

“Apakah menurut Anda aku sudah gila?” ia bertanya karena senang melihat kecemasan di wajah Joseph. “Ruth berpendapat begitu.”

Joseph tidak sempat menjawab karena para bruder muncul dan memandangi mereka.

Selanjutnya, Joseph tak pernah mengorek apa pun yang menyangkut ‘kunjungan’ Abdias.
Mungkin karena ia menunggu dengan caranya sendiri smpai Mary bercerita langsung. Namun gadis itu tak melakukannya. Ia pun tak pernah menanggapi Ruth yang lama-kelamaan tak tahan untuk tidak menanyakan kabar pemuda Am-haretz itu.

* * *

Di suatu pagi bersalju, serombongan orang datang tergopoh-gopoh. Mereka menggotong seorang wanita yang sudah sangat renta. Atap rumahnya yang lapuk runtuh menimpa wanita malang itu.

Joseph berada di luar, mencari daun-daun obat meski cuaca buruk. Maka Gueouél lah yang muncul di aula untuk memeriksa wanita itu. Mary telah menempelkan telinga di dadanya.

Menyadari Gueouél di belakangnya, ia segera menjauh. Gueouél mengamati wajah wanita tua itu. Wajah itu penuh luka tetapi tak sedalam parutan-parutan di kaki dan tangannya.

Sesaat kemudian, sang bruder bangkit dan menyatakan bahwa wanita tersebut telah menghembuskan nafas terakhir sehingga tak ada yang bisa diperbuat lagi. Teriakan Mary membuatnya terlonjak.

“Tidak! Jelas tidak! Ia belum meninggal!”

Gueouél menyerangnya dengan tatapan.

“Ia belum meninggal,” tegas Mary.

“Jadi kau tahu lebih banyak daripada aku?”

“Aku merasakan tarikan nafasnya! Darah masih berjalan di jantungnya! Tubuhnya hangat.”

Gueouél bersusah payah mengendalikan amarahnya. Ia meraih tangan perempuan tadi, lalu menyilangkannya di atas pakaiannya yang tercabik-cabik dan penuh debu. Ia menoleh pada orang-orang yang berkerumun. “Wanita ini sudah meninggal. Kalian siapkan saja pemakamannya.”

“Tidak!”

Kali ini, Mary membalik tubuh wanita itu. Ia membasahi kain untuk membersihkan tubuh perempuan tua itu dan meminta pelayan menjerang air untuk mandi.

“Apakah kau tak lihat bahwa Yahweh sudah mengambil nyawanya? Yang kaulakukan pada jenazah itu sama dengan menodainya!” hardik Gueouél. “Begitu juga kalian semua yang membantunya!”

Setelah ragu sejenak, orang-orang bergerak sesuai petunjuk Mary. Sambil menggerutu, Gueouél menghilang ke dalam kuil.

Nenek tua itu dimasukkan ke dalam sewadah besar air panas di dapur di sayap kuil tempat wanita bermukim. Mary terus menutuli leher dan pipinya dengan cuka yang dicampur kapur barus. Namun semua orang mulai sangsi karena perempuan itu tak menunjukkan tanda-tanda kehidupan.

Tengah hari, Joseph pulang. Ia menghambur mendengar kabar itu. Setelah Mary menjelaskan semua yang telah dilakukannya, ia membuka kelopak mata wanita tua itu dan memeriksa denyut nadi di lehernya.

Setelah beberapa lama, Joseph bangkit dan tersenyum.

“Ia masih hidup. Kau benar. Tetapi sekarang perlu lebih banyak air panas dan meminumkannya sesuatu yang memberi energi.”

Ia kembali ke dalam kuil dan muncul membawa ramuan hitam berminyak, terbuat dari akar jahe dan macam-macam bisa ular.

Dengan hati-hati, ia meminumkan beberapa tetes ke mulut ompong perempuan lanjut usia itu.

Sampai malam tiba, air panas di dalam bak terus diganti dengan yang baru. Akhirnya, terdengar dengkuran nafas wanita tua itu.

Para pelayan yang mengangkut air mundur dengan perasaan tegang. Mereka ingin sekali mengetahui apakah wanita yang sudah tampak tak bernyawa itu akan tetap hidup. Setelah terbukti bahwa perempuan itu dapat diselamatkan, mereka terkesima. Salah satunya berseru, “Ini mukjizat!”

Para pelayan menangis lega, sedangkan yang lain berteriak, “Mukjizat! Ini benar-benar mukjizat!”

Mereka memanjatkan syukur kepada Sang Pencipta, lalu menghambur ke luar, berteriak keras-keras mengumumkan keajaiban itu.

Joseph memandang Mary dengan perasaan terkejut sekaligus gembira.

“Hal ini akan membuat Gueouél senang. Sebentar lagi, seisi desa akan berkerumun di depan gerbang meneriakkan mukjizat. Ia akan terkejut karena tak satu pun dari mereka meramalkan hal ini.”

Mary agaknya tak mendengar. Ia meraih tangan si perempuan tua dan memandanginya dengan penuh perhatian. Kini matanya tampak bergerak-gerak. Lehernya naik turun menunjukkan tarikan nafas.

Mary memandang Joseph. “Gueouél benar. Ini bukan mukjizat. Pengetahuan dan ramuan Andalah yang menyelamatkan pasien ini, bukan?”[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar