Bagian Dua: Pilihan Damas
9
Mary berseru, “Maryam! Jangan berenang terlalu jauh!”
Ia tahu perbuatannya itu sia-sia. Maryam sangat enerjik. Gerak-gerik anak perempuan Rachel itu sungguh enak dipandang. Ia berenang dengan segenap kekuatannya, mengerahkan seluruh keberanian khas anak seusianya. Air menggelincir bagaikan minyak transparan di tubuhnya yang ramping. Dalam setiap gerakannya, bayangan merah mengombak di rambut panjangnya, bergerak-gerak bagaikan ganggang hidup.
Joseph d’Arimatea membaw Mary ke rumah Rachel di Magdala, dua tahun yang lalu. Sejak kedatangan gadis itu, Rachel mengatakan bahwa Mary sangat mirip dengan putrinya, seolah-olah keduanya bersaudara. Banyak wanita yang melihat mereka menyetujui pendapat itu dan segera saja berkomentar, “Benar, sungguh menakjubkan. Bahkan nama kalian mirip. Maryam dan Mary!”
Perkataan itu diucapkan dengan lembut, meski tidak sepenuhnya benar.
Sekilas, kedua anak itu memiliki kesamaan fisik. Meskipun demikian, Mary segera menemukan perbedaan di antara mereka. Maryam, yang lebih muda empat tahun darinya, selalu menggebu-gebu dan memiliki sikap kekanak-kanakan yang cepat berubah.
Maryam mampu mengubah segalanya menjadi menyenangkan, termasuk penguasaan bahasa dan pengetahuan yang sukar. Kegemarannya akan bersenang-senang sangat kontras dengan kedewasaan Mary. Anak perempuan Rachel itu mencintai dunia sejak lahir, dan Mary mencemburui kemmpunnya menikmati hidup.
Sepanjang ingatannya, ia tak pernah merasakan hal itu. Sejak bulan-bulan pertama, hari-hari berlalu penuh gejolak bersam kawan barunya ini. Sepengetahuannya, Maryam adalah pribadi yang sangat ambisius dan sangat tegar. Namun Maryam menunjukkan bahwa dirinya gembira mempunyai teman. Ia menyukai kehadiran Mary. Persahabatan dapat terjalin cepat hingga membantu Mary memahami karakter agak cepat tersingung yang memang sudah dari sananya itu.
Demikianlah hari-hari menyenangkan, tentram dan penuh semangat belajar berlalu di rumah indah ini. Rumah yang aula dan tamannya memanjang hingga tepian danau Gennesaret.
Rachel dan teman-temannya bukan wanita biasa. Mereka tidak pamer harta sebagaimana biasanya kaum wanita dan para istri. Mereka membicarakan banyak hal dengan riang gembira. Sebagian waktu mereka digunakan untuk belajar dan membicarakn hal-hal yang dapat mendirikan bulu roma para rabi. Menurut para pemuka agama itu, keahlian para wanita hanyalah mengurus rumah tangga, menenun, atau—jika berkecukupan seperti Rachel—luntang-lantung dengan sikap congkak.
Setelah dua puluh tahun menjadi janda seorang saudagar dan pemilik sejumlah kapal besar di pelabuhan-pelabuhan terkemuka Mediterrania sekaligus pejabat militer Roma yang mengalami kecelakaan di suatu tempat di Tirus, Rachel merupakan wanita yang kaya. Dan ia menggunakan hartanya dengan cara yang tidak disangka-sangka.
Alih-alih tinggal di rumah mewah warisan suaminya di Yerusalem atau Kaesaria, ia bermukim di Magdala, sebuah desa besar di Galilea sekitar dua hari perjalanan dari Tiberias. Di sana tidak ada hiruk-pikuk kehidupan kota besar dan pelabuhan. Bahkan pada hari-hari paling terik sekalipun, angin berhembus lembut dari arah danau. Di sana selalu terlihat arus balik yang teratur diiringi kicau burung-burung. Berdasarkan musim, tanaman amandier, myrte dan câprier muncul dengan beraneka warna. Di kaki bukit, para petani Magdal menanam dengn rajin sekumpulan pohon biji mostar dan anggur besar-besar yang dipagari tanaman sycomore.
Dilengkapi tiga pelataran yang luas, rumah Rachel memancarkan kesederhanaan dan kebersahajaan bangunan-bangunan Yahudi zaman dulu. Dengan menyingkirkan barang-barang besar aneka macam yang biasanya menghiasi rumah-rumah bergaya Roma, beberapa ruangan diubah menjadi tempat belajar. Di ruang-ruang perpustakaan, berjejer karya filsuf Yunani dan pemikir Roma zaman Republik, gulungan naskah Taurat dalam bahasa Aram dan Yunani, serta teks para nabi ketika diasingkan di Babilonia.
Setiap kali sempat, Rachel mengundang penulis-penulis yang disukainya ke tepi danau. Mereka menghabiskan waktu di Magdala sepanjang musim, bekerja, mengajar, dan bertukar pikiran.
Joseph d’Arimatea, yang menentang prasangka kaum Essene tradisional terhadap para wanita, kerap menghadiri pertemuan itu. Rachel sangat menghargai keberadaannya. Ia menerimanya dengan tangan terbuka. Mary mengetahui bahwa diam-diam Rachel menyumbngkan uangnya pada komunitas Damas, tempat Joseph menyebarkan wawasan dan pengetahuannya mengenai Taurat. Di sana ia juga mengajarkan ilmu pengobatan dan meringankan beban penderitan rakyat jelata dengan segenap kemampuannya.
Aktivitas utama Rachel adalah memberi peluang pada wanita-wanita Galilea yang haus pengetahuan. Hal itu dilakukannya dengan sembunyi-sembunyi. Jika kecurigaan dan mata-mata Herodes serta orang Roma harus ditakuti, pikiran sempit para rabid an para suami tak kalah mengancam. Banyak yang berkunjung ke rumah Rachel merupakan istri pedagang atau tuan tanah kaya. Mereka keluar rumah dengan diam-diam. Meskipun kaum pria tidak menyukai istri yang terpelajar, wanita-wanita itu belajar menulis dan membaca dengan giat. Seringkali mereka menularkan semangat belajar dan menambah wawasan itu kepada anak perempuan mereka masing-masing.
Di samping itu, Mary mempelajari hal-hal yang biasanya terbatas bagi kalangan tertentu di Israel, yaitu bahasa Yunani dan filsafat politik. Bersama teman-temannya, ia membaca dan mendiskusikan undang-undang dan hokum yang berlaku di suatu republik atau mengatur kekuasaan suatu kerajaan, bertanya-tanya pada dirinya sendiri mengenai kekuatan dan kelemahan kaum tiran dan rahib.
Mary, Rachel dan teamn-teman mereka juga merana akibat belenggu Herodes. Penindasan moral dan material, juga ketakberdayaan rakyat Israel semakin parah. Kekerasan dan pelecehan menjadi topic yang kerap diperdebatkan. Seringkali hal ini menimbulkan rasa keterpurukan yang kronis. Para wanita itu hanya memiliki kecerdasan dan ketegaran untutk menghadapi kaum tiran.
Menurut kabar burung, penyakit Herodes membuatnya kehilangan ingatan. Meskipun demikian, ia masih menyeret orang-orang Israel ke dalam neraka yang sama. Setiap hari tentaranya kian bengis, orang-orang Roma kian kejam dan kaum Saduki di Sanhadurim kian tamak. Namun Rachel dan teman-temannya cemas memikirkan kematian Herodes. Mereka membayangkan bahwa pemimpin lalim itu akan digantikan oleh seorang raja baru yang tak kalah sewenang-wenangnya, lebih muda, dan berasal dari keturunan Herodes yang berdarah dingin.
Memang, Herodes seolah ingin menghabisi seluruh keluarganya. Beberapa sanak istrinya telah menemui ajal mereka. Tetapi sepanjang hidupnya, Sang Raja telah menyebar benih di segala penjuru dan banyak orang dapat mengaku sebagai darah dagingnya. Jika kaum tiran menerima hukumannya kelak, rakyat Israel menanggung risiko terkungkung dalam kesengsaraan selama-lamanya.
Mary menceritakan betapa Barabbas pernah berharap dapat menggulingkan penguasa, juga membebaskan rakyat Israel dari Roma dan mengusir para perusak Saduki dari Kuil.
Bila ia merasa gundah karena pertengkaran konyol antara kalangan Zelot, orang Farisi dan Essene, wanita-wanita Magdala pun tak dapat menyetujui kekerasan untuk meraih kedamaian. Socrates dan Plato, yang mereka kagumi, mengajarkan bahwa peperangan hanya mengakibatkan lebih banyak lagi ketidak adilan, penderitaan rakyat dan kejayaan sementara para pemenang yang dibutakan oleh kekuasaan.
Namun haruskah mereka pasrah pada suratan takdir Tuhan? Haruskah mereka berdiam diri hingga Yang Maha Kekal, melalui Sang Messiah, membebaskan mereka dari nestapa yang tak pernah sanggup diakhiri oleh bangsa Israel sendiri?
Banyak wanita yang meyakini hal itu. Yang lain, berangapan sama dengan Rachel bahwa keadilan hakiki yang dapat menyelamatkan mereka hanya dapat lahir dari semangat dan keadilan humanis, keadilan berdasarkan kasih sayang dan rasa hormat.
“Keadilan yang diajarkan aturan Musa itu mulia dan bahkan mengangumkan,” Rachel menerangkan dengan penuh keyakinan lagi provokatif. “Tetapi kita sudah melihat kekurangannya. Kita, kaum wanita. Mengapa ajaran itu membedakan wanita dan pria? Mengapa Abaraham dapat menyerahkan istrinya Sarah kepada Firaun tanpa merasa berduka? Mengapa istrinya selalu tak berdaya? Mengapa kita wanita dipandang rendah dibandingkan pria dalam kemanusiaan padahal dari segi jumlah dan pekerjaan kita sama dengan mereka? Musa memilih orang Afrika sebagai ibu putra-putranya, lalu mengapa keadilannya tidak berlaku setara bagi semua pria dan wanita di tanah ini?
Pada mereka yang memprotes dan mempersoalkan pemikiran yang menyimpang bahwa keadilan Musa hanya berlaku bagi orang-orang yang dipilih Yahweh dalam persekutuannya, Rachel memberikan jawaban, “Apakah kalian percaya bahwa Yang Maha Kuasa hanya menghendaki kebahagiaan dan keadilan untuk satu bangsa? Itu tidak mungkin! Hal itu akan membuatNy sama dengan dewa-dewa menggelikan yang dipuja orang Roma atau tokoh-tokoh bejat yang dijunjng tinggi oleh orang Mesir, orang Persia dan orang Barbar dari Selatan.”
Protes membahana. Bagaimana Rachel dapat berpikiran demikian? Sejak dahulu sejarah Israel memaparkan hubungan antara Tuhan Yang Maha Kuasa dengan umatnya. Yahweh telah bersabda pada Abraham, “Aku memilihmu dan keturunanmu akan berada dalam persekutuanKu.”
“Tapi buknkah Yahweh bersabda bahwa Ia tidak memberikan keadilan, kekuatan dan kasih sayangnya pada bangsa lain?”
“Apakah maksudmu kita harus berhenti menjadi Yahudi?” bisik seorang wanita dari Tiberias dengan bingung. “Aku takkan pernah bisa mengikutimu. Ini tidak masuk akal…”
Rachel menggeleng dan meneruskan penjelasannya.
“Apakah kau tidak pernah berpikir bahwa Yang Maha Kekal ingin bersekutu dengn rakyat kita sebagai sebuah tahap permulaan? Supaya kita bergandeng tangan dengan semua pria dan wanita? Begitulah pendaptku. Aku yakin, Yahweh mengharapkan kita bisa saling mengasihi di duni ini tanpa terkecuali.”
Lebih jauh dalam diskusi yang berlangsung hingga larut malam dan ditemani lampu-lampu minyak itu, Rachel berusaha menunjukkan bahwa obsesi para rabi dan nabi untuk menjaga pengetahuan dan keadilan mereka hanya demi keuntungan rakyat Israel mungkin merupakan sumber kemalangan mereka.
“Terserah apa katamu,” cibir seseorang. “Kalau begitu, semua orang di jagat ini harus menjdi Yahudi?”
“Kenapa tidak?” kilah Rachel. “Ketika satu kelompok terbagi-bagi, dan bagian yang kecil terpisah, maka kelompok yang kecil ini menjadi lemah dan berisiko dimangsa binatang buas. Kita pun demikian. Orang Roma memahami hal itu. Mereka ingin menjajah semua bangsa di dunia untuk menjadi kuat. Kita juga harus mempunyai ambisi untuk menaklukan dunia agar hukum kita lebih kuat daripada Roma.”
“Kontradiksi yang indah! Apakah maksudmu hukum kita kurang adil kerna mendiskriminasikan kaum wanita? Kalau benar begitu, mengapa ingin menerapkannya di seluruh dunia?”
“O benar,” ujar Rachel. “Sebelum itu kita harus mengubah hukum tersebut…”
“Kau benar-benar pengkhayal!” seseorang tertawa, membuat suasana menjadi santai. “Mengubah cara berpikir para suami dan rabi kita kedengarannya lebih sulit daripada menentang Herodes.”
* * *
Hari demi hari, Mary menyimak perdebatan itu. Gurauan dan gelak tawa terkadang menyelingi topic yang serius. Ia jarang unjuk suara dan lebih suka memberi kesempatan pada wanita lain yang lebih berpengalaman. Sungguh menyenangkan melihat semangat Rachel yang berkobar-kobar.
Akan tetapi, debat-debat itu tidak pernah berubah menjadi pertengkaran atau kericuhan yang sia-sia. Bahkan sebaliknya, diskusi itu merupakan pendidikan kebebasan dan penghormatan. Aturan yang diterapkan Rachel mencontoh sekolah-sekolah Yunani, yakni bahwa semua orang boleh mengungkapkan pendapat, serta tak ada yang boleh menghakimi perkataan, gagasan, dan bahkan sikap diam teman-temannya.
Meskipun demikian, setelah membuat Mary antusias, pertukaran pikiran yang bermanfaat ini akhirnya menimbulkan kegundahan. Semakin debat itu penuh semangat dan bebobot, makin terbuka sebuah fakta bahwa baik Rachel maupun teman-temannya tidak menemukan jalan untuk menudukan tirani Herodes. Mereka mengabaikan cara menyatukan rakyat Israel dalam satu kekuatan. Sebaliknya bulan demi bulan, kabar yang tersiar di Magdala menujukkan bahwa ketakutan di hari-hari selanjutnya menghantui orang-orang yang paling papa yakni kaum petani dan nelayan yang merupakan mata rantai utama bagi kelangsungan perdagangan dan dunia usaha.
Dalam keadaan tak berdaya, dilecehkan oleh orang-orang kaya di Yerusalem dan pendeta-pendeta di Kuli, orang-orang malang ini berpaling pada mereka yang pandai bicara, nabi-nabi palsu dan para pembual yang berkeliaran di kota dan desa. Mengandalkan topik-topik yang menakutkan atau ancaman yang diselingi ramalan peristiwa-peristiwa supranatural, para penipu ini berpura-pura menjadi nabi zaman modern. Sayangnya ocehan mereka hampir semua sama. Kata-kata mereka tak lebih dari pemicu kebencian pada sesama manusia dan pengumuman akan datangnya kiamat yang digambarkan dengan imajinasi berlebihan penuh dengan azab yang mengerikan. Nampaknya orang-orang yang mengaku suci, saleh dan patut dicontoh ini hanya ingin menambah rasa tertekan dalam hati rakyat yang tengah putus asa. Tak seorang pun berusaha meringankan duka yang tengah mereka tanggung.
Walaupun kehidupan di Magdala sangat tentram, hubungan dengan Maryam menyenangkan dn sikap Rachel amat lembut, semakin lama Mary semakin gelisah. Ia jarang berbicara dan setiap malam sulit tidur karena terus berpikir tanpa hasil. Di matanya, diskusi yang dilakukn Rachel sia-sia belaka. Hanya tawa-tawa temannya yang begitu lepas.
Namun apakah kelemahannya itu merupakan suatu kesalahan? Apakah ia telah melupakan segalanya? Alih-alih tinggal di rumah mewah ini, tidakkah seharusnya ia mengikuti Barabbas dan Mathias dalam pertempuran yang bukan sekedar kata-kata? Walaupun demikian, setiap kali pikirannya berkecamuk, ia mulai berkhayal. Lebih dari yang lain, pilihan untuk melakukan kekerasan merupakan ketakberdayaan. Sama saja dengan nabi-nabi palsu itu, menciptakan luka di atas luka.
Namun ia tak dapat berpangku tangan saja.
Akhirnya ia memutuskan untuk meninggalkan Magdala.
Ia harus menyusul ayahnya, mengurus sepupunya Elisyeba di rumah tempat Joachim dan Hannah mengungsi. Atau menemani Halwa yang harus menanggung beban berat karena pekerjaan sehari-hari dan anak-anaknya. Itulah yang harus ia lakukan. Menjadi seorang yang berguna dalam hidup dan bukan tinggal di rumah mewah ini. Rumah tempat pengetahuan yang begitu cemerlang terhapus oleh kenyataan bagaikan asap diterpa angin.
Mary belum bisa segera menyatakan keinginannya. Rachel sedang tidak di rumah. Ia berada di pelabuhan Kaesaria untuk menerima kapal-kapal yang disewanya ke Antios dan Athena. Selain kain, rempah-rempah dari Persia, dan kayu dari Kapados yang ditanganinya meneruskn usaha sang suami, kapal-kapal ini mengangkut buku-buku yang telah lama ia tunggu. Di samping itu, hari ini Maryam berulang tahun yang kelima belas. Mary tidak ingin meninggalkan teman barunya ini. Namun ia tetap menghitung hari dengan tak sabar.
* * *
"Mary! Mary!”
Teriakan Maryam membuyarkan lamunannya.
“Ayo kemari! Airnya lembut deh…!”
Mary menolak dengan gerakan tangannya.
“Jangan terlalu serius begitu,” Maryam bersikeras. “Ini adalah hari istimewa.”
“Aku tak bisa berenang!”
“Jangan takut, akan kuajari. Ayo hari ini kan hari ulang tahunku! Sebagai hadiah, berenanglah bersamaku.”
Berkali-kali Maryam mencoba mengajak Mary menikmati air danau bersamanya.
“Kau sudah menerima hadiah dariku,” jawab Mary sambil tertawa.
“Puh…!” gerutu Maryam. “Secarik Taurat! Kau ini sedang melucu ya?”
“Itu bukan ‘secarik Taurat’ anak bodoh. Itu kisah yang indah tentang Yudith, yang menyelamatkan kaumnya dengan keberanian dan kesuciannya. Seharusnya sudah lama kau tahu kisah itu dan menylinnya dari tanganku. Pengetahuanmu akan bertambah.”
Sebagai jawaban, Maryam membenamkan diri dalam air. Bagaikan dewi pelindung sungai, ia berenang sepanjang tepi danau. Tubuhnya yang telanjang meliuk-liuk anggun di dasar danau yang menghijau.
Sikap Maryam yang tidak senonoh itu tetap terlihat menarik. Mungkin seperti halnya Yudith, yang menyatakn di depan semua orang “Dengarkanlah aku! Akan kulakukan sesuatu yang akan dikenang rakyat kita turun-temurun.” Dan hal ini terbukti ketika Tuhan menyelamatkan rakyat Israel dari tirani Holopherne orang Asyiria.
Namun sekarng siapa yang dapat menjadi Yudith? Kecantikan seorang wanita, betapa pun menakjubkannya takkan dapat mengatasi iblis yang bercokol di istana Herodes!
Di antara kecipak air, wajah Maryam menyembul dari balik air dengan sekali gerakan. Gadis remaja itu keluar dari air dan naik ke tepian. Sebelum Mary bereaksi, ia sudah melemparkan diri ke arahnya sambil menggeram bagai binatang buas.
Sambil memekik dan tertawa, mereka berguling-guling di rumput dan bergulat hebat. Dengan sekuat tenaga Maryam berusaha menarik Mary ke dalam air. Tubuhnya yang telanjang membasahi pakaian temannya.
Setelah tersengal-sengal dan masih terus tertawa, dengan jari bersilangan mereka saling bersandar. Mary menarik tangan Maryam dan merengkuhnya.
“Kau nakal! Lihat bajuku!”
“Bagus kan? Kau tinggal mencebur ke air…”
“Aku tidak terlalu suka air sepertimu…Kau tahu itu kan?”
“Kau ini terlalu serius.”
“Memang mudah untuk lebih serius daripada kau.”
“Ayolah! Kau tak perlu jadi begitu pendiam dan pemurung. Entah apa yang selalu kau pikirkan. Belakangan ini kau semakin muram. Sebelumnya kita selalu bergembira bersma. Kau bisa menjadi seriang aku, tapi kau tidak mau.”
Maryam beranjak ke sebuah lekukan dan memperhatikan kening Mary.
“Ada kerutan di antara alismu. Di sini! Sudah beberapa hari aku melihatnya. Kalau begitu terus, kau akan keriput seperti nenek-nenek.”
Mary tidak menjawab. Ia tetap bungkam sejenak. Maryam menyeringai dan bertanya dengan suara lirih.
“Kau marah?”
Tentu saja tidak.”
“Aku benar-benar sayang padamu. Aku tak mau kau sedih karena ulahku.”
Mary menjawab seraya mengecup matanya dengan lembut, “Aku tidak sedih karena kata-katamu benar. Aku memang ‘si serius Mary dari Nazaret’. Semua orang tahu itu.”
Maryam bergeser ke sebelahnya, gemetar terkena angin. Dengan gerakan bagaikan hewan kecil yang manja, ia bersandar ke pangkuan Mary untuk menghangatkan diri.
“Benar, teman-teman ibuku juga menyebutmu begitu. Memang keliru. Mereka tak mengenalmu sebaik aku. Kau memang serius, tapi bisa melucu juga. Sebenarnya kau berbeda dari yang lain. Bagimu segalnya amat penting. Bahkan caramu tidur dan bernafas berbeda dari kami.
Mary tak menjawab. Matanya terkatup. Ia gembira merasakan tubuh mereka saling merapat.
“Dan aku juga tahu, kau tidak menyayangiku seperti aku sayang padamu,” lanjut Maryam. “Bila kau pergi, karena suatu hari kau akan meninggalkan rumah ini, aku masih akan menyayangimu. Tapi entah dengan kau sendiri.”
Mary terhenyak. Apakah Maryam mengetahui apa yang ia pikirkan? Tapi sebelum I dapat menjawab, Maryam segera bangkit dan mendekap tangannya kuat-kuat.
“Dengar!”
Derit roda kereta mendekati rumah.
“Ibuku pulang!”
Maryam berdiri dengan sekali loncat. Tanpa menghiraukan percikan air yang membasahi kulitnya, ia meraih pakaian yang digantungkan di ranting pohon tamaris dan mengenakannya, lalu berlari menjumpai ibunya.
* * *
Para pelayan dengan sigap membantu Rachel turun dari kereta. Sebuah kereta berbalut kain hijau tebal yang untuk menariknya diperlukan empat ekor keledai yang hanya dapat dikendalikan oleh Rekab, sang kusir sekaligus pembantu khusus di rumah itu.
Maryam bergegas mencium ibunya dengan penuh perasaaan.
“Aku tahu kau akan pulang pada hari ulang tahunku!”
Rachel, yang hanya sedikit lebih tinggi dari putrinya dan mengenakan tunik rumbai-rumbai berbordir yang mnyembunyikan bobot tubuhnya dalam keanggunan sederhana, menjawab dengan lembut. Meskipun demikian, Mary merasa kepura-puraan wanita itu. Ia tidak terlihat gembira karena telah tiba di rumah.
Tidak lama kemudian, setelah memberikan seuntai kalung koral dan mutiara hijau yang dikirim dari seberang Persia kepada putrinya, dan membuka bungkusan-bungkusan buku sangat berharga yang telah diturunkan dari kereta, Rachel memberi isyarat diam-diam kepada Mary. Ia mengajaknya ke teras di atas kebun buah-buahan yang melandai ke danau. Dalam hembusan angin sepoi, pohon apel Sodome dan pohon-pohon Aras membentuk keremangan yang lembut. Rachel senang berada di situ. Ia sering menggunakan tempat itu untuk membicarakan hal-hal yang rahasia.
“Aku tak mau merusak kegembiraan Maryam…Saat ini ia masih anak-anak!”
“Alangkah baiknya jika ia tetap lugu begitu.”
Rachel membenarkan, melemparkan pandangan ke arah kerimbunan tumbuhan kerucut yang wangi dan papirus yang menjuntai ke dalam air. Layar perahu-perahu nelayan mempertegas permukaan danau yang licin. Wajah Rachel berubah mendung.
“Keadaan memburuk. Bahkan dari yang kita bayangkan di sini. Kaesaria diberondong berita burung. Kabarnya Herodes membunuh kedua anak laki-lakinya. Alexander dan Arkelaus.
Ia ragu-ragun dan merendahkan suaranya.
“Seisi istana ketakuatan. Herodes takut akan diracun sehingga ia membunuh dan memenjarakan orang yang dicurigainya. Para tangan kanannya dan pejabat-pejabat tinggi disiksa habis-habisan. Mereka terpaksa mengaku agar bisa tetap hidup. Tapi kebohongan mereka menambah gila raja dan menjungkirbalikkan akal sehatnya.
Rachel bercerita bahwa Salome, saudara perempuan raja, dan saudara laki-lakinya Peroras yang sangat dicurigai ingin merebut kekuasaan, mengurung diri di salah satu benteng di Yudea. Karena dicekam kebencian terhadap keluarganya dan bangsa Yahudi, Herodes selalu dijaga seorang Lakedemonia bernama Eurikles. Orang yang sangat mahir bertipu muslihat dan luar biasa tamaknya ini dapat menyusup ke istana setelah menyuap Herodes dengan banyak hadiah yang dicurinya di Yunani. Selain melontarkan pujian yang memuakkan dan fitnah yang keji, ia memasang perangkap yang mendorong raja membunuh putra-putranya sendiri.
“Aku melihatnya di pelabuhan naik kereta berlapis emas yang berkilauan,” ungkap Rachel sinis. “Ia sungguh arogan. Kami membayangkannya menggunting dalam lipatan. Tapi ada yang lebih buruk. Orang menduga bahwa raja dan keluarganya akan saling bunuh, jika orang busuk ini tidak menyeret kita dalam bahaya bersamanya. Herodes dan semua yang ada di sekelilingnya bukanlah manusia. Silaunya kekuasaan telah merusak mereka sampai ke sumsum.”
Ia menarik nafas kesal.
“Aku tak mengerti lagi apa yang direncanakan Tuhan terhadap kita…Bahkan apa yang kita lakukan di sini tampaknya sia-sia. Apa gunanya buku-buku yang baru kubawa itu? Perpustakaan di rumah ini, semua yang kita pelajari, yang kita diskusikan? Tadinya aku yakin bahwa memperkaya jiwa kita akan membantu mengubah dunia ini. Kukatakan pada diri sendiri, kita para wanita harus berubah. Dengan begitu kita dapat mengatasi kegilaan kaum pria. Kini aku sulit mempercayai lagi. Begitu keluar dari Magdala, begitu berada di Tiberias satu hari penuh, nampaknya kita menjadi beradab tapi tak berguna...”
“Jangan bilang begitu, Ibu!” pekik Maryam dibelakangnya. “Ibu tidak boleh…”
“Oh, kau di situ?”
“Ya, dan aku sudah mendengar semuanya walaupun Ibu hanya ingin bicara serius dengan Mary,” gerutu Maryam.
Ia mendekat dengan pandangan marah dan menunjukkan kalung yang menghiasi lehernya.
“Aku ingin menunjukkan bahwa kalung ini pantas untukku. Tapi tampaknya ini tidak penting.”
“Sebaliknya, Maryam. Bukankah aku menawarkannya padamu? Memang benar kalung ini sangat cocok untukmu…”
Maryam mengibaskan tangan sebagai tanggapan terhadap pujian itu.
“Ibu jadi sama dengan Mary.” Ia mengomel. “Kaku, terobsesi dengan Herodes, suka berbaku hantam, tapi Ibu tak boleh ragu. Tidakkah Ibu mengatakan sendiri kepada semua orang yang datang ke sini bahwa seorang wanita atau pria yang mempertahankan pengetahuan dan akal, menerapkan ilmu dari para leluhur, maka ia akan menyelamatkan dunia dan jiwa manusia di depan Tuhan?”
“Ingatanmu bagus sekali,” ujar Rachel sambil tersenyum.
“Sangat hebat. Dan tidak yang seperti Ibu pikir, kan? Aku selalu mendengarkan Ibu dengan penuh perhatian.”
Rachel menggerakkan tangan untuk mengelus pipi putrinya. Maryam menghindar. Rachel mengerutkan kening dengan kesal.
“Kau bicara dengan semangat orang muda. Bagiku semua tampak begitu buruk di sekitar kita.”
“Ibu salah besar.” Maryam jengkel. “Yang pertama, usia bukan ukuran. Mary hanya empat tahun lebih tua dariku. Dan kalian berdua tidak dapat menikmati keindahan yang terbentang di depan mata.”
Dengan kesal Maryam menunjukkan pemandangan indah dari danau, bukit-bukit, dan bunga apel ini? Galilea sungguh indah. Kita semua cantik. Ibu, Mary, teman-teman kita. Yang Maha Kuasa telah menganugerahkan semua keindahan ini. Mengapa kita ingin mengingkarinya? Seharusnya kita menikmati kegembiraan dan kebahagiaan yang Ia karuniakan. Bukan hanya memikirkan teror Herodes. Ia hanya seorang raja dan akan segera mati. Suatu hari, ia akan dilupakan. Tapi yang diungkapkan buku-buku di rumah ini takkan lenyap meski kita tak ingin lagi menghidupkannya.”
Senyum kembali menghiasi wajah Rachel. Lembut, agak menggoda namun mengungkapkan kegembiraan dan keterkejutannya.
“Wah! Rupanya putriku sudah tumbuh menjadi gadis yang pintar dan bijak tanpa kusadari...”
“Tentu saja, karena Ibu selalu menganggapku anak kecil!”
Rachel kembali membelai wajah anaknya. Kali ini Maryam tidak mengelak. Malah ia menghambur ke dalam dekapan ibunya.
“Aku berjanji takkan lagi memperlakukanmu seperti anak kecil,” ujar Rachel.
Dengan senyum jahil, Maryam membalas, “Tapi jangan berharap aku jadi seserius Mary. Itu takkan pernah terjadi...”
Ia berputar di atas kakinya dan berkata seolah membuktikan apa yang baru diucapkannya.
“Aku akan berganti pakaian. Warna baju ini kurang serasi dengan kalungku.”
Ia meninggalkan ruangan dengan ceria dan penuh semangat. Setelah ia masuk ke dalam rumah, Rachel menggeleng-gelengkan kepalanya pelan.
“Begitulah jika anak-anak tumbuh besar dan kalian menjadi asing. Tapi siapa tahu jika ia keliru?”
“Ia benar,” Mary menanggapi. “Tuhan telah menciptakan keindahan dan ia tentu tak menghendaki kita melupakannya. Sungguh baik bahkan menakjubkan bila ada makhluk seperti Maryam. Pendapatnya tentang keseriusanku juga benar. Aku ingin...”
Ia terdiam, memikirkan cara memberitahu Rachel keinginannya untuk meninggalkan rumah ini dan kembali ke Nazaret atau ke sisi ayahnya. Burung-burung terbang di atas mereka sambil mencicit gaduh. Ia mengangkat kepala untuk memperhatikan hewan-hewan itu. Dari bagian lain rumah itu, terdengar gelak tawa Maryam bersama para nelayan, dan suara roda kereta yang dimasukkan ke tempatnya. Sabelum Mary berbicara lagi, Rachel menariknya ke bawah teras di kebun buah-buahan.
“Ada kabar lain yang ingin kusampaikan sebelum Maryam menyela kita tadi,” katanya dengan suara tertahan.
Ia mengeluarkan secarik kertas kulit dari saku pakaiannya.
“Aku menerima dari Joseph d’Arimatea. Ia tidak dapat datang lagi kemari karena pertemuannya dengan kita ‘kaum wanita’ menjadi skandal dalam komuninya. Bruder-bruder baru telah bergabung untuk mempelajari ilmu pengobatan bersamanya. Tetapi mereka mengharuskan Joseph menjaga jarak dengn kita...Ia tidak menyebutkan siapa. Tapi menurutku, ini ulah Giora. Ia pasti takut pengaruh Joseph kepada kaum Essene sehingga ia menyebarkan kebencian yang besar terhadap kaum wanita di kalangan rekan-rekannya di Gamala”
“Bukan hanya pada wanita. Kaum Am-haretz, orang-orang asing, orang sakit!” tandas Mary. “Sebenarnya Giora membenci kelemahan serta hanya menghargai kekuatan dan kekerasan. Ia sangat tidak menyenangkan. Menurutku ia bahkan tak pantas disebut rahib. Aku telah bertemu Giora di Nazaret bersama ayahku, Joseph d’Arimatea dan Barabbas. Ia hanya bisa setuju pada pendapatnya sendiri...”
Rachel terkekeh.
“Itulah yang ingin kubicarakan denganmu, menegenai Barabbas. Semua orang di Kaesaria dan Tiberias, dalam perjalanan pulang kemari menyebut namanya.”
Seketika Mary dihinggapi kecemasan. Ia terdiam. Rachel melihat kekhawatirannya dan menggeleng.
“Ini bukan kabar buruk. Justru sebaliknya. Kata orang, Barabbas membentuk kelompok yang terdiri dari lima atau enam ratus penyamun. Ia bersekutu dengan bandit lain.”
“Pasti Mathias,” bisik Mary.
“Entah siapa namanya, tetapi mereka berdua mengumpulkan banyak sekali pejuang. Kabarnya mereka mengalahkan kavaleri dua-tiga kali dengan mengail keuntungan dari sakitnya Herodes, yang malah memenjarakan orang-orang kepercayaanya.”
Mary mengulas senyum. Bukan hanya senang mendengarnya, ia juga lega, bahagia, dan bahkan iri.
“Ya,” ungkap Rachel dengan senyum di bibir. “Betapa senang aku mendengar berita ini. Tentu saja, di Kaesaria atau Tiberias, bahkan di Safuria, beberapa orang mengkhawatirkan kekayaan mereka. Mereka menyebutnya ‘penyamun’, ‘perampok’, dan mengnggap Barabbas ‘penyebar rasa takut’. Tapi orang meyakinkanku bahwa warga desa yang berani di Galilea memuji dan mendoakannya. Ia selalu menemukan cara untuk bersembunyi di antara mereka jika terpaksa. Itu bagus.”
Ia terdiam, pandangannya mengambang.
“Aku akan pergi,” ujar Mary tiba-tiba.
“Kau ingin bergabung dengannya?” tanya Rachel segera. “Tentu saja. Aku sudah mengira sejak mendengar kabar itu.”
“Aku telah memutuskan untuk pergi sebelum menerima berita ini. Aku sengaja menunggu Anda pulang dan hari ulang tahun Maryam.”
“Ia akan sedih jika kautinggalkan.”
“Kami akan bertemu lagi kelak.”
“Tentu...” Mata Rachel berkaca-kaca.
“Aku menyayangi kalian sepenuh hati,” ujar Mary dengan suara lemah. “Di rumah ini, aku telah melewati saat-saat yang akan selalu kukenang. Aku telah belajar dari Anda...”
“Tapi kini saatnya kau pergi,” sela Rachel tenang. “Ya, aku mengerti.”
“Batinku gelisah. Aku selalu bangun tiap malam dan tak dapat tidur lagi. Ini harus diakhiri, bukan? Keadaanku baik, aku belajar dan memperoleh banyak hal, kasih sayang dari Anda dan Maryam...tapi kontribusiku sunggu minim!”
Rachel meraih pundak gadis itu dengan lembut sambil menggeleng.
“Jangan berpikir begitu. Kehadiranmu adalah karunia yang membahagiakan Maryam dan aku. Tapi aku paham akan perasaanmu.”
Mereka tetap membisu, sama-sama sedih dan terharu.
“Ini saatnya melakukan sesuatu, tapi entah bagaimana caranya. Kita mengabaikan keinginan kita. Kadang-kadang, rasanya ada tembok di depan kita, setiap hari makin tinggi dan makin sulit dilampaui. Kata-kata, buku-buku, bahkan pemikiran kita yang paling tepat terlihat raib. Keputusanmu untuk kembali ke dunia luar itu benar. Apakah kau akan bergabung dengan Barabbas?”
“Tidak. Aku sangsi ia membutuhkanku dalam perjuangannya.”
“Mungkin kita keliru dan ia benar? Mungkin saatnya berontak telah tiba?”
Mary ragu sejenak, dan berkata, “Sudah lama aku tak mendengar kabar dari oranagtuaku. Aku ingin menemui mereka. Setlah itu...”
“Tetaplah bersama kami sampai besok supaya Maryam dapat mengucapkan selamat berpisah kepadamu. Akan kupinjamkan keretaku...”
Mary ingin membantah. Rachel meletakkan ujung jarinya di bibir gadis itu.
“Tidak, biarkan aku membantumu. Di jalan tidak aman untuk seorang gadis yang sendirian.”[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar