5
Kaki Gunung Tabor merupakan sebuah wilayah memanjang yang berliku-liku. Agar tidak terlihat mencolok dan terlalu kentara saat menuju Nazaret, mereka sepakat bahwa Mary pergi lebih dulu untuk memberitahu Halwa dan Yusuf.
Di atas jalan setapak berpagar pohon akasia dan caoubier yang memanjang hingga puncak lembah, gadis itu berjalan sangat cepat sehingga kakinya laksana tak berpijak di tanah. Saat mendekati puncak, pohon-pohon yang memagari jalan tak lagi rimbun. Ia melihat kebun buah cedrat , kebun anggur kecil dan dua pohon besar yang mengitari kediaman Yusuf. Tapa disadarinya, senyum lebar menghiasi wajah.
Suara mengembik membuatnya mendongak. Sekawanan domba dan anaknya mondar-mandir di ladang yang meninggi melebihi jalan. Ia akan berbalik dan berlari menuju ke rumah itu ketika melihat sesosok tubuh yang bangkit di antara tanaman câprier dan genêt . Ia mengenali tunik cerah yang disulam cantik dengan warna biru terang. Ia mengenali rambut tebal berombak kemerahan itu dan berteriak, “Halwa! Halwa!”
Karena terkejut, Halwa terpaku. Ia menyipitkan mata agar dapat melihat siapa yang menghambur ke arahnya.
“Mary... Ya Tuhanku! Mary!”
Tawa dan airmata berbaur seketika.
“Kau masih hidup!”
“Ayahku juga. Kami telah menyelamatkannnya.”
“Yusuf memberitahuku! Ia mendengar kabar di sinagog tetapi aku sulit mempercayainya!”
“Sungguh senang bisa melihatmu lagi!”
Terdengar pekikan kecil di kaki mereka. Halwa melepaskan pelukannya di tubuh Mary.
“Shimon, buah hatiku, apakah kau cemburu pada Mary?”
Bocah lelaki berumur dua tahun itu seketika terdiam. Dengan mulut menganga dan wajah dibuat serius, ia menatap Mary. Mata coklatnya yang besar terbeliak tiba-tiba, berkedip-kedip, dan ia membusungkan dada dengan gaya anggun.
“Apakah ia mengenaliku?” tanya Mary, senang.
Sambil tertawa, ia membungkuk untuk meraihnya. Ketika berpaling, dilihatnya Halwa menutupi mulut dengan tangan, pucat dan tersaruk-saruk.
“Halwa! Apa yang terjadi?”
Halwa mencoba tersenyum, menghela nafas agak keras dan akhirnya memegang pundak Mary.
“Bukan apa-apa,” bisiknya dengan suara bergetar. “Sedikit pusing. Aku akan baik-baik saja.”
“Apakah kau sakit?”
“Tidak, tidak!”
Halwa menghela nafas lagi sambil mengelus keningnya lembut.
“Aku mengalaminya sesekali sejak melahirkan Libna. Jangan cemas. Ayo, segera kita beritahu Yusuf! Ia pasti melonjak-lonjak melihatmu.”
* * *
Pertemuan hari itu sangat menyenangkan. Yusuf tidak sabar menunggu kedatangan Joachim. Ia berlari menyambutnya, menyusuri jalan begitu melihat siluet kawan baiknya. Dipeluknya lelaki itu lalu mengucap syukur pada Yang Maha Kekal di sela kegembiraan dan sedu-sedan.
Disapanya Barabbas dan Abdias dengan tulus. Tentu saja mereka semua dapat mengungsi ke rumahnya, demikian tegas Yusuf kala mereka memasuki rumah. Semua ruang yang dibutuhkan tersedia. Berdasarkan anjuran Joachim, mereka akan membuat kamar yang tenang dan tersembunyi di belakang bengkel kerja Yusuf. Tempat itu diperuntukkan Joachim dan kawan-kawannya, sedangkan Mary akan tidur di kamar anak-anak.
Mereka duduk mengelilingi meja yang diletakkan dalam keremangan pohon-pohon yang melindungi kediaman penuh kebahagiaan itu.
“Di sini kalian aman,” ujar Yusuf lagi. “Tak akan ada yang curiga bahwa kalian berada di rumahku. Yang lebih penting, serdadu-serdadu itu tidak berkeliaran lagi di Nazaret.”
Dengan bantuan Mary, yang meyakinkan bahwa dirinya sama sekali tidak capai, Halwa menyediakan makanan dan minuman. Abdias minum dengan rakusnya dan makan sedikit-sedikit. Menyadari ketidaksabaran Joachim dan Mary, ia mengajukan diri untuk menemui Hannah diam-diam dan memberitahunya tentang keberadaan mereka. Joachim mengajarinya cara memasuki rumah dan bengkel tanpa mengundang perhatian tetangga. Tatkala anak lelaki itu menyelinap pergi seperti musang, Yusuf menyampaikan berbagai kabar dari desa kepada mereka.
Seperti yang diduga, para petugas pajak kembali ke Nazaret setelah Joachim ditangkap.
“Bayangkan, Joachim, orang yang kaulukai juga turut serta. Dadanya dibalut, tetapi ia menderita kesakitan selama empat hari saja!”
“Ah! Aku sungguh ceroboh!” senyum terulas di bibir Joachim. “Lemparan lembingku meleset rupanya.”
Yusuf dan Barabbas tertawa. “Tentu saja.”
Untuk kali itu, tiga prajurit Roma dan sepasukan serdadu mengawal para pemungut pajak. Mereka terlihat menakutkan, bahkan lebih dari biasanya.
“Mereka hanya ingin memuaskan hati dengan mengumumkan bahwa kau akan disalib sampai mati,” Yusuf menjelaskan sambil merangkul pundak Joachim. “Mereka mengulanginya berkali-kali sampai setiap orang mendengarnya. Hannah yang malang tersedu-sedu, meratap bahwa Tuhan telah mengabaikannya sehingga ia kehilangan suami dan anaknya.”
Yusuf terdiam mengingat kejadian itu. Keputusasaan Hannah begitu memprihatinkan sehingga Halwa mendampinginya selama beberapa hari. Meskipun begitu, ia tak dapat berbuat apa-apa. Semua orang khawatir Hannah akan kehilangan semangat hidup.
“Aku benar-benar bingung harus mengatakan apa mengenai raibnya kau,” lanjut Yusuf seraya melirik Mary. “Tetapi aku cemas tentara Herodes akhirnya sadar bahwa kau meninggalkan desa ini untuk menolong ayahmu.”
“Bah!” omel Barabbas dengan nada mengejek. “Orang-orang Roma dan para tentara itu terlalu percaya diri pada kekuatan mereka sampai kehilangan daya imajinasi. Lagi pula, mereka tak mengerti bahasa kita.”
“Mereka mungkin saja tidak paham,” sangkal Yusuf, “tetapi para petugas pajak sangat licik. Mereka selalu tahu jika ada yang mencemooh dengan aksen Galilea kita, pendengaran mereka sangat tajam sehingga jemari mereka siap meraup apa saja. Selain itu, di sinagog aku telah belajar bahwa kita harus diam sebelum mengerti sesuatu. Tetapi kau tahu banyak hal, Joachim. Selalu ada orang yang dapat kita andalkan.”
Memang orang yang baik terkadang mengalami kemalangan. Jiwa pendendam para petugas pajak Sanhadurim telah menebar rasa takut dalam hati setiap warga desa dan membungkam keinginan mereka untuk melawan.
“Mereka ingin menyembelih kami hidup-hidup,” desis Yusuf. “Kami hampir tak tahu cara bertahan hingga panen selanjutnya.”
Para pemungut pajak telah mengambil apa saja sekehendak hati, mengangkut timbunan karung dan tempayan dari gua dan lumbung rakyat, serta memerintahkan serdadu-serdadu untuk mengisi semua pedati sampai keledai kesulitan menariknya.
“Mereka sudah menggeledah rumah ini, mencari uang. Hanya ada dua peti kecil utnuk pakaian anak-anak yang kubuat sendiri. Seenaknya saja mereka mengangkutnya. Begitu juga buah ara yang baru Halwa petik! Buah itu pasti rusak sebelum dibawa ke Yerusalem, tetapi mereka memang ingin merampok segalanya. Mereka benar-benar senang menindas kita.”
Yusuf berhenti sejenak dan mengerling, mengolok-olok.
“Hanya bianatang piaraan kami yang tidak mereka sentuh. Kami telah menyembunyikan hewan ternak di hutan bersama beberapa anak lelaki.”
“Dan orang-orang tolol itu tidak heran karena tidak menemukan binatang ternak tersebut?” tanya Barabbas.
“Tentu saja mereka merasa curiga! Tapi kukatakan ini yang terakhir, kami tak mau lagi menyerahkan hewan ternak yang besar ataupun kecil. Karena setiap kali mereka mengambilnya, tak ada gunanya. Salah satu petugas pajak itu berkata, ‘Seperti biasa, kalian bohong. Ternak kalian ada di hutan, aku yakin.’ Seseorang menyahut, kalau begitu, carilah mereka di hutan sana atau Tuhan mengubah mereka menjadi singa!”
Joachim dan Barabbas tergelak. Yusuf menggelengkan kepala.
“Bisa kupastikan bahwa setiap orang telah menyumpahi mereka. Kebahagiaan kami bertambah setelah mengetahui keberhasilan Mary dan Barabbas. Kabar bahwa kau telah bebas dan masih hidup sungguh melipur hati kami. Bahkan orang-orang di sinagog berpikir bahwa Tuhan tidak menghendaki ketidakadilan ini. Merekalah yang sejak awal menganggap kesengsaraan kita sebagai hukuman Yang Maha Kuasa!”
Semua terbelalak kaget ketika Yusuf tiba-tiba bangkit dan menyentuh pundak Barabbas. “Semoga Tuhan memberkatimu, Nak. Kau telah membuat kami bangga dan bahagia. Hal yang sudah lama tak kami rasakan.”
Ia beralih pada Mary dan memeluknya. Namun ketika sadar, rasa malu menyergapnya. Maka, diraihnya tangan gadis kecil itu dan dielusnya lembut.
“Dan kau juga, Mary. Halwa dan aku sangat bangga terhadapmu.”
Halwa tertawa, gembira sekaligus menggoda. Diajaknya Mary masuk ke rumah. Kedua anak Halwa mulai mengeluh, terusik oleh kedatangan mereka.
“Kau lahat keadaan Yusufku?” bisik Halwa senang. “Lihat wajahnya, lebih merah daripada bunga yang sedang mekar! Bila hatinya tersentuh, ia menjadi orang paling lembut yang pernah diciptakan Tuhan. Selembut domba betina. Tetapi sangat pemalu! Begitu pemalu.”
Mary menempelkan pipinya ke pipi sahabatnya. “Kalian tak tahu betapa bahagianya bertemu dengan kau dan Yusuf lagi. Aku sungguh tak sabar untuk berjumpa Ibu. Tak kusangka ia akan semerana itu karena kutinggalkan.”
Si kecil Yakob menarik baju ibunya. Halwa menuju buaian untuk menggendong Libna, yang rewel karena lapar dan tidak sabar.
“Ah, begitu Hannah melihat kalian, ia akan melupakan...”Mendadak ia berhenti. Pipinya pasi, matanya terpejam dan nafasnya tersendat. Mary segera mengambil alih Libna dari pangkuan Halwa.
“Kau sakit, ya?” bisiknya.
Halwa menarik nafas dalam-dalam dan berkata, “Tidak, jangan khawatir. Ini hanya pusing! Memang selalu mendadak...”
“Beristirahatlah sebentar. Biar aku yang mengurus anak-anak.”
“Tidak boleh begitu!” tukas Halwa dengan senyum dipaksakan. “Kau berjalan jauh sekali seharian. Kau pasti jauh lebih lelah dariku.”
Mary mengecup sayang Libna, yang mempermainkan rambutnya dengan jari-jarinya nan mungil. Sambil mendekap Shimon, ia kembali menandaskan, “Kalau begitu, izinkan aku membantumu. Istirahatlah. Kau begitu pucat hingga membuatku takut.”
Halwa akhirnya menyerah dengan kesal. Ia rebah di atas pembaringan dalam ruangan itu seraya menatap teman baiknya. Dalam sekejap, Mary menyiapkan susu untuk Libna dan galette untuk Shimon serta Yusuf junior, sedangkan si sulung Yakob yang pendiam membantunya sebisa mungkin. Lalu ia bermain bersama mereka dengan santai dan penuh kasih sayang sehingga anak-anak itu merasa tenang seperti diasuh ibu mereka sendiri.
* * *
Di luar, dengan suaranya yang datar dan bersemangat, Yusuf terus bercerita kepada Barabbas dan Joachim betapa kabar aksi mereka kemarin menggemparkan sinagog ketika disiarkan oleh seorang pedagang tinta.
Mulanya, orang-orang meragukan kebenaran berita itu. Kabar angin kerap berhembus sehingga sulit membedakan informasi yang akurat dan isapan jempol belaka. Walaupun demikian, hari-hari berikutnya, sejumlah pedagang lain yang datang dari Kana dan Safuria membenarkan bahwa gerombolan Barabas telah memicu kebakaran di Tiberias untuk menolong tahanan di kamp. Joachim merupakan salah satunya.
Kemudian semua orang bernafas lega, bahkan mereka yang telah menganggap Joachim telah tiada. Kegembiraan itu segera beralih menjadi rasa puas.
“Jika malam ini kau pergi ke Nazaret, seluruh desa akan menyambutmu,” ujar Yusuf. “Mereka sudah lama berduka sejak Mary mengumumkan bahwa ia akan meminta bantuan Barabbas untuk menyelamatkanmu.”
“Kita harus waspada,” gumam Joachim sambil mengerutkan kening, “Mungkin ini menimbulkan bahaya di Nazaret.”
“Itulah yang membuatku heran,” Barabbas menyetujui. “Beberapa hari yang lalu kita mempermalukan orang-orang Roma di Tiberias. Sekarang, mestinya para tentara itu ada di sini dan membumihanguskan desa.”
“Aku yakin alasannya sederhana saja,” Yusuf menanggapi. “Kami dengar bahwa Herodes sakit parah sehingga tak bisa berpikir. Agaknya istananya lebih mengerikan daripada sarang ular. Anak-anaknya, saudara perempuannya, saudara lelakinya, ibu mertuanya, bahkan para bawahannya mendoakan Herodes cepat mati supaya mereka dapat mengambil alih singgasana. Mereka berseteru hebat, dan kekacauan terjadi di istana Antonia, di Yerusalem, juga Kaesaria. Para pejabat Roma tidak siap mengatasi perselisihan keluarga ini. Apabila si sinting Herodes sembuh dan mengetahui perbuatan orang-orang terdekatnya di balik punggungnya, mereka pasti mati. Raja kita tidak waras, tetapi dialah pemimpin Israel sejak butir gandum pertama sampai hukum sesat yang dikeluarkan Sanhadurim. Orang-orang miskin Galilea seperti kita, takut pada tentara-tentara dan kaki tangannya. Tetapi mereka juga takut pada Herodes. Maka, jika ia sakit dan tidak menjalankan roda pemerintahan, tak ada yang berani bertindak menyimpang.”
“Berita itulah yang menghangatkan perasaanku,” tukas Barabbas lantang. “Dan melegakan, karena aku merasa benar jika menghendaki...”
Perkataannya terhenti. Suara teriakan yang memanggil-manggil dan langkah yang gaduh membuat mereka bangkit dari temapt duduk. Hannah bergegas dalam kegelapan pepohonan, tangannya terangkat ke atas kepala.
“Joachim! Ya Tuhanku! Sungguh ini karunia Yang Maha Kuasa. Aku benar-benar melihatmu! Tadinya aku tak percaya pada anak ini...”
Joachim menyambut istrinya dengan rentangan tangan. Hannah mendekapnya erat-erat, masih berkata-kata dengan air mata membanjir, “Ini benar-benar kau! Bukan setan. Aku mengenali bau tubuhmu! Oh, suamiku, apakah mereka melukaimu?”
Joachim hendak menjawab, ketika Hannah melepaskan pelukannya. Matanya terbelalak. Mulutnya kelu da ia terlihat sangat panik.
“Di mana Mary? Ia tidak bersamamu? Apakah ia meninggal?”
“Tidak, Ibu! Aku di sini.”
Hannah berbalik, melihat anak perempuannya berlari dari dalam rumah.
“Anakku tersayang! Kau telah membuatku ketakutan!”
Dalam pengaruh emosi yang campur aduk, Hannah merasa sesak. Ia tak mampu membelai wajah dan memandang mata orang-orang tercintanya. Semua mengetahui bahwa wanita itu akan jatuh pingsan sebelum dapat mengungkapkan kebahagiaannya.
Abdias, yang mengikutinya dari kejauhan, terlihat kusut dengan gerakan yang bingung.
“Kacau! Ia mencoba menghasut seluruh desa untuk membekukku ketika kuberitahu bahwa Mary ada di sini bersama Pak Joachim,” ungkapnya pada Barabbas. “Ia tak percaya padaku. Ia menuduhku mata-mata para tentara. Akan kukurung orang-orang seperti itu dalam perangkap, katanya. Tak mungkin membungkamnya tanpa bersikap galak. Aku lega Mary tidak mewarisi sifatnya!”
* * *
Kemudian malam kembali kelam, semua berpelukan di sekitar lampu penerang. Tatkala wanita dan anak-anak telah lelap, Barabbas mengutarakan rencana besarnya kepada Yusuf dengan suara perlahan. Sudah waktunya melancarkan pemberontakan yang melibatkan rakyat Galilea, lau seluruh Israel, untuk menggulingkan Herodes dan mengusir penjajah Roma dari negeri mereka.
“Kau bicara seolah-olah ini mudah,” bisik Yusuf dengan mata terbelalak.
“Bila yang kauceritakan mengenai Herodes itu benar, maka sekaranglah saat yang paling tepat.”
“Memang fisik Herodes lemah. Tapi yang lainnya...”
Bila seluruh negeri ini menentangnya, siapa yang akan mendukungnya? Apalagi para tentara sedang diliputi ketakutan tidak dibayar.”
“Sungguh gagasan gila,” potong Joachim. “Sama gilanya dengan Barabbas sendiri. Tetapi dengan pemikiran seperti itulah ia membebaskanku dari salib. Akan bermanfaat jika kita membahasnya dengan orang-orang yang memiliki kebencian sebesar kita pada Herodes, misalnya kaum Saduki dari Kuil. Orang-orang Zelot, Essene dan beberapa orang Farisi. Di antara mereka, ada beberapa orang bijak yang akan meluangkan waktu untuk mendengarkan kita. Bila kita dapat meyakinkan mereka untuk menyertakan pengikutnya dalam pemberontakan ini...”
“Bila rakyat melihat keberpihakn mereka pada kita, mereka akan menyadari bahwa inilah saatnya untuk berontak,” wajah Barabbas berseri-seri.
Yusuf tidak menanggapi keduanya. Ia tidak meragukan tekad dan keberanian mereka. Seperti juga Joachim dan Barabbas, ia yakin bahwa menelan mentah-mentah kebengisan Herodes hanya menghasilkan kesengsaraan.
“Jika kalian ingin mengumpulkan orang-orang untuk berunding, itu dapat dilakukan di sini,” kata Yusuf. “Risikonya kecil. Kita cukup jauh dari Nazaret dan sekarang ini orang-orang Roma tidak tidak mencurigaiku. Mereka yang kita undang bisa saja bergabung dengan kita tanpa rasa takut. Jalan ke arah sini pun berputar. Bahkan mereka tak perlu melewati Nazaret.”
Barabbas dan Joachim mengucapkan terima kasih dengan tulus. Kesulitan sesungguhnya ialah menemukan orang yang sepaham dengan mereka. Orang-orang bijak belum tentu berani. Orang-orang yang sanggup bertarung belum tentu lihai bersiasat. Hal ini cukup merisaukan.
Dengan segera, Joachim dan Yusuf menyebutkan sejumlah nama. Mereka berhenti ketika mengucapkan nama dua orang Essene yang memiliki semangat kemerdekaan dan kerap menentang kuil Yerusalem. Joseph d’Arimatea, yang paling cerdas, dan Giora de Gamala. Yang terakhir ini membawa rombongan pengikutnya ke gurun dekat Laut Mati. Kemudian, Joachim menyebut nama seorang Zelot Galilea yang dikenalnya dengan baik.
Barabbas menyeringai. Ia sangat tidak menyukai para pemuka agama.
“Mereka bahkan lebih gandrung pada Tuhan daripada orang Essene.”
“Tetapi mereka melawan orang-orang Roma, begitu mendapatkan kesempatan.”
“Mereka benar-benar diktator sampai menakuti penduduk desa! Bahkan kabarnya terkadang mereka menghajar orang-orang yang tidak berdoa menurut ketentuan. Kita tak dapat mempercayakan orang-orang yang ragu mengikuti kita kepada kalangan seperti ini.”
“Tapi tanpa mereka, rencana kita tidak dapat berjalan. Aku tak percaya pada cerita petani yang dipukuli itu. Kaum Zelot memang sangat keras dan disiplin, tetapi mereka pemberani dan tak takut kehilangan nyawa saat berhadapan dengan tentara Herodes dan antek-antek Roma.”
“Mereka hanya ingin menerapkan konsep Tuhan yang mereka yakini,” Brabbas bersikukuh dengan suara meninggi. “Mereka tak pernah membela rakyat yang kelaparan atau melawan kesewenang-wenangan Herodes.”
“Untuk itulah, kita harus meyakinkan mereka. Paling tidak ada dua orang yang kukenal dengan baik, Lazarus dari Yozpat dan Levi le Sicaire dari Magdala. Mereka saling berselisih, tetapi juga dapat mendengarkan dan menghargai pendapat orang lain.”
Dengan setengah hati, Barabbas menerima kaum Zelot. Namun pertengkaran berlangsung lebih sengit kala nama Nikodemus disebut. Pria ini satu-satunya orang Farisi di Sanhadurim yang sampai kini menunjukkan kepedulian pada kemanusiaan dan Galilea. Joachim ingin melibatkannya. Barabbas langsung protes, sedangkan Yusuf sangsi.
“Bagaimana mungkin Anda mengharapkan dukungan seorang bejat dari Sanhadurim? Ingat, Anda yang telah melontarkan lembing ke tubuh seorang petugas pajak!” serang Barabbas.
“Jangan memukul rata!” sangkal Joachim, jengkel. “Nikodemus menentang kaum Saduki yang memerah kami di setiap kesempatan. Ia selalu memperhatikan penderitaan kami. Ia sering berkunjung ke sinagog-sinagog di Galilea utnuk mendengarkan kami.”
“Ia tidak perlu mengorbankan apa pun untuk menjalin hubungan baik! Cukup dengan datang, mengoceh dan kembali ke Yerusalem meringkuk di ranjangnya...”
“Sudah kukatakan, ia tidak seperti yang lainnya.”
“Mengapa? Buka mata Anda lebar-lebar, Joachim. Mereka semua sama saja.! Penakut dan penjilat Herodes. Tidak lebih. Bila Nikodemus ini tak melakukannya, bukan berarti ia seperti orang-orang Sanhadurim. Begitu mengetahui rencana kita, ia akan membekuk kita...”
“Nikodemus tidak akan melakukannya. Ia berseberangan dengan Ania, pendeta agung, di rapat umum Kuil. Herodes malah ingin menjebloskannya ke dalam penjara...”
“Namun itu tidak terjadi! Ia tidak diseret ke salib seperti Anda. Pasti orang ini sudah berlutut dan mohon ampun... Dengar, ia pasti akan menjebak kita! Kita tidak membutuhkannya!”
“Oh, tentu saja! Kau tidak memerlukan siapa pun!” Joachim naik darah. “Kau dapat membangkitkan semangat juang rakyat di mana saja di negeri ini tanpa mengumpulkan dukungan di Yerusalem atau Sanhadurim! Kalau begitu, ayo. Apa lagi yang kautunggu? Kau jalankan saja sendiri rencanamu.”
“Kewaspadaanmu berlebihan,” tukas Yusuf dengan suara keras. “Kita bisa mendengarkan Nikodemus tanpa perlu mengungkapkan inti rencana ini.”
“Jadi, untuk apa mendengarkannya?” tepis Barabbas. “Supaya yakin benar bahwa dia pengecut seperti semua orang Farisi?”
“Tidak perlu dibicarakan lagi!” Joachim meledak. “Jalan pikiranmu sangat kekanak-kanakan.”
Pertengkaran itu berlangsung beberapa saat lagi sebelum akhirnya Barabbas menyerah sambil uring-uringan.
Kini waktunya menulis surat dan menyebarkan pesan tentang pertemua itu. Joachim menyusun kata-katanya. Abdias dan kawan-kawan Am-haretz-nya menghimpun kelompok yang masing-masing terdiri dari dua atau tiga orang untuk bergerak ke seluruh penjuru negeri.
“Tidakkah seluruh tugas ini terlalu berat untuk dipercayakan kepada mereka?” tanya Yusuf.
“Ya ampun!” jawab Barabbas sinis. “Kau benar-benar tidak tahu siapa mereka. Gerakannya lebih gesit daripada kijang. Mereka sanggup menyampaikan pesan ke ujung dunia, jika diminta.”
Yusuf segera mengangguk-angguk. Ia tak mau lagi memicu amarah Barabbas. Tapi malam harinya, ia mengemukakan keraguan.
“Setelah mengamati kita yang tenggelam di balik ukit Galilea ini, sulit percaya bahwa kita bertiga akan sanggup menghimpun upaya untuk memerdekakan Israel.”
“Sungguh lega hatiku mendengarnya!” ungkap Joachim, lantang. “Jika kau langsung setuju, aku pasti menyangsikan akal sehatmu. Pertanyaan sebenarnya adalah haruskah kita berlaku segila Barabbas untuk melawan kesintingan Herodes?”
Barabbas melemparkan pandangan yang menusuk ke arah mereka. Ia tak mau terpancing dalam perang mulut.
“Mary lebih nekad dan tidak seperagu kalian, Tukang Kayu,” ujarnya tajam. “Ia bilang aku bertindak benar. ‘Kitalah yang memutuskan menjadi tak berdaya di hadapan Raja. Keyakinan bahwa serdadu-serdadunya selalu lebih kuat dari kita memberi mereka alasan untuk semena-mena.’ Begitu katanya.”
“Anakku memang pandai bicara. Terkadang, kurasa ia sanggup mencegah burung terbang. Tapi hanya Tuhan yang tahu apakah pikirannya lebih jernih darimu, Barabbas.”
Joachim tersenyum dan air mukanya melunak. Barabbas berdiri.
“Anda mungkin terlau tua untuk berjuang, habis perkara!” ditepuknya pundak Joachim.
“Mendengar nasihat beberapa rahib takkan ada ruginya,” sela Yusuf hati-hati.
“Tidak ada gunanya! Belum pernah ada pemberontakan yang dilakukan bersama ‘para rahib’, seperti katamu tadi. Orang-orang seperti akulah yang harus diikutsertakan. Para pencuri, sampah masyarakat yang dipandang sebelah mata!”
* * *
Dua hari setelahnya, pagi-pagi sekali, Abdias dan teman-temannya meninggalkan kediaman Yusuf berbekal banyak surat dan petuah panjang Barabbas.
Sebelum berangkat, pemuda Am-haretz itu memastikan bahwa Joachim akan menceritaka kisah Abraham dan Sarah atau Musa dan Tsiporra yang tak kalah menariknya ketika ia kembali nanti. Joachim berjanji. Lubuk hatinya amat tersentuh.
Sambil merangkul pundak anak lelaki itu, Joachim mengantarnya sampai ujung jalan. Mereka berpisah di mulut hutan. Abdias mengatakan bahwa ia akan mengambil jalan pintas.
“Jaga diri Anda baik-baik, Pak Joachim!” serunya dengan raut menggoda. “Aku tak mau sia-sia menurunkan Anda dari salib. Jaga anak perempuan Anda juga. Suatu hari kelak, mungkin aku akan melamarnya.”
Joachim merasakan semburat merah di wajahnya. Abdias telah berlari menjauh. Tawa riangnya bergema di antara pepohonan. Setelah ia tak terlihat lagi, Joachim berpikir sejenak.
Perkataan Abdias meresap di batinnya. Ia teringat peristiwa beberapa tahun silam di sebuah sinagog di Nazaret. Rabi berbicara dengan suara nyaring. Dengan alasan religius, ia mencerca kaum Am-haretz. Ia menyatakan bahwa derajat mereka berbeda. Diarahkannya telunjuk ke angkasa sambil berseru, “Seorang Yahudi tidak boleh menikah dengan orang Am-haretz. Bahkan mereka tidak boleh menyentuh anak perempuan kita! Mereka tidak sadar akan hal itu, dan berpura-pura bahwa kenyataan ini konyol!”
Kini dalam kesenyapan di sekitar hutan, Joachim merasa malu terhadap kata-kata yang menggiringnya pada kejadian itu. Apa yang diucapkan sang rabi amat keterlaluan.
Mungkin saja kaum Am-haretz, orang-orang yang dipandang hina oleh pemuka agama itu, merupakan korban kekejaman diskriminasi. Tuhan tak mungkin membenarkan penghinaan yang dilakukan orang-orang berada itu.
Lagipula, Abdias jelas pemuda yang paling menyenangkan. Anak laki-laki yang istimewa, cepat belajr dan penuh perhatian pada orang yan menerimanya dengan sikap bersahabat. Ayah mana yang tidak mengidamkan anak lelaki seperti dia?
Sekonyong-konyong Joachim meragukan tindakannya mengutus Abdias bertemu Giora, orang Essene yang rasial itu. Baik Barabbas maupun dirinya tak memikirkan hal tersebut. Seharusnya ia mengkompromikan pertemuan ini sebelum terjadi.
Dalam perjalanan pulang ke rumah Yusuf, Joachim memutuskan untuk pasrah sepenuhnya pada kemurahan hati Sang Penguasa Alam Semesta. Ia memendam kekhawatiran dan berusaha tidak memicu kejengkelan Barabbas yanng emosional.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar