Senin, 04 Juli 2011

Virgin Mary: Perawan Suci Maryam

1

Seruan anak-anak memecah keheningan kala matahari belum lagi terbit.

“Mereka datang! Meraka datang!”

Di bengkelnya, Joachim sudah mulai bekerja. Ia saling memandang dengan pembantunya, Lysanias. Mereka tidak terusik oleh kegaduhan itu. Dengan tetap penuh semangat, keduanya mengangkat balok kayu cedre[4] dan meletakkannya di atas meja kerja.

Lysanias mengurut pinggang denga tangan gemetar. Lelaki tua itu tak sanggup melakukan pekerjaan berat. Saking lanjut usianya, tak seorang pun ingat tanggal lahirnya di sebuah desa nun jauh di Samaria. Begitu juga dirinya sendiri.

Namun Lysanias senantiasa membantu Joachim. Lelaki itu tak pernah berpikir untuk mengganti si orang tua dengan pekerja muda yang belum berpengalaman.

Bagaikan seorang ayah, Lysanias telah mengajarinya cara bertukang. Berdua merek telah membangun lebih dari seratus rumah di desa-desa sekitar Nazaret. Kemahiran itu membuat mereka kerap mendapatkan tawaran pekerjaan sampai ke Safuria.

Terdengar langkah kaki di lorong sementara lengkingan anak-anak bergaung di pelosok desa itu. Hannah berhenti di ambang pintu bengkel. Di bawah cahaya mentari pagi, bayangannya menggelincir ke lantai. Kemudian ia berkata, “Orang-orang itu telah tiba.”

Hannah tahu tak ada gunanya menyampaikan hal itu, namun ia perlu mengutarakan kegelisahan dan kecemasannya.

“Aku sudah dengar,” Joachim menghembuskan nafas keras-keras.

Mereka tak perlu berkomentar lagi. Semua penduduk desa tahu apa yang terjadi. Para petugas pajak Sanhadurim[5] datang ke Nazaret.

Sudah berhari-hari para petugas itu menjelajahi Galilea, mendatangi desa demi desa. Berita kedatangan mereka tersiar cepat seperti rumor wabah campak. Setiap kali mereka meninggalkan satu dukuh, kabarnya terdengar kian mengerikan. Semua tahu bahwa mereka menggasak segala yang ditemukan dalam perjalanan, bagaikan sekawanan belalang yang menyerbu kerajaan Mesir tatkala Yahweh[6] murka.

Si tua Lysanias duduk di atas gelondongan kayu sambil menggeleng-geleng. “Kita tak boleh lagi bertekuk lutut pada bangsat-bangsat itu! Biarkan Tuhan memutuskan siapa yang ingin Dia azab, mereka atau kita.”

Joachim mengangkat tangan ke dagu, menggaruk-garuk jenggotnya yang tak seberapa panjang. Menjelang petang, penduduk desa itu mengadakan pertemuan.

Mereka menyemburkan amarah. Seperti halnya Lysanias, banyak yang tak ingin lagi menyerahkan upeti kepada petugas pajak. Baik gandum, uang, maupun barang. Semua ingin menunjukkan tangan kosong mereka dan berseru, “Pergilah kalian dari sini!” Tetapi Joachim mengakui bahwa semua itu, tak lebih dari isapan jempol dan khayalan orang-orang yang merana karena tertekan. Bayangan itu akan lenyap dan keberanian akan runtuh dalam sekejap saat mereka harus menghadapi kenyataan.

Para petugas pajak selalu dikawal tentara bayaran Herodes ketika mengeruk kekayaan warga desa. Di hadapan mereka yang memegang tombak dan pedang, memperlihatkan tangan kosong berarti meletupkan kemarahan. Hal itu tidak menguntungkan karena akan berakhir dengan pembantaian atau membuktikan ketidakberdayaan dan harga diri yang terinjak.

Anak-anak warga sekitar berhenti di depan bengkel, mengelilingi Hannah dengan mata berkilat-kilat cemas.
“Orang-orang itu berada di rumah Nenek Hulda!” mereka berkata.

Lysanias bangkit, mulutnya bergetar. “Apa yang akan mereka ambil dari rumah Hulda? Ia sama sekali tak punya apa-apa!”

Semua orang di Nazaret tahu bahwa Hulda merupakan teman dekat Lysanias. Kalau saja adat tidak melarang pria Samaria menikahi wanita Galia, atau bahkan hidup seatap dengannya, mereka tentu telah menjadi pasangan sejak lama.

Joachim berdiri, mengencangkan kelepak tuniknya dalam ikat pinggang dengan hati-hati.

“Aku akan ke sana. Kau di sini saja bersama Hannah,” ujarnya kepada Lysanias.

Hannah dan anak-anaknya memberi jalan. Joachim sudah hampir berangkat tatkala suara jernih Mary berkumandang.

“Aku ikut denganmu, Ayah.”

Hannah spontan memrotes bahwa ini bukan urusan seorang anak perempuan. Joachim membenarkan, namun sia-sia. Mary sudah bertekad. Putrinya memang berbeda dengan yang lain. Ia cenderung lebih kuat dan lebih matang, juga berani dan memiliki hasrat memberontak.

Sebenarnya, kehadiran Mary selalu membuat Joachim gembira dan Hannah melihat hal itu sehingga langsung menggodanya.

“Kau sungguh ayah yang mengasihi anak perempuanmu. Bila benar begitu, tak akan ada masalah, bukan?”
Joachim tersenyum pada Mary dan memberi isyarat untuk berjalan di sebelahnya.

***

Rumah Hulda terletak paling depan sehingga semua orang pasti melewatinya jika hendak menuju Nazaret melalui jalan Safuria. Sebagian besar penduduk desa sudah bergegas ke sana ketika Mary dan Joachim tiba.
Sekitar dua puluh orang tentara bayaran berbusana tunik dari kulit menjaga kuda para petugas pajak dan pedati-pedati yang ditambatkan pada bagal, agak menurun dari jalan. Joachim menghitung, semuanya berjumlah empat pedati. Orang-orang bengis dari Sanhadurim itu bermimpi jika mereka bermaksud memenuhi pedati tersebut.

Kelompok tentara bayaran lainnya, yang dikawal seorang prajurit Roma, membentuk barisan di depan rumah Hulda. Dengan ekspresi tidak acuh, mereka memegang erat sebilah tombak atau pedang.
Saat itu, Joachim dan Mary tidak melihat para petugas pajak. Mereka berada dalam rumah yang kecil tersebut.

Mendadak terdengar suara Hulda. Suara paraunya yang memelas membahana. Sebuah kerumunan mendekati ambang pintu rumah kecil itu, dan terlihatlah apa yang terjadi.

Ada tiga orang di sana, menyeringai dan menebarkan pandangan angkuh seakan mereka merupakan penguasa semua benda dan makhluk hidup. Tunik hitam mereka menyapu tanah. Kerudung linen hitam menyelubungi kepala mereka dan di satu sisi hanya menampakkan janggut berwarna kelam.

Joachim menggertakkan rahangnya kuat-kuat. Jelas benar bahwa amarahnya menggelegak, disertai rasa terhina dan keinginan untuk melenyapkan nyawa seseorang.

Semoga Tuhan mengampuni kalian, bajingan! Kalian tak ubahnya burung nasar yang memangsa makhluk yang tak berdaya.

Mary memahami perasaan ayahnya. Gadis itu menggapai pergelangan tangan Joachim dan merangkulnya kuat-kuat. Ia berusaha melunakkan rengkuhan, namun tahu bahwa ayahnya membutuhkan dukungan.
Sekali lagi, Hulda menjerit. Ia menghiba, tangannya yang berjari melengkung terulur ke muka.Sanggulnya terburai. Helaian rambut putih menutupi separuh wajahnya. Ia berusaha mencengkeram tunik salah satu petugas pajak seraya berseru terbata-bata, “Jangan! Jangan!”

Lelaki itu melepaskan diri. Didorongnya Hulda sambil mencibir muak. Dua pria yang lain membantunya.

Mereka mencengkeram pundak Hulda tanpa mengindahkan kerapuhan perempuan itu.

Baik Mary maupun Joachim belum mengetahui penyebab jeritan Hulda. Kemudian salah seorang petugas pajak melangkah keluar. Saat itulah semua melihat si petugas mendekap sebuah tempat lilin, terbungkus kelepak tuniknya yang hitam pekat.

Sebuah tempat lilin perunggu berhiaskan bunga amandier yang bahkan lebih tua usianya daripada Hulda sendiri. Barang itu merupakan warisan leluhurnya. Sebuah tempat lilin Hanukah yang sangat kuno, sampai-sampai ia menceritakan bahwa anak-anak lelaki Yehuda Makabe pernah memilikinya dan menyalakan lilin untuk merayakan keajaiban penerang abadi. Tentu barang itu satu-satunya milik Hulda yang berharga. Semua penduduk desa tahu persis kekerasan hati Hulda agar tetap memilikinya. Sudah berkali-kali ia mempertahankan tempat lilin itu meski telah ditawar dengan beberapa batang emas.

Melihat benda itu di tangan petugas pajak, orang-orang melontarkan protes. “Di rumah orang Galilea dan Israel, tempat lilin Hanukah sama agungnya dengan keberadaan Yahweh. Bagaimana mungkin para abdi kuil Yerusalem mampu merampas cahaya dari sebuah rumah?”

Mendengar gerutuan itu, si prajurit Roma meneriakkan perintah. Para tentara bayaran menghunus tombak mereka dan merapatkan barisan.

Hulda meneriakkan lagi beberapa kalimat yang sukar dimengerti. Salah satu lelaki jahat itu berbalik dan mengangkat tangannya yang terkepal. Serta-merta, ia meninju wajah Hulda. Pukulannya membuat tubuh ringkih wanita tua itu membentur ke dinding rumah. Sebelum roboh ke lantai di ambang pintu, Hulda berdebum pelan seolah-olah bobotnya seringan bulu.

Teriakan orang-orang yang marah kian keras. Para serdadu mundur selangkah, akan tetapi ujung tombak dan pedang mereka menusuk dada para penduduk yang berdiri paling depan.

Mary melepaskan lengan ayahnya. Tepat di sebelah Joachim, ia memekikkan nama Hulda. Batang besi sebuah tombak hampir menyentuh lehernya. Joachim melihat mata menyeramkan seorang tentara bayaran yang memegang tombak itu.

Joachim menduga bahwa orang itu akan memukul Mary. Meski berusaha berpikir jernih dan mengendalikan emosi sejak tadi, ia tidak tahan menyaksikan perbuatan memalukan antek-antek Sanhadurim yang menhajar Hulda. Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa Mengampuninya. Ia takkan membiarkan seorang tentara barbar Herodes membunuh anak perempuannya. Kemarahan dan keberanian merayapi hati Joachim sehingga ia siap menerima risiko apa pun.

Si tentara bayaran mundur, siap menghantam. Joachim menjatuhkan diri ke muka. Dengan ujung jari, ia membelokkan arah tombak sebelum menancap di dada Mary. Batang besi itu mengenai pundak seorang pemuda di sebelahnya dengan cukup kuat sampai ia terjatuh ke tanah. Tetapi Joachim berhasil merenggut senjata itu dari tangan si tentara bayaran. Dengan kepalan tangannya yang bebas dan sama kokohnya dengan kayuyang digarapnya setiap hari, ia meninju dada serdadu itu.

Leher si tentara bayaran patah dan nafasnya terputus. Matanya melotot kesakitan.

Joachim mendorong tubuh tentara itu. Dari sudut mata, ia melihat Mary tengah membantu pemuda di dekatnya tadi untuk berdiri. Mereka dikelilingi orang-orang desa yang mencaci-maki si tentara bayaran karena tidak menyadari bahwa salah satu musuh mereka mati.

Dengan tombak di tangan, Joachim meloncat spontan ke hadapan para petugas pajak. Sementara orang-orang menyorakinya, ia mengarahkan ujung tombak ke perut petugas pajak yang membawa tempat lilin.

“Kembalikan barang itu!” serunya.

Si petugas pajak terhenyak dan bergeming. Mungkin ia bahkan tidak memahami apa yang dikatakan Joachim. Dengan paras pucat, ia mundur. Tempat lilin Hulda masih dipegangnya, Tetapi orang yang ketakutan itu bergabung dengan para petugas pajak lain seakan ingin menghilang dalam rapatnya barisan mereka.

Di lantai, Hulda tidak bergerak lagi. Darah mengalir dari sebelah pelipisnya, memerahkan rambutnya yang putih. Di antara teriakan dan lengkingan marah orang desa, Joachim mendengar pekikan Mary, “Ayah, awas!”

Tentara, yang tadi menjaga pedati, maju dengan pedang teracung. Joachim sadar bahwa telah melakukan kesalahan fatal dan hukumannya sangat berat.

Pikiran tentang Yahweh melintas dibenaknya. Bila Tuhan yang Maha Kuasa adalah raja keadilan seperti yang selama ini dikatakan orang, maka ia akan mengampuninya.

Joachim menusukkan tombaknya kuat-kuat. Ia terkejut tatkala batang besi itu menusuk bahu kokoh lawannya dengan mudah.

Orang itu menjerit kesakitan. Akhirnya ia melepaskan tempat lilin, yang terbanting ke tanah dengan bunyi dentingan nyaring.

Sebelum tentara itu jatuh menimpanya, Joachim membuang tombaknya ke tanah, mengambil tempat lilin itu dan berlutut di dekat Hulda. Ia lega tatkala mengetahui bahwa wanita itu hanya pingsan. Ditopangnya pundak Hulda dengan sebelah bahu, lalu ditaruhnya tempat lilin tadi ke dalam dekapan perempuan tua itu.

Kemudian suasana mencekam. Tak ada teriakan, pekikan atau makian. Hanya tubuh besar tentara yang terluka tadi menggelepar-gelepar.

Joachim mendongak. Sekitar sepuluh ujung tombak dan pedang terarah kepadanya. Wajah tentara bayaran tak lagi nampak acuh tak acuh. Kini kemurkaan yang arogan terlihat di sana.

Kira-kira sepuluh langkah ke arah jalan, para penduduk Nazaret dan Mary tak berkutik di bawah ancaman tombak.

Kesunyian dan ketegangan berlangsung sejenak, lalu terjadilah suatu kericuhan.

Joachim diseret, dibanting ke tanah dan dihajar. Mary dan penduduk desa hiruk pikuk. Tentara-tentara bayaran mendorong mereka, melukai dada, paha atau bahu orang-orang yang mencoba melawan. Prajurit yang memimpin pasukan meneriakkan kode perintah.

Para tentara bayaran memapah teman mereka yang luka dan menaikkannya ke atas kuda, kemudian mengikat tangan dan kaki Joachim. Ia dilemparkan begitu saja ke dasar pedati yang segera bergerak meninggalkan desa itu. Di sebelahnya tergeletak mayat petugas pajak yang dibinasakannya tadi. Setelah cambuk dilecutkan dan kuda meringkik, pedati lainnya mengikuti dengan cepat.

Setelah kuda dan tentara-tentara itu menghilang dalam kegelapan hutan, kesunyian kembali melingkupi Nazaret.

Mary terpaku. Memikirkan ayahnya tergeletak dan diserahkan ke tangan para tentara di Kuil membuat dadanya sesak. Meski semua warga desa menemaninya, ia merasa sangat risau. Ia merenungkan perkataan yang harus disampaikan pada ibunya.

***

"Seharusnya aku pergi bersamanya,” bisik Lysanias sambil terus bergoyang-goyang di atas bangku. “Aku diam di bengkel seperti ayam penakut. Akulah yang harus menolong Hulda, bukan Joachim.”

Para tetangga yang berada dalam ruangan dan berdiri di ambang pintu mendengarkan desahan orang Samaria tua itu tanpa berkomentar. Berulang kali mereka mengatakan bahwa ia tak dapat berbuat apa-apa. Lysanias tidak mampu menyingkirkan keresahan dari otaknya. Seperti Mary, ia menyangsikan Joachim akan kembali ke sisinya lagi untuk seterusnya.

Hannah terdiam, duduk dengan kaku. Jemarinya memilin-milin kelepak tunik dengan perasaan kacau.
Mata Mary sembab. Jantungnya bergdegup kencang menyaksikan Hannah berdiam diri. Kesedihan tanpa kata-kata yang membelenggu ibunya telah menyiksa batin gadis itu.

Ia tidak mampu mengucapkan perkataan lembut untuk menghibur ibunya. Wanita tetangga mereka pun tidak ada yang merangkul Hannah. Istri Joachim tidak mudah didekati orang.

Sekarang bukan lagi waktu untuk melontarkan kata-kata kasar dan amarah. Yang ada hanya rasa sakit dan kesadaran akan ketidakberdayaan.

Dengan mata tertutup, Mary melihat kembali peristiwa menyedihkan itu. Tubuh ayahnya meringkuk, terkapar dan dilemparkan seperti barang ke dalam pedati.

Ia bertanya terus-menerus, “Di mana Ayah sekarang? Apa yang mereka lakukan terhadapnya?”
Bagi Mary, Lysanias tidak bersalah atas kejadian ini. Joachim membelanya. Karena dirinyalah ia akan menjadi korban kebengisan para petugas pajak di kuil.

“Kita takkan melihatnya lagi. Anggap saja ayahmu sudah mati.”

Suara nyaring Hannah memecah kesunyian dan mengejutkan yang lain. Tak ada yang menyanggah. Semua sependapat dengannya.

Joachim telah membunuh seorang serdadu dan melukai seorang petugas pajak. Semua orang tahu apa ganjarannya. Apabila tentara-tentara bayaran itu tidak membunuhnya atau menyalibnya di tempat, semata terpaksa karena mereka harus melindungi para kaki tangan Sanhadurim.

Jelaslah mereka akan menyiksa Joachim untuk dijadikan contoh bagi para pembangkang. Bentuk hukumannya sudah dapat mereka bayangkan. Penyaliban sampai orang bersangkutan mati karena kelaparan, dahaga, kedinginan dan dijemur terus-menerus. Penderitaan yang bisa berlangsung hingga berhari-hari.

Mary menggigit bibirnya menahan tangis yang menyesakkan. Dengan suara tegas ia berkata, “Paling tidak, kita harus mengetahui ke mana mereka membawa ayahku.”

“Safuria,” kata seorang tetangga. “Pasti ke Safuria.”

“Tidak!” bantah yang lain. “Mereka tidak lagi memenjarakan orang di Safuria. Orang-orang itu terlalu takut pada kawanan Barabbas yang telah mereka kejar sepanjang musim dingin tapi tak pernah berhasil mereka tangkap. Kabarnya, sudah dua kali Barabbas berhasil merampok pedati para petugas pajak. Mereka pasti membawa Joachim ke Tiberias. Di sana, tak ada tahanan yang dapat melarikan diri.”

“Mungkin mereka membawanya ke Yerusalem,” sela seorang tetangga lain. “Menyalibnya di depan Kuil untuk memperlihatkan sekali lagi kepada semua orang Yahudi, betapa barbarnya kita di Galilea!”

“Cara terbaik untuk mengetahuinya adalah mengikuti mereka,” kata Lysanias sambil bangkit dari bangkunya.

“Aku akan berangkat.”

Orang-orang merasa keberatan. Ia terlalu renta, terlalu lelah untuk mengintai para tentara itu. Lysanias meyakinkan dengan tegas supaya mereka tidak meremehkan seorang lelaki tua dan bahwa ia masih cukup gesit untuk segera kembali ke Nazaret.

“Lalu?” tanya Hannah dengan suara tertahan. “Setelah mengetahui di mana suamiku berada, apa gunanya bagimu? Apakah kau akan melihatnya disalib? Aku tak akan pergi ke sana. Daripada melihat Joachim menjadi santapan burung-burung bangkai, lebih baik aku tetap di sini dan mengurus keluarga kami!”

Terdengar beberapa orang memrotes. Tidak terlalu keras, karena tak ada yang tahu apa yang baik atau buruk untuk dilakukan. Akan tetapi Lysanias bergumam, “Kalau aku tak boleh pergi, harus ada yang mengikuti mereka. Kita harus tahu ke mana Joachim dibawa.”

Setelah perbincangan yang berbelit-belit, dua gembala muda ditunjuk untuk segera berangkat. Mereka menghindari jalur ke Safuria dan mengambil jalan pintas melalui hutan.

***

Perjalanan dua orang itu tetap menggelisahkan. Bahkan, Nazaret menjadi tak ubahnya jambangan yang pecah.

Sinagog penuh sesak. Pria dan wanita berdatangan, lebih bersemangat dari biasanya. Mereka bercakap-cakap setelah membaca doa yang panjang dan sangat memperhatikan petuah-petuah rabi.

“Tuhan telah memperhatikan nasib Joachim,” demikian rabi itu menyatakan. “Seorang lelaki mati terbunuh, demikian pula tentara upahan Herodes. Keadaan ini harus diterima karena hanya Tuhan yang mengetahui dan membimbing kita hingga datangnya Messiah.”

Ia meyakinkan bahwa masyarakat tidak perlu memperhatikan Joachim. Perbuatan lelaki itu membahayakan hidupnya sendiri serta akan menjadikan desa Nazaret sepenuhnya dinyatakan bersalah oleh Roma dan Sanhadurim. Banyak yang akan meminta mereka dihukum. Dan para tentara bayaran Herodes, para kafir tak beragam dan tak bermoral, tentu sangat ingin membalas dendam.

“Kita harus menunggu hingga hari gelap,” sang rabi memperkirakan. “Saat tiba waktunya, pasrah terhadap hukuman yang ditimpakan pada Joachim adalah tindakan paling bijaksana. Mari menguraikan doa panjang agar Yang Maha Kekal mengampuninya.”

Saran-saran ini berhasil melipur kegundahan. Beberapa orang menganggapnya sangat masuk akal. Yang lain sadar bahwa pada malam itu kemarahan mengakibatkan hasrat melawan dalam diri mereka. Joachim telah mengerahkan mereka dengan kata-kata. Kini, mereka tak tahu lagi apakah harus mengikuti jejaknya dan menunjukkan keberanian serta amarah mereka. Sebagian besar bingung mendengar perbincangan di sinagog. Bagaimana membedakan yang baik dan buruk?

Lysanias sangat gusar mendengar semua itu. Ia menyatakan dengan terang-terangan bahwa akhirnya ia bahagia menjadi orang Samaria, bukan Galilea.

“Kalian sungguh menyedihkan,” katanya pada orang-orang yang mengerumuni rabi, “tak berdaya dan membiarkan saja nasib malang orang yang membela wanita tua dari tindasan petugas pajak.”

Dengan penuh keyakinan bahwa tak satu aturan pun dapat mencegahnya, ia pergi ke rumah Hulda. Pinggul wanita itu sakit hingga ia tak mampu lagi turun dari pembaringan.

Mary menyimak dan bungkam. Ia mengakui adanya kebenaran dalam perkataan sang rabi. Meski demikian, ada yang sukar diterimanya. Bukan saja kata-kata itu membenarkan semua penderitaan yang ditimpakan antek-antek Herodes atas ayahnya, namun di sisi lain menerima bahwa Yang Maha Kuasa tidak berlaku adil terhadap orang yang menegakkan kebenaran. Bagaimana hal itu bisa terjadi?

***

Sebelum senja, para penggembala kembali dengan nafas terengah-engah. Kelompok orang-orang bengis dari Kuil mampir di Safuria hanya untuk mengobati luka-luka si petugas pajak.

“Apakah kalian melihat ayahku?” tanya Mary.

“Tidak bisa. Kami berdiam agak jauh. Para tentara itu sungguh ganas. Tapi jelas-jelas mereka tetap dalam pedati karena kantuk yang sangat hebat dan rasa haus yang tertahankan. Orang-orang Safuria pun tidak bisa mendekat. Tak ada gunanya bertanya sebab aku berani jamin mereka pun tak tahu.”

Hannah bergerak. Ia membisikkan nama Joachim berkali-kali, sementara semua mengusap wajah.

“Kemudian, mereka membaringkan petugas pajak yang luka dalam pedati lain dan pergi beriring-iringan ke luar kota. Ke arah Kana,“ para penggembala meyakinkan.

“Mereka pergi ke Tiberias!” seorang tetangga berseru. “Kalau hendak ke Yerusalem, mereka akan melewati Tabor.”

Tempat yang dihindari semua orang.

Kesunyian mendadak menyergap.

Kini, ucapan Hannah membuat mereka menoleh.”apa gunanya mengetahui bahwa Joachim dibawa ke perbatasan Tiberias?”

 “Paling tidak,“ bisik tetangga, menanggapi dugaan semua orang, “itu berarti ia takkan langsung disalib.”

“Besok atau lusa, apa bedanya?” gerutu Lysanias. “Joachim akan menderita lebih lama, itu yang jelas.”

Semua orang membayangkan benteng itu. Sebuah bangunan sangat besar terbuat dari batu yang didirikan pada zaman pemerintahan Raja Daud, tetapi telah diperbesar dan diperkuat oleh Herodes. Bangunan itu dapat dianggap mempertahankan Israel dari orang-orang Nabatea, musuh dari padang pasir di sebelah timur.

Namun faktanya, sejak lama benteng itu digunakan untuk menawan ratusan orang tak bersalah, baik yang kaya maupun yang miskin, yang cendekia maupun buta huruf. Pendek kata, siapapun yang melawan raja.

Kabar burung, kebencian, atau sebuah aksi pembalasan dendam yang sepele sekali pun cukup untuk membuat orang membusuk di sana. Sangat sering terdengar bahwa pesakitan tak bisa kabur dari benteng tersebut. Kalau pun bisa, ia pasti akan terjebak dalam hutan lebat yang mengitarinya.

Jelaslah bahwa orang tak ingin mendatangi Tiberias walaupun tempatnya sangat indah, terutama di sepanjang danau Gennesaret[7] . Tidak ada yang dapat meloloskan diri bila sudah terlihat oleh orang-orang jahat itu.

Banyak yang meyakini bahwa pada malam hari gemeretak gigi mereka terdengar hingga ke permukaan air seperti lengkingan dari neraka. Hal yang merindingkan bulu kuduk. Bahkan para nelayan pun tak berani mendekat karena sungai dekat benteng tersohor sangat beracun dibandingkan sungai-sungai lainnya.

Tetapi tatkala rasa takut mencekam banyak orang, Mary menyatakan dengan mantap, “Aku akan pergi ke Tiberias. Takkan kubiarkan Ayah membusuk di benteng itu.”

Yang lain terperanjat. Lontaran protes membuyarkan keheningan yang sempat berlangsung beberapa saat sebelumnya.

“Kau nekad, Mary. Jangan terhanyut dalam kerisauan. Bagaimana caramu menyelamatkan Joachim dari penjara Tiberias? Jangan lupa, kau hanya seorang anak perempuan. Kau bahkan masih terlalu muda untuk menikah. Mungkin Joachim bisa menganggapmu sebagai wanita yang dewasa dan bijaksana, tapi kau tetap hanya seorang gadis cilik. Bukan pembuat keajaiban.”

“Aku tidak berencana pergi sendiri ke Tiberias,” Mary meneruskan setelah suasana tenang. “Aku akan minta pertolongan Barabbas.”

“Barabbas si pencuri?”

Sekali lagi protes membahana.

Setelah saling pandang dengan Mary, Halwa, istri Yusuf, kawan Joachim sesama tukang kayu, menengahi kebisingan. “Di Safuria, kudengar ia tidak merampok untuk dirinya sendiri tetapi memberikannya pada orang-orang yang papa. Menurut kabar, perilakunya baik dan ia hanya mencuri dari orang-orang yang layak dirampok.”

Orang-orang menyergah dengan keras. “Bagaimana mungkin ada pendapat seperti itu. Seorang pencuri tetap saja pencuri.”

“Nyatanya, berandal-berandal penyamun itulah yang menyebabkan kaki tangan Herodes datang ke desa kita seperti lalat mengerubungi luka!”

Mary mengangkat bahu.

“Kalau begitu Anda semua juga berpikir bahwa ayahku akan menyebabkan para serdadu itu melampiaskan dendam pada warga Nazaret!” tukasnya keras. “Yang jelas, selama ini mereka tak pernah mampu membekuk Barabbas. Dialah yang dapat menyelamatkan ayahku.”

Lysanias menggelengkan kepala.

“Untuk apa ia melakukannya? Kita tidak punya emas untuk mengupahnya!”

“Ia pasti bersedia karena berhutang budi kepadaku.”

Semua orang terbelalak memandang Mary.

“Barabbas berutang nyawa kepada kami, padaku dan Ayah. Aku yakin ia akan memenuhi permintaanku.”

***

Pembicaraan ngalor-ngidul tak karuan berkelanjutan hingga larut malam.

Hannah tidak ingin mengizinkan anaknya pergi. “Apakah kau tega meninggalkan ibumu seorang diri? Jelas-jelas ayahmu telah disalib dan mati. Kau akan diculik oleh para penyamun atau ditangkap tentara sewaan Herodes. Dinodai, lalu dibunuh. Itulah yang akan kau alami.”

Rabi mendukung Hannah. “Karena emosi, kau melupakan jati dirimu sebagai perempuan. Tak patut seorang gadis mendatangi tempat seorang pemuda liar, pemberontak dan perompak seperti Barabbas. Apa yang akan kau peroleh? Dibunuh seketika itu juga? Ataukah membakar amarah orang Roma dan tentara upahan Raja yang kelak akan menumpahkannya kepaad kami semua?”

Mereka melontarkan ketakuata dan bayangan yang paling buruk dalam benak masing-masing. Semua mengeluh dalam ketidakberdayaan. Meskipun semua perkataan itu berlatar maksud baik dan masuk akal, Mary justru merasa sangat sebal.

Gadis itu diam-diam naik ke loteng. Dengan kesedihan menyesaki dada, ia merebahkan diri di atas balok-balok kayu yang menyelubungi gua. Gua itu dibuatkan ayahnya saat ia masih kecil dulu, kendati tak banyak berguna. Ia merapatkan mata dan air bening bergulir ke pipinya.

Mary ingin menangis sekarang. NAnti selagi tak ada yang memperhatikannya, ia akan melakukan apa yang telah dikatakannya. Ia akan meninggalkan Nazaret untuk menolong ayahnya. Jadi, tak akan ada lagi waktu untuk meneteskan airmata.

Dalam kegelapan, wajah Joachim terbayang. Lembut, pasrah dan juga garang, seperti yang dilihatnya kala sang ayah memukul serdadu bayaran itu.

Ia tak mnegenal takut untuk membela anaknya. Membela si tua Hulda, mereka semua, penduduk Nazaret. Padahal ia pria yang paling lembut hati. Ialah yang sering dimintai bantuan untuk menengahi pertengkaran antar tetangga. Joachim lelaki pemberani. Mary juga harus memiliki sifat itu. Mengapa harus menunggu esok pagi jika hanya untuk tetap pasrah terhadap yang menghina dan menumpasmu?

Matanya terbuka kembali, menatap tajam bintang-bintang untuk merasakan kehadiran Yang Maha Agung. Ah, kalau saja ia dapat bertanya apakah Ia menghendaki Joachim tetap hidup atau tidak!

Mary terlompat kala mendengar suara seseorang.

“Ini aku,” bisik Halwa. “Kukira kau tidak ada di sini.”

Ia meraih tangan Mary, menggenggam dan mengecupnya.

“Mereka ketakutan dan sedih, maka mereka tidak dapat berhenti bicara,” katanya mengomentari kegaduhan di bawah sana.

Melihat Mary masih diam, Halwa melanjutkan, “Kau akan pergi pagi-pagi sekali, bukan?”

“Ya, aku harus.”

“Kau bertindak benar. Kalau kau mau, akan kuantar ke ujung jalan dengan bagal kami.”

“Apa kata suamimu nanti?”

“Aku sudah bicara dengan Yusuf. Ia harus menunggu anak-anak, maka akulah yang mengantarmu.”

Halwa tak perlu mengatakan lebih banyak lagi. Mary tahu bahwa Yusuf menyayangi Joachim seperti ayahnya sendiri. Ia telah diajari segala hal mengenai pertukangan bahkan membangun rumahnya, yang berlokasi dua mil dari Nazaret, tempat ia lahir dulu.

Halwa meraba pikiran Mary dan tertawa lembut.

“Yang pasti, Yusuf adalah orang terakhir yang akan melwan serdadu bayaran itu! Ia begitu pemalu sehingga tak dapat menyampaikan isi hatinya!”

Ditariknya Mary lebih dekat, dituntunnya ke arah tangga keluar.

“Biar aku turun lebih dulu, supaya mereka tak melihatmu keluar. Kita langsung ke rumahku. Pakailah mantel supaya ibumu tidak curiga. Kau juga dapat beristirahat dengan tenang beberapa jam sebelum kita berangkat.”[]

Notes:
[4 ]Pohon aras

[5] Majelis undang-undang tertinggi dari kalangan Yahudi, berkedudukan di Yerusalem dan dipimpin oleh seorang pemuka agama
[6] Tuhan dalam bahasa Ibrani. 
[7] Nama yang diberikan kaum Evangelis kepada danau Tiberias

Tidak ada komentar:

Posting Komentar