Kamis, 07 Juli 2011

Virgin Mary: Perawan Suci Maryam

8

Malam sangat kelam. Hanya suara jangkrik tak henti-henti memecah kesunyian di sekitar tempat tinggal Yusuf.

Fajar akan segera menyingsing.

Karena tak dapat memejamkan mata, Mary bangkit dari pembaringannya. Ia menunggu dengan was-was sinar mentari pagi, berharap kegelapan yang menyelimutinya takkan pernah tersibak.

Ia tak sanggup membendung ingatannya akan kata-kata yang meluncur begitu saja di hadapan para tamu Yusuf dan ayahnya kemarin. Rasa malu terhadap ayahnya masih mengental. Juga terhadap Barabbas. Ia ingin mengejar pemuda itu dan meminta maaf kepadanya.

Mengapa ia begitu penuh keangkuhan? Mary mengagumi pemuda itu dan ia akan selalu dikenang atas keberhasilan yang telah dicapainya. Tuhan tahu ia tak berniat menyakiti hati Barabbas. Namun ia pergi dengan perasaan terluka, dan Abdias turut bersamanya.

Seringai Abdias sebelum mengikuti Barabbas pergi membakar hati Mary.

Yang lain telah meninggalkan rumah Yusuf dengan duka yang sama, air muka yang sama terperanjatnya. Lazarus, rabi Jonathan, Levi le Sicaire, Nikodemus dan Giora nampak jengkel ketika berpamitan.

Hanya kepada Joseph d’Arimatea yang tetap tenang. Dengan santun, ia meminta kamar tidur kepada Halwa semalam. Perjalanan dari Damas memakan waktu lama dan ia harus beristirahat sebelum kembali ke sana.

Mary tidak tahu dan tidak berani muncul pada waktu makan malam, walaupun telah dibujuk Halwa. Halwa memeluknya dengan segenap kelembutan yang ia punya. Ia mengatakan berulang-ulang bahwa Mry bertindak benar, sangat benar dengan menyampaikan kenyataan yang tak dapat di dengar orang lain.

Akan tetapi Halwa mengatakan itu karena persahabatan mereka dan keyakinannya pada Mary telah membutakannya.

Tidak! Gioralah yang berkata benar. Ia hanya seorang anak perempuan penuh keangkuhan yang mencampuri urusan orang lain. Ia mengusik mereka seperti melemparkan batu saja. Sungguh bodoh, meski ia hanya ingin menyatukan mereka.

Alangkah tak mungkin memutar ulang waktu untuk memperbaiki kesalahan.

* * *

Kini malam memudar dari kaki Nazaret. Kesegaran embun yang lembab mendinginkan tubuh Mary tanpa menggugahnya karena ia tenggelam dalam pikiran, penyesalan, dan keraguan.

Lama, ia baru mendengar langkah kaki di belakangnya. Yusuf mendekat. Ia tersenyum sambil membawa sehelai selimut yang lebar.

“Aku akan mengurus ternak, karena Barabbas tidak lagi menggembalakannya.”

Ia menatap Mary, mengangkat alis sehingga mata merahnya kentara, bibirnya gemetar. Selimut yang membungkus tubuhnya terjatuh.

“Kuharap kau tidak nekad menghabiskan sepanjang malam di sini.”

Diselimutinya kembali gadis itu sambil berkata dengan lembut, “Hangatkan dirimu, kalau tidak kau akan sakit. Angin malam berbahaya untukmu.”

“Yusuf, aku benar-benar ingin sakit,” bisik Mary seraya meaih tangan lelaki itu.

Kata-katanya terhenti.

Yusuf menggenggam tangan Mary. “Apa yang kau kehendaki? Tuhan?”

“Aku benar-benar malu... Belum pernah aku bisa bicara seperti kemarin di depan kalian semua. Ya, sungguh memalukan! Aku telah mencoreng wajah kalian juga, kau dan ayahku.”

“Kau bercanda? Malu? Tidak sama sekali. Aku diam saja karena tak pernah bisa mengungkapkan pemikiranku, terutama di depan orang seperti Giora. Aku sangat gembira mendengar perkataanmu! Bagaikan madu yang mengalir ke telingaku. Ah ya! Akhirnya kau mengatakan apa yang harus kami dengar.”

“Yusuf! Kau tak memikirkan apa yang kau ucapkan.”

“Kenapa tidak? Kami semua memikirkannya. Ayahmu, Halwa. Bahkan rahib dari Damas. Ia mengatakannya pada kami kemarin malam. Kau pasti mendengarnya jika tidak bersembunyi.”

“Tapi yang lain pergi...”

Mereka malu. Mereka terkejut sekaligus malu. Mereka sadar bahwa perkataanmu tepat. Tak ada yang dapat ditambahkan lagi. Kau sepenuhnya benar. Kami tak mampu menyatukan tekad. Messiah atau bukan, yang dapat menyatukan dan memimpin kami tidak lahir kemarin. Bagi orang-orang seperti Giora atau Nikodemus, kenyataan ini tidak mudah diterima.”

Ia berhenti sesaat dan menggeleng. “Ya...setiap orang harus mempertanyakan kesadarannya.”

“Barabbas pasti tidak berpikir demikian,” bisik Mary, bergetar.

Yusuf berseru dengan nada geli, “Barabbas! Kau mengenalnya lebih baik daripada kami. Ia ingin bertempur! Ia tidak sabar. Lagi pula, ia ingin membuatmu kagum. Siapa tahu bahwa ia tak mampu menjadi raja Israel hanya untuk menundukkanmu!”

Ironi yang diperlihatkan Yusuf berubah menjadi tawa.

Mary mengerutkan dahi, disergap keletihan, terhenyak oleh apa yang baru saja ia dengar. Benarkah yang dikatakan Yusuf? Apakah ia telah begitu ceroboh sehingga tak menyadari satu ambisi Barabbas itu?

Yusuf berkata lagi, “Sia-sia saja kau begadangmalam ini. Masuklah. Halwa akan menemanimu.”

* * *

Yusuf berkata benar.

Saat Mary tengah meneguk susu panas, Joachim datang kepadanya. Dengan mata bercahaya, ia berbisik, “Aku bangga kepadamu.”

Joseph d’Arimatea muncul dengan senyum di bibir. Dalam kehangatan sikapnya, terpancar perhatian dan keseriusan.

“Joachim meyakinkanku bahwa putrinya istimewa. Aku percaya ia tidak membual dan seorang ayah pasti punya alasan untuk bangga.”

Mary mengalihkan pandangan karena malu.

“Aku sama dengan anak perempuan lainnya. Hanya karakterku lebih buruk. Tak perlu menganggap serius perkataanku kemarin. Seharusnya aku diam saja. Selain itu, aku sendiri tak tahu dari mana pikiran itu datang. Mungkin karena Giora membuatku jengkel, atau karena Barabbas...”

Kalimatnya menggantung. Ketiga pria di hadapannya dan Halwa tertawa.

“Ayahmu bilang kau sudah belajar menulis dan membaca di Nazaret,” ujar Joseph d’Arimatea.

“Ya, sedikit.”

“Senangkah kau jika dapat menghabiskan waktu bersama rekan-rekan wanitaku di Magdala? Di sana kau dapat belajar lebih banyak.”

“Belajar? Tapi... apa yang akan kupelajari?”

“Membaca karya-karya Yunani dan Romawi. Buku-buku yang memperkaya wawasan, seperti Taurat, tapi dengan cara yang berbeda.”

“Aku anak perempuan!” seru Mary, tidak mempercayai pendengarannya. “Seorang anak perempuan tidak boleh belajar dari buku.”

Jawabannya sangat menyenangkan Joseph, namun tidak demikian dengan Joachim. Ia mengomel bahwa jika Mary mulai berbicara seperti Hannah, ia mempermalukannya untuk seterusnya.

“Pemikiran seorang wanita terkadang lebih baik daripada pendapat banyak pria,” kata sang rahib dari Damas. “Wanita-wanita Magdala sama denganmu. Semakin ingin menjadi cerdas, mereka haus akan pengetahuan dan menggunakan cara berpikir mereka.”

“Dan kau harus memikirkan hari-hari mendatang,” sela Joachim. “Kita tidak dapat pulang ke Nazaret lama sekali.”

Mary rau-ragu, memandang anak-anak yang menarik pakaian sahabatnya.

“Di sini, Halwa memerlukanku. Ini bukan saatnya meninggalkan dia sendirian.

Halwa hendak membuka mulut, ketika di luar terdengar teriakan. Mereka mengenali suara Abdias sebelum anak lelaki itu muncul di ambang pintu.

“Habis sudah!” seru pemuda Am-haretz itu, tersengal-sengal. “Mereka ada di Nazaret!”

“Siapa?”

“Tentara Herodes, tentu saja! Barabbas benar. Kali ini mereka mencari Anda, Pak Joachim!”

Sesaat kebingungan melanda mereka. Abdias dipaksa bicara. Ia bercerita sejak saat ia tidur di bawah ranting-ranting akasia yang merunduk di jalan kota bersama Barabbas dan teman-temannya. Kegaduhan pasukan membuatnya terbangun. Satu armada Roma yang diikuti barisan tentara menuju Nazaret. Mereka melintas dini hari dan masih membawa obor yang menerangi jalan di malam hari. Keledai-keledai mengikuti mereka, menarik pedati yang dipenuhi kayu bakar dan tempayan berisi minyak.

“Kayu bakar dan minyak!” seru Joseph d’Arimatea. “Untuk apa?”

“Untuk membakar desa,” jawab Joachim dengan suara datar.

“Bukan desa,” ralat Abdias sambil menggeleng. “Rumah dan bengkel kerja Anda.”

“Ah! Kau yakin?”

“Barabbas meminta kami membangunkan penduduk agar orang Roma tidak mengejutkan mereka dalam keadaan mengantuk. Tetapi ketika serdadu-serdadu itu datang, mereka langsung mengarah ke rumah Anda.”

“Ya Tuhanku!”

Yusuf menekan pundak sahabatnya. Joachim melepaskan diri, memburu ke luar. Abdias menahannya, “Tunggu! Jangan bertindak bodoh, Pak Joachim, atau Anda akan tertangkap.”

“Istriku di rumah. Mereka akan menyiksanya!” hardik Joachim sambil mendorong anak lelaki itu.

“Sudah kukatakan jangan bertindak gegabah,” tegas Abdias, tetap menghalangi langkah Joachim.

“Aku akan ke sana,” ujar Yusuf. “Tak akan apa-apa.”

“Jadi akhirnya kalian mau mendengarkanku?” seru Abdias. “Istri Anda takkan diusik, Pak Joachim. Ia dalam perjalanan bersama teman-temanku! Kami menjemputnya ke rumah dan aku berlari kemari memberitahukan Anda. Juga agar tidak mendengar teriakannya. Telingaku pekak karena ia terus bilang tak percaya apa yang kukatakan.”

Abdias tersenyum menyindir.

“Di mana Barabbas?” tanya Mary. “Jika tetap di desa, ia pun bisa ditangkap.

Abdias mengangguk sambil berusaha tak memandang gadis itu.

“Tidak… Dia… dia tidak kemari bersama kami. Katanya kau tak membutuhkan dia lagi. Sekarang ia terlalu jauh dari Safuria.”

Hening sejenak. Joachim berkata lirih dengan wajah pucat, “Tamatlah riwayatku. Aku tak punya rumah atau perkakas lagi.”

“Kita tak dapat berbuat apa-apa soal itu,” bisik Abdias. “Barabbas sudah menduga bahwa tentara akan datang cepat atau lambat.”

“Dan Lysanias?” mendadak Yusuf bertanya.

“Orang tua aneh yang bekerja dengan kalian? Ia masih hidup. Semula ia tak mau meninggalkan bengkel. Teriakannya bahkan lebih keras daripada istri Pak Joachim. Para tetangga sampai kesal menyuruhnya diam.”

“Kita tidak boleh berada di sini,” ujar Joseph d’Arimatea.

“Tentu saja,” Abdias membenarkan. “Tentara akan terus memeriksa setiap sudut. Itulah yang membuat penduduk ketakutan.”

Kalian dapat bersembunyi di bengkel,” ujar Yusuf.

“Tidak. Kau sudah cukup menanggung risiko,” tandas Joachim sambil mendekati ambang pintu. “Joseph d’Arimatea benar. Begitu Hannah sampai di sini, kami akan berangkat ke Yozpat. Sepupuku, rabi Zacharias, akan menampung kami.”

“Aku dan teman-teman akan mengantar Anda berdua ke sana, Pak Joachim.”

Sambil menunggu kedatangan Hannah di tepi jalan, Joachim meraih pundak Abdias dengan kehangatan seorang ayah. Emosi mengaburkan pandangan Mary. Di sebelahnya, Joseph d’Arimatea berkata lembut, “Orangtuamu aman, Mary. Kusarankan kau ikut denganku ke Magdala.”[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar