Jumat, 08 Juli 2011

Virgin Mary: Perawan Suci Maryam

11

Rombongan kecil, yang meninggalkan Magdala sesaat sebelum mentari merajai angkasa, itu tak berkesempatan beristirahat. Kuda telah ditambah dan Rekab, sais Rachel, duduk di sebelah Barabbas di atas kursi kusir. Sambil bergantian mengendalikan kuda, mereka harus memacu hewan penarik kereta itu sedapat mungkin.

Tempayan berisi air dan jamu, wadah salep, cuka lemon yang sudah lembek dimasukkan ke dalam keranjang-keranjang besar yang terletak di bangku kereta. Maryam dan Rachel telah menambahkan perban bersih dan kain penggantinya. Hiruk pikuknya luar biasa, walaupun para pelayan telah menggandakan lapisan dalam kereta dengan helaian wol yang tebal sesuai instruksi Mary. Abdias berbaring di antara bantal-bantal, masih dalam keadaan tak sadarkan diri.

Mary memperhatikan wajah dan nafasnya. Secara teratur, ia merendam kain dalam air dan melap wajah pemuda Am-haretz itu dengan harapan membuatnya segar.

Tak sepatah kata pun terucap. Hanya suara roda menggilas badan jalan. Dari waktu ke waktu, Barabbas atau Rekab berseru ketika orang melewati jalan mereka.

Di jalan, di tikungan dan desa-desa yang mereka lintasi, para nelayan, petani, dan wanita-wanita yang baru mengambil air terdiam sejenk lalu bergegas ke pinggir. Mereka memandang sinis dan kaget ke arah kereta kuda itu, yang menebarkan gulungan debu melebihi badai.

Mreka pun melalui Tabgah, Kapernaum, dan Corozaïn. Sebelum malam gelap sempurna, mereka telah tiba di ujung selatan Danau Merom, untuk menyeberang ke Jordan.

Di sana, Barabbas harus berperang mulut agar para awak kapal bersedia mengangkut kereta dan kuda di bawah keremangan petang. Orang-orang menyibak tirai yang menutup bagian kereta. Setelah melihat sosok Mary yang tengah membungkuk dan tubuh Abdias yang tergeletak di antara bantal-bantl, mereka mundur ngeri mencium bau luka-lukanya. Segenggam uang yang Barabbas raih dari jmlah pemberian Rachel mengubah pikiran mereka. Dengan ongkos tiga kali lipat dari tarif biasanya, mereka menyiapkan dayung dan melepas tambang penambat.

Malam hampir pekat kala mereka sampai di tepian Trachonitide. Di sana, kavaleri Arab kerajaan Hauran memeriksa mereka dengan bantuan obor. Mereka meminta izin menyeberang.

Sekali lagi waktu terbuang untuk berdebat kusir. Kala mereka menyibak selubung kereta dan mendapati Mary dalam nyala obor, gadis itu berbalik menghadap mereka. Ia menyibak selimut yang menutupi tubuh Abdias dan berkata, “Ia akan mati jika kami terlambat sampai di Beth Zabdai.”

Anggota kavaleri itu bergantian memandang mata Mary yang berkilat-kilat, tubuh si pemuda yang penuh balutan, wajahnya yang pasi, dan menjauh.

Mereka berkata pada Barabbas dan Rekab, “Kuda kalian tak kuat lagi menempuh perjalanan. Malam ini, kalian takkan sampai ke Damas. Ada pertanian, dua mil dari sini. Mereka menyewakan kuda. Kalian bisa mengganit kuda jika punya cukup uang.”

Barabbas mengangguk lega. Anggota kavaleri itu menambah terang sisi-sisi kereta dengan obor yang menembus kegelapan pohon-pohon agave dan opuntia yang memagari jalan.

Mereka harus membangunkan para petani, memberikan penjelasan panjang lebar dan menghitung sejumlah uang. Ketika akhirnya, tali kekang dipasang di leher kuda yang baru, Rekab meletakkan obor di atas abah-abah dan lentera di sekeliling kereta. Ia membawa satu lentera ke dalam kereta dan berkata pada Mary, “Malam-malam begini, kita tak dapat bergegas lagi. Kuda-kuda bisa terluka di jalan.”

Mary hanya menjawab, “Paculah secepat yang kau bisa. Dan, yang penting, jangan berhenti lagi.”

* * *

Saat fajar merona di cakrawala, di mulut padang pasir, Damas hanya lima puluh mil lagi jauhnya. Lampu dan obor telah lama dipadamkan. Di balik abah-abah dari kulit, tubuh kuda kuyup oleh keringat.

Barabbas dan Rekab berusaha keras tetap terjaga, meskipun berkali-kali nyaris terkulai. Dalam kereta, Mary tetap duduk, otot-ototnya kaku, bergoyang-goyang sesuai guncangan.

Tatkala lampu padam, kegelapan merebak dan menyulitkannya untuk melihat wajah Abdias, Mary meraih tnganny dan menekannya ke dada pemuda itu. Hanya sesat, ia tak melepaskannya. Jemarinya yang kaku tak lagi merasakan tekanan yang biasa dialami Abdias selama koma.

Begitu menduga bahw hari telah terang, Mary menyibak tirai kereta. Angin malam yang dingin menerpa wajahnya, mengusir rasa lemah dan pengap bau busuk yang tak disadarinya.

Dengan lembut, ia melepaskan tangan Abdias dan menyeka wajahnya dengan kain basah. Sekali lagi ia merendam kain itu, ia hendak menyentuhkannya ke wajah Abdias namun segera ia tahan gerakannya dan memekik.

Mata besar pemuda itu terbuka. Ia menatap Mary. Selintas ia bertanya-tanya apakah Abdias akan hidup, tapi keraguan itu sirna. Di tengah deraan rasa sakit dan penderitannya, mata Abdias seakan tersenyum.

“Abdias! Ya Tuhan, Kau hidup! Kau hidup...”

Mary mengelus wajah pucat itu dan menyeka keringat keningnya. Sekujur tubuh pemuda itu bergetar. Ia tak cukup kuat untuk bicara atau mengangkat tangan.

Mary membasahi bibir Abdias dan memberikan minum dengan susah payah dari gelas, sementara kereta terus berguncang. Abdias memandangnya tak berkedip. Matanya melebar, warnanya tampak lebih kelam dari malam. Mata yang menunjukkan kelembutan tak berbatas.

Karena terpukau, Mary membalas tatapan pemuda itu. Ia memperhatikan kebahagiaan Abdias yang terasa ganjil. Hati dan jiwanya tidak menunjukkan rasa sakit atau amarah. Tak juga perjuangan atau penyesalan. Sebaliknya yang terlihat adalah kedamaian hidup yang asing.

Mary tak tahu berapa lama mereka saling pandang. Mungkin sekejap, atau sampai matahari terang sempurna.

Abdias mengungkapkan cinta dan kebahagiaannya berada dalam pelukan Mary. Di sisinya, Mary teringat akan pertemuan mereka di Safuria ketika ia mengantarkannya ke tempat Barabbas dan menyelamatkan Joachim. Ia merasa mendengar gelak tawanya. Abdias menceritakan hal yang ia lupakan. Rasa malu menjadi Am-haretz, ketika melihat seorang gadis seperti dirinya. Abdias mengungkapkan kebahagiaan dan harapan untuk mencapainya. Ia ingin berjuang agar Mary bangga padanya.

Mary tak boleh berduka karena berkat dirinya Abdias telah meraih kebahagiaan, yaitu berjuang agar hidup menjadi adil dan kesengsaraan berkurang. Dan ia begitu dekat dengannya. Begitu dekat sehingga ia dapat bertahan dan tak pernah meninggalkannya. Ia akan menjadi malaikat baginya, seperti yang dilakukan Yahweh Yang Maha Kuasa mengirimnya pada manusia.

Tanpa sadar Mary tersenyum ketika jantungnya bedentam ketakutan. Pandangan Abdias menyelimutinya saat hal itu terjadi. Ia menyemburkan cinta yang nyata sekaligus samar-samar, yang penuh harapan berkobar-kobar. Ia menanggapinya dengan janji atas kehidupn yang telah dijalaninya.

Kemudian sebuah guncangan yang lebih keras membuat kepala Abdias tekulai ke samping. Tatapannya meredup seperti benang yang putus. Mary tahu bahwa ia telah tiada.

Ia meneriakkan namanya keras-keras. Dengan histeris, ia melompat ke atas tubuh Abdias.

Rekab menarik kendali sekuat-kuatnya sehingga salah satu kuda nyaris lepas dari tali kekangannya. Kereta berhenti dengan suara berisik. Mary berteriak sampai tenggorokannya nyaris putus. Barabbas melompat dari bangku dan memeriksanya.

Ia melompat ke dalam kereta untuk menarik bahu Mary dan menjauhkannya dari mayat Abdias yang didekapnya seperti bantal. Mary balik mendorong Barabbas dengan lebih keras. Pemuda itu terbanting ke jalanan berbatu.

Mary memekik lebih keras, Meratapi jenazah Abdias sambil mengacungkan tubuh kaku itu ke angkasa seakan menunjukkan betapa tidak adil dan merananya kematian itu. Tapi kakinya yang kaku karena lama tak digerakkan tak bisa beranjak lagi. Karena tak kuat mengangkat Abdias, ia jatuh ke tanah. Ia diam seperti patung, sedangkan tubuh pemuda itu terguling ke sampingnya.

Barabbas bergegas mendekat dengan cemas. Mary masih histeris. Tak ada tulangnya yang patah. Tetapi saat Barabbas menyentuhnya, gadis itu kembali mendorongnya. Ia menangis meraung-raung. Airmata menggumpalkan debu yang melumuri pipinya.

Barabbas mundur, merasa hancur dan takut. Langkahnya agak timpang. Luka di pahanya terbuka. Rekab mendekat untuk menopangnya. Nafas mereka berdua tersengal, ketika Mary bangkit dan mengacungkan tinjunya ke arah Barabbas. Ia melengking seolah-olah kehilangan akal.

“Jangan sentuh aku! Jangan pernah sentuh aku lagi! Kau tak berguna. Kau bahkan tak bisa menghidupkan kembali Abdias!”

* * *

Hanya keheningan yang mengejutkan menyahut teriakan itu. Hanya desir angin di atas pasir dan semak-semak berduri yang terdengar kemudian.

Rekab menunggu sejenak, lalu mendekati tubuh Abdias dan mengangkatnya. Jenazah yang berbau itu telah dikerumuni lalat. Diiringi tatapan beku Mary, ia membaringkannya dalam kereta dan menyelimutinya dengan kelembutan seorang ayah.

Barabbas tidak berusaha membantunya. Ia meneteskan airmata, tetapi bibirnya bergetar. Sepertinya ia berusaha mengucapkan doa.

Ketika Rekab turun dari kereta, Barabbas menghadapi Mary. Gerakannya tak berdaya dan mengundang belas kasihan. Mungkin ia ingin mengangkatnya karena gadis itu tetap membungkuk di tanah, terpuruk seperti baru dipukuli orang. Namun ia tak kuasa melakukannya.

“Aku tahu apa yang kau pikirkan,” katanya keras. “Ini salahku. Abdias mati karena aku.”

Ia berbicara terlalu keras dalam suasana hening itu. Walaupun demikian Mary seolah tak mendengar. Barabbas menoleh meminta dukungan Rekab. Namun sais itu menundukkan kepala dengan tali kekang di tangannya.

Barabbas bejalan terpincang-pincang sampai ke sisi jalan dan bertumpu di situ.

“Kau menyumpahiku, tapi tombak tentaralah yang telah membunuhnya.”

Sendi-sendinya mengencang ketika ia mengepalkan tangan.

“Abdias senang berperang! Ia menyukainya. Dan ia menyayangiku seperti aku sayang padamu. Tanpa aku, ia takkan pernah menjadi pejuang. Ketika aku menerimanya, ia hanya seorang anak kecil, tak lebih dari itu.”

Ia memukul dadanya keras-keras.

“Akulah yang melepaskannya dari penghinaan Sanhadurim, sementara orang-orang baik sepertimu membiarkan orangtuanya kelaparan. Aku memberinya semua. Makanan, minuman, dan tempat berteduh. Dariku ia belajar mencuri untuk hidup dan bersembunyi. Setiap kali kami bertempur, aku selalu mengkhawatirkannya seperti saudaraku sendiri. Tapi, kami adalah pejuang. Kami tahu risiko yang harus kami tanggung dan mengapa kami melakukannya.”

Ia tertawa getir, penuh dengan duka nestapa.

“Pendapatku tak berubah. Aku tidak takut. Aku tak perlu membuka buku untuk mengetahui apakah yang kulakukan baik atau buruk. Siapa yang akan menyelamatkan Israel bil kita tak bertempur. Teman-temanmu di Magdala?”

Mary tetap tak bergeming. Tak menyimak perkataan yang dilontarkan padanya bagaikan batu.

Barabbas memperhatikan sikap acuh itu dengan terperangah namun tak berdaya. Luka menjalari parasnya. Ia berjalan beberapa langkah, timpang, dan mengacungkan lengan ke angkasa.

“Abdias! Abdias...!”

Belalang di sekitar mereka pun berhenti berbunyi. Kembali kesunyian menghinggap. Hanya desir angin yang meniup semak-semak.

“Tak ada lagi Tuhan buat kita!” teriak Barabbas. “Semua sudah berakhir. Tak perlu lagi menunggu Messiah. Kita harus perang, perang, perang! Kita harus merebut singgasana dari Roma atau akan dibantai oleh mereka.”

Akhirnya Mary mengangkat kepala. Ia memandang Barabbas dengan dingin dan tenang. Dengan gerakan kaku, ia meraup segenggam debu dan melontarkannya ke rambut sebagai tanda duka cita. Ia mengibaskan kelepak bajunya dan berdiri tersaruk-saruk.

Di dekat kuda, Rekab menoleh, khawatir gadis itu akan ambruk lagi. Tapi Mary berjalan sampai ke kereta. Sebelum naik, ia menoleh pada Barabbas. Dengan suara dingin ia berkata, “Kau bodoh dan picik. Bukan hanya Abdias yang mati karena salahmu. Juga wanita, anak-anak dan seisi desa, teman-temanmu dan teman-teman Mathias. Untuk apa? Untuk memenangkan apa? Nihil! Mati untuk kekeraskepalaanmu. Mati karena kau sombong. Mati karena Barabbas ingin menjadi raja Israel. Padahal itu takkan pernah terjadi!”

Kata-kata itu membuat Barabbas terkesiap. Namun yang menusuk hatinya ialah kesinisan dalam airmuka Mary yang dingin.

“Menyumpahiku memang mudah. Aku yang sanggup memenangkannya.”

“Kau takkan pernah menjadi yang terkuat. Kau hanya menambah kematian dan nestapa.”

“Bukankah kau yang mencariku dan memintaku menyelamatkan ayahmu? Tindakan kekerasan itu tak mengganggumu, walaupun kita berhadapan dengan maut dan harus membunuh orang! Cepat sekali kau lupa bahwa kau juga menginginkan pemberontakan ini!”

“Bukankah kau yang mencariku dan memintaku menyelamatkan ayahmu? Tindakan kekerasan itu tak mengganggumu, walaupun kita berhadapan dengan maut dan harus membunuh orang! Cepat sekali kau lupa bahwa kau juga menginginkan pemberontakan ini!”

“Lantas?”

Ia tak menjawab. Gadis itu naik ke dalam kereta dan berbaring di sisi jenazah Abdias. Ia memeluknya dan meletakkan wajah di atas selimut yang membungkusnya.

Barabbas dan sang sais tetap terperanjat. Akhirnya Rekab bertanya, “Apa yang harus kita lakukan sekarang? Kembali ke rumah Rachel di Magdala?”

“Tidak,” bisisk Mary dengan mata terpejam. “Kita tetap ke Beth Zabdai, ke kuil Joseph. Kaum Essene dapat menyembuhkan dan menghidupkan orang.”

Rekab mengira pendengarannya keliru atau Mary yang kehilangan akal sehat karena terlampau capai. Dipandangnya Barabbas, hendak mengajukan pertanyaan. Namun pipi penyamun yang dikagumi rakyat Galilea itu dibanjiri airmata.

Rekab mengatupkan mata dan duduk di bangku kusir. Ia menunggu sesaat, kalau-kalau Barabbas hendak turut.

Karena pemuda itu diam saja, Rekab memacu kuda dan membawa kereta kembali ke jalan.

* * *

Mereka memasuki Damas beberapa saat sebelum malam. Beberapa kali Rekab menghentikan kereta agar kuda-kuda dapat beristirahat. Di setiap kesempatan, ia memeriksa keadaan Mary.

Gadis itu nampak tidur, namun matanya tetap terbuka. Ia masih mendekap mayat Abdias. Rekab mengisi sebuah gelas dengan air dalam tempayan.

“Minumlah, atau kau akan sakit.”

Mary memandangnya seolah-olah ia tak dapat melihat. Karena ia tak bereaksi, Rekab meraih pundaknya dan mendekatkan mulutnya ke gelas itu. Dipaksanya Mary minum seperti yang ia lakukan hari-hari sebelumnya kepada Abdias. Gadis itu tak menampik. Bahkan ia melakukannya dengan patuh, menutup mata dan berterima kasih melalui senyuman.

Rekab terkejut melihat ekspresi wajah Mary. Untuk pertama kalinya, air mukanya benar-benar menunjukkan seorang gadis belia dan bukan wanita muda kaku yang berpandangan tajam.

Di gerbang taman mewah yang mengelilingi Damas dan merimbunkannya dalam kotak hijau besar yang melingkupi seluruh wilayah, Rekab kembali menghentikan kereta. Kini, ia menutup tirai dengan hati-hati.

“Tenanglah, takkan kubiarkan orang-orang melihatmu,” ia menjelaskan dengan suara lirih.

Sesungguhnya, yang paling ia pikirkan adalah jenazah Abdias. Jika seorang petani melihatnya, orang akan berbondong-bondong melontarkan pertanyaan yang sukar ia jawab.

Namun agaknya Mary tak mendengar. Beberapa saat kemudian kereta tiba di desa Beth Zabdai. Tempat itu mudah ditemukan, tak terlalu jauh dari pinggiran kota. Desa itu terkenal karena merupakan tempat orang-orang berobat. Kebetulan, jalan menuju ke sana cukup lebar sehingga Rekab dapat mengemudikan kereta dengan mudah. Desa di sebelah Barat Damas, yang dikelilingi ladang dan kebun buah itu, hanya terdiri dari beberapa bangunan dari batu kapur putih. Atapnya yang datar dipenuhi tanaman anggur. Tanpa jendela di sisi luar, dinding-dindingnya menutup ke aula. Mereka berhenti di depan sebuah bangunan yang hanya memiliki sebuah gerbang kayu besar bercat biru. Sebuah pintu, yang cukup besar untuk dilalui seorang anak, memungkinkan siapapun yang datang masuk tanpa perlu membuka gerbang lebar-lebar. Sebuah alat pengetuk pintu dari perunggu menghiasinya.

Setelah menghentikan kuda, Rekab turun dan membunyikan alat pengetuk pintu itu. Beberapa saat berlalu, tak ada yang datang. Dibunyikannya alat itu lebih keras. Tiada jawaban juga. Ia yakin tak akan ada yang membukakan pintu. Wajar saja sebab langit telah diwarnai semburat merah, dan hari telah di ambang malam.

Ia kembali ke kereta dengan perasaan risau untuk memberitahu Mary, tatkala gerbang terkuak. Seorang pemuda Essene berkepala gundul, mengenakan tunik putih, melongok dengan wajah curiga. Ia mengatakan bahwa ini saatnya berdoa dan mereka tidak menerima tamu. Mereka yang menghendaki pengobatan harus menunggu hingga esok.

Rekab melompat, ia menahan pintu sebelum tertutup lagi. Pemuda Essene itu mulai kesal. Dengan cepat, Rekab mencengkeram tuniknya dan menariknya ke arah kereta. Disibaknya tirai. Pemuda Essene tadi, yang meneriakkan omelan dan memprotes keras, seketika mencium bau busuk yang menguar dari mayat Abdias. Ia terpaku, melebarkan mata dan melihat Mary di sudut kereta yang gelap.

“Buka gerbangnya,” kata Rekab sambil melepaskan tangannya.

Pemuda itu merapikan kembali pakaiannya. Merasa tak nyaman setelah melihat Mary, ia memandang ke bawah.

“Aturannya tak menghendaki begitu,” ia bersikeras. “Para tetua melarang gerbang dibuka pada jam begini.”

Sebelum Rekab bereaksi, Mary berkata, “Sebut namaku di depan Joseph d’Arimatea. Katakan aku di sini dan tak bisa ke mana-mana lagi. Aku Mary de Nazaret.”

Ia berusaha bangkit dengan susah payah. Suaranya mengandung kelembutan yang membuat pemuda Essene tadi lebih malu daripada setelah melihat ke dalam kereta. Ia tak menjawab dan menghilang ke dalam kuil. Rekab memperhatikan bahwa pemuda itu tak menutup pintunya.

Mereka tak perlu menunggu lama. Bersama beberapa bruder, Joseph d’Arimatea berlari.

Ia tak sempat menyapa Rekab, namun langsung menghambur ke dalam kereta. Ia hendak menanyai Mary ketika gadis itu menyibak selubung wajah Abdias. Joseph langsung mengenali pemuda Am-haretz itu. Ia menggumamkan kesedihan. Mary membisikkan kata-kata yang sukar dipahami. Rekab mendengarnya meminta Joseph menghidupkan Abdias kembali.

“Anda bisa. Aku tahu Anda bisa,” ujarnya lirih seolah tengah sakit ingatan.

Joseph tak menjawab sepatah kata pun. Ia meraih Mary ke pangkuannya, meminta bantuan kawan-kawannya untuk menurunkan gadis itu dari kereta. Mary mencoba melawan tetapi ia terlalu lemah. Ia mengulurkan tangan ke arah Joseph, menghiba dengan suara memelas, “Aku mohon pada Anda, Joseph, lakukan keajaiban itu...Abdias tak pantas mati dengan cara ini. Ia harus hidup lagi.”

Dengan air muka ganjil yang menegang, Joseph mengelus pipi Mary tanpa kata. Ia memberi isyarat agar yang lain membawa gadis itu ke dalam kuil.

* * *

Kemudian, ketika Rekab telah menempatkan kereta di aula dan jenazah Abdias telah diangkat, Joseph menghampiri kusir itu. Rahib baik hati itu menyentuh pundak sang sais.

“Kami akan merawatnya,” ia menunjuk sayap gedung kediaman para wanita tempat Mary berada. “Terima kasih atas semua yang telah kaulakukan. Perjalanan pasti sangat berat. Kau harus makan dan berisitirahat.”

Rekab menunjuk kuda-kuda yang baru dilepaskan dari tali kekang.

“Mereka juga harus diberi makan. Aku akan berangkat besok. Kereta ini milik Rachel di Magdala. Aku harus membawanya kembali secepat mungkin...”

“Teman-temanku akan mengurus kudamu,” jawab Joseph. “Kau sudah cukup lelah hari ini. Jangan khawatir majikanmu. Ia dapat menunggu keretanya kembali beberapa hari lagi. Jadi kau akan mengabarinya hal yang baik mengenai Mary.”

Rekab ragu-ragu, antara menolak dan menerima. Joseph membuatnya terpesona. Kesantunannya, ketenangannya, kepalanya yang tak berambut, sorot mata birunya yang hangat, sikap penuh penghormatan para bruder Essene yang beraktivitas dalam kuil itu kepadanya, mengherankan lelaki ini. Mesti demikian, hatinya terluka. Apa yang baru dialaminya bergolak dalam batin Rekab dan masih mengguncangnya.

Joseph merangkul erat pundak sais. Rahib itu mengajaknya ke ruang tamu yang besar.

“Aku tak mengenal Abdias dengan baik,” paparnya. “Tetapi Joachim, ayah Mary, mengatakan banyak hal positif tentangnya. Kematian anak ini sungguh menyedihkan. Tetapi semua kematian memang menyedihkan dan terasa tidak adil.”

Mereka memasuki sebuah ruangan luas yang melengkung, serba putih, dan dilengkapi meja serta bangku besar.

“Jangan cemaskan Mary,” kata Joseph lagi. “Ia gadis yang tabah. Besok, suasana hatinya akan membaik.” Kembali Rekab terkesan oleh perhatian tetua kaum Essene ini. Bahkan di kediaman Rachel, seorang kusir seperti dirinya tak pernah diperlakukan sebaik ini. Ia menatap mta biru Joseph dan berujar, “Barabbas si penyamun bersama kami malam tadi. Ialah yang membawa anak muda itu ke Magdala...”

Joseph mengangguk. Ia mengajak Rekab duduk dan menarik kursi di sebelahnya. Seorang pemuda Essene telah berada di sana, meletakkan sebuah pinggan berisi kue gandum dan segelas air di hadapan mereka.

Dengan tangan agak gemetar, Rekab mencoba menyuap makanannya. Kemudian ia meletakkan sendok, berpaling pada Joseph dan menceritakan semua kengerian yang terjadi sepanjang perjalanan.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar