2
Matahari beranjak ke atas bukit ketika Halwa dan Mary meninggalkan hutan. Jauh di rongga lembah, sepanjang jalan yang mereka lintasi di antara kebun bunga dan tanaman linen, nampak rumah-rumah yang berdempetan di Safuria. Halwa menghentikan pedatinya.
“Akan kuturunkan kau di sini. Aku tak boleh pulang terlambat ke Nazaret.”
Dihelanya Mary dalam dekapan.
“Berhati-hatilah terhadap Barabbas! Bagaimana pun juga, ia seorang bandit...”
“Mungkin saja aku tak menemukannya,” bisik Mary.
“Kau bisa! Aku sangat yakin. Aku juga percaya kau dapat menolong ayahmu.”
Halwa memeluk anak perempuan itu lagi. Kali ini dengan kelembutan dan kesungguhan.
“Kurasakan itu dalam hatiku, Mary. Cukup dengan melihatmu, aku bisa merasakannya. Kau akan menyelamatkan Joachim. Kau bisa percaya padaku, intuisiku tak pernah keliru!”
Sepanjang jalan, mereka berdua terus memikirkan cara menemukan Barabbas. Di depan Halwa, Mary tidak menyembunyikan kekhawatirannya. Ia sama sekali tidak mengetahui tempat persembunyian pemuda itu. Di hadapan orang-orang di Nazaret, ia hanya menunjukkan keyakinan bahwa Barabbas akan memenuhi permintaannya. Mungkin benar. Tetapi ia harus menemukan pemuda itu dulu.
“Kalau orang-orang Roma dan serdadu Herodes saja tak dapat menemukannya, bagaimana aku bisa?”
Halwa, yang selalu praktis dan optimis, tidak terpengaruh oleh kecemasan itu.
“Kau justru akan menemukannya karena kau bukan orang Roma atau antek Herodes. Kau dapat melakukan banyak hal dengan baik. Pasti banyak orang di Safuria yang tahu tempat Barabbas bersembunyi. Ia punya banyak pengikut dan orang yang berutang budi. Merekalah yang akan memberitahumu.”
“Orang akan memperolokku jika aku terlalu banyak bertanya. Aku akan menyusuri jalan-jalan di Safuria saja. Biarlah mereka yang bertanya tentang siapa aku dan hendak ke mana aku pergi.”
“Bah! Orang selalu curiga, seperti di desa kita, tetapi siapa yang akan menyertaimu menghadapi tentara Herodes? Katakan saja kau akan menemui seorang bibi. Bilang bahwa Bibi Judith akan melahirkan sehingga ia memerlukan pertolongan. Itu bukan dusta besar. Bahkan mendekati kenyataan, karena ia memang baru melahirkan musim gugur yang lalu. Ketika bertemu orang yang ramah, sampaikan yang sebenarnya. Pasti ada satu yang dapat memberitahumu.”
“Bagaimana caraku mengenali orang yang ‘ramah’?”
Halwa berseru nyaring, “Kau sudah dapat mengenali orang kaya dan seniman yang terlallu serius! Ayo, percaya dirilah. Kau sangat mampu membedakan penipu dengan orang jujur dan perempuan berkelakuan buruk dengan seorang ibu yang baik.”
Halwa mungkin benar. Saat mengatakannya, semua nampak mudah dan jelas. Namun kini kala mendekati gerbang kota, Mary bertambah ragu bahwa dirinya dapat menarik Barabbas keluar dari persembunyiannya untuk meinta bantuan.
Tetapi waktu terus berkelebat. Dalam dua, tiga atau mungkin empat hari, semuanya sudah terlambat. Ayahnya akan tewas disalib, rapuh akibat kehausan dan dijemur, disantap burung bangkai, disertai penghinaan bertubi-tubi para serdadu.
* * *
Saat matahari pagi merebak cerah, Safuria menggeliat. Toko-toko dibuka, tirai dan pintu rumah tersingkap. Para wanita saling memanggil dengan suara lantang, memastikan keadaan masing-masing baik semalam. Anak-anak bergerombol mengambil air di sumur sambil bercengkerama. Dengan wajah masih diliputi kantuk, pria-pria menyiapkan keledai dan pedati mereka untuk pergi ke ladang.
Sesuai dugaan Mary, pandangan ingin tahu terarah kepadanya. Tidak mengherankan karena ia orang asing yang memasuki kota saat penduduk baru memulai rutinitasnya. Berdasarkan langkahnya yang agak kencang tapi sesekali lambat, mungkin mereka menyangka ia tersesat namun tidak berani bertanya. Meskipun demikian, kecurigaan orang-orang tidak sebesar yang ia duga. Tatapan mereka tak lagi bersorot aneh setelah memperhatikan penampilan dan mantelnya yang bagus.
Tatkala ia menyeberangi beberapa jalan sambil merenungkan saran Halwa, ia mengayun langkah lebih mantap. Belok ke kiri di sini, ke kanan di sebelah sana, seolah-olah ia pernah kemari dan mengetahui arah. Dicarinya wajah yang ramah.
Mary juga melintasi persimpangan demi persimpangan, lewat di depan kedai-kedai kecil pengusaha kulit bulu yang berbau tak sedap, bengkel para pengrajin tenun yang membentangkan helaian kain perca, kain wol, permadani dan kertas pelapis dinding, menyilaukan pandangan dengan warna-warninya di sepanjang jalan. Lalu wilayah para penganyam buruh-buruh pembuat tenda, para penukar uang...
Singkatnya, ia mencari wajah yang mendorong keberaniannya untuk menyebut nama Barabbas. Namun setiap kali, ia hanya bisa menggosok mata dan segera berlalu. Selain tidak mampu menatap wajah mereka tanpa terlihat kuramg ajar, orang-orang agaknya tak mungkin tahu tempat seorang penyamun yang dicari Romadan serdadu-serdadu raja.
Pilihan satu-atunya hanya memanjatkan permohonan pada Yang Maha Kuasa. Mary melangkah ke jalan yang kian lama kian bising dan ramai.
Setelah berpapasan dengan sekelompok orang yang keluar dari sinagog kecil yang terletak di antara dua pohon aras besar, ia memasuki sebuah lorong yang cukup luas. Di bawah jalan dari tanah yang remuk, sebuah liang menganga memunculkan bengkel seorang tukang sepatu. Mary melompat ketika seorang anak buah tukang sepatu tiba-tiba mnegulurkan tali dari liane yang panjang ke arahnya. Tawa membuncah ketika ia berlari hampir ke ujung lorong, yang menyempit dan seolah-olah mengurungnya.
Lorong itu berujung di sebuah dataran yang suram, dikotori sampah dan tertutup rumput liar. Air menggenang di sana-sini. Ayam betina dan kalkun nyaris berpencar ketika ia melangkah. Dinding-dinding yang memagari lapangan itu sudah lama tidak dikapuri. Dipermukaan gubuk-gubuk, jarang terlihat pintu dan jendela. Tertambat pada sebatang pohon mati yang dijadikan pancang, seekor keledai berbulu kotor menolehkan kepalanya yang besar kepada Mary. Ia meringkiki cemas seakan-akan menyembunyikan peringatan.
Mary memandang ke belakang, ragu-ragu. Jika berbalik arah, sekali lagi ia akan digoda oleh para kuli. Di hadapannya nampak dua jalan yang mungkin membawanya ke jantung kota itu. Ia maju, memandang tanah di depannya untuk menghindari genangan air dan sampah. Pandangannya lurus tak memedulikan apa yang ada di kiri-kanannya. Hanya kotek ayam betina yang kaget membuatnya menolehkan kepala.
Mendadak di hadapan Mary muncul beberapa anak, seakan menyembul dari tanah yang becek. Selusinan anak lelaki berpakaian compang-camping, berambut kusut, hidung beringus dan telinga tegak. Anak paling tua baru berumur sebelas atau dua belas tahun. Mereka semua bertelanjang kaki, dengan pipi cekung yang dekil seperti tangan mereka. Anak-anak itu kurang mendapat makanan sehingga gigi mereka keropos. Para Am-haretz , demikianlah cemoohan orang-orang Yahudi. Mereka yang selalu berlaku masa bodoh, orang udik, petani, kaum terkutuk di negeri itu. Anak-anak budak, anak dari orang-orang yang takkan pernah merdeka. Di kerajaan raya Israel, mereka hanyalah kaum jongos. Para Am-haretz, termiskin dari yang miskin.
Mary terdiam, wajahnya memerah. Hatinya berdegup keras dan benaknya dipenuhi cerita mengerikan yang dikisahkan orang tentang anak-anak di depannya. “Kabarnya mereka menyerang orang lain seperti sekawanan anak hewan liar yang mengamuk. Mereka merampas barang-barang, berbuat kekerasan, bahkan kanibal.”
Mary harus mengakui bahwa tempat tersebut sangat memungkinkan jika mereka ingin melakukan semua tindakan menyeramkan itu dengan leluasa.
Anak-anak itu berjalan beriringan. Mereka menyeringai waspada sekaligus gembira melihat ketakutan Mary.
Segera setelah merasa aman, mereka melompat ke arahnya. Bagaikan anjing yang menaruh curiga, mereka mengelilingi Mary, meloncat-loncat, mengolok-olok, menggumamkan ejekan, saling menyikut sambil menunjuk tak senang pada mantelnya yang bagus. Taring-taring kecil mencuat dari mulut yang menganga.
Mary merasa malu. Ia marah pada diri sendiri karena ketakutannya, jantungnya yang kian keras berdebar, dan telapak tangannya yang berkeringat. Ia teringat perkataan Joachim suatu hari, “semua desas-desus seorang Am-haretz tidak benar. Mereka dicemooh karena sangat papa. Itulah satu-satunya kelemahan kaum tersebut.”
Ia mencoba tertawa pada anak-anak itu. Mereka membalas dengan cengiran yang buruk lalu mengulurkan tangan yang kotor dengan sikap canggung.
Barangkali ayahnya benar. Kaan tetapi joachim seorang pria yang baik hati dan selalu melihat segala sesuatu dari sisi positif. Dan tentu saja, ia tak pernah berada di posisinya sekarang ini.
Mary tak boleh mematung saja. Dapatkah ia mencapai jalan terdekat ke tempat pemukiman?
Ia mengambil beberapa lagkah ke arah si keledai. Hewan itu menatapnya sambil menggerakkan telinganya yang besar. Bocah-bocah tadi mengikuti Mary. Mereka bertambah ribut dan mendekat dengan sikap mengancam.
Si keledai menekuk mulutnya, memperlihatkan gigi-giginya yang kuning dengan suara nyaring. Para anak lelaki itu tak mengindahkannya. Mereka justru menirukan suara si keledai dengan mengecipakkan genangan air. Dalam sekejap, mereka berkerumun rapat di sekitar Mary, tergelak-gelak geli, sebagaimana layaknya anak-anak, memaksanya kembali diam.
Tawa anak-anak itu menguapkan rasa takut Mary. Mereka hanya anak-anak yang tengah bermain dengan ketakutan seekor keledai dan ketakutan seorang anak perempuan yang bodoh!
Perkataan Halwa membangkitkan semangatnya. “Temui orang-orang yang ramah kepadamu.” Di hadapannyalah kini, orang-orang yang ‘ramah’ itu. Tuhan Yang Maha Besar memberikan kesempatan kala ia putus asa. Jika Barabbas benar-benar seperti yang dikatakan orang, maka ia telah menemukan penyampai pesan yang diperlukannya.
Mary segera membalikkan badan. Anak-anak itu melompat menjauh, seperti khawatir akan dipukul.
“Aku takkan menyakiti kalian!” seru Mary. “Aku justru hendak minta tolong.”
Selusin pasang mata menatapnya curiga. Mary mencari wajah yang nampak paling bijaksana. Tetapi paras-paras kotor dan cemas itu terlihat sama.
“Aku mencari seseorang bernama Barabbas,” ucapnya. “Orang yang diangap penjahat oleh para serdadu Herodes.”
Ucapannya mengundang kehebohan. Anak-anak itu bergerak, menggumam tak jelas, mulut berkomat-kamit, pandangan mereka mengandung ancaman. Beberapa orang mengepalkan tangan sehingga terlihat lucu.
Mary menambahkan, “Barabbas temanku. Aku memerlukan pertolongannya. Hanya ia yang dapat membantu. Aku datang dari Nazaret dan tidak tahu di mana ia bersembunyi. Aku yakin kalian dapat mengantarku ke sana.”
Kali ini, rasa ingin tahu menjalari wajah mereka dan membungkam mulut mereka. Mary tidak keliru. Anak-anak ini tahu tempat Barabbas berada.
“Kalian bisa, kan? Ini penting. Sangat penting.”
Cemoohan kembali muncul. Salah satu dari mereka, dengan suara lantang berseru, “Kami bahkan tidak tahu siapa Barabbas!”
“Katakan saja Mary de Nazaret telah datang ke Safuria,” tandas Mary seakan-akan ia tak mendengar ucapan anak tadi. “Tentara-tentara Sanhadurim telah menahan ayahku di benteng Tiberias.”
Kata-kata terakhir ini menarik perhatian mereka. Slah satu anak lelaki, yang paling lemah dan paling tenang, mendekat. Dengan tubuh rapuhnya, wajahnya yang kotor terlihat lebih tua dari umur sebenarnya.
“Jika kami mau menolong, apa imbalannya?”
Mary merogoh kantung kulit dalam mantelnya. Ia mengeluarkan kepingan kuningan bernilai hampir seperempat talent, bayaran buruh harian di ladang.
“Hanya ini yang kumiliki.”
Mata anak-anak itu bersinar. Pimpinan mereka yang mungil meredam kegembiraan itu dan mencoba bersikap merendahkan.
“Itu tidak ada apa-apanya. Yang kau minta sungguh berat. Orang bilang, Barabbas sangat jahat. Ia dapat membunuh kami jika kami membuatnya tidak senang.”
Mary menggeleng.
“Tidak. Aku mengenalnya denagn baik. Ia tidak jahat atau berbahaya terhadap orang yang disukainya. Aku tak punya apa-apa lagi, tetapi ia akan memberi kalian upah jika mau mengantarkanku padanya.”
“Mengapa?”
“Sudah kukatakan, kami berteman. Ia akan senang bertemu denganku.”
Senyum licik terkembang di bibir anak itu. Teman-temannya berdiri mengitarinya. Mary mengulurkan tangan dan menyodorkan kepingan uangnya.
“Ambilah.”
Disertai pandangan gembira teman-temannya, jari-jari anakitu melebar dan meraup kepingan uang Mary.
“Kau jangan ke mana-mana,” perintahnya sambil mendekap tangannya ke dada. “Akan kulihat apakah aku bisa mengantarmu. Tapi sebelum itu, kau harus menunggu di sini. Bila tidak, lupakan saja.”
Mary setuju.
“Sebutkan namaku dengan benar di hadapan Barabbas, Mary de Nazaret! Juga bahwa ayahku akan tewas di benteng Tiberias.”
Tanpa berkata-kata, ia berbalik diikuti kawanannya. Sebelum meninggalkan lapangan itu, beberapa anak melirik kalkun dan ayam betina yang berpencar dengan bingung, kemudian mereka menghilang secepat kemunculannya.
* * *
Mary tidak perlu menunggu lama.
Beberapa pejalan kaki menyeberangi tempat itu. Penampilan mereka tidak sekumal anak-anak tadi. Rasa ingin tahu sekilas memberkas di wajah orang-orang tersebut. Mereka memandang Mary sejenak, lalu meneruskan langkah tanpa peduli.
Ayam-ayam betina kembali berkotek di sekitar kaki si keledai, yang tidak lagi takut pada Mary. Sang surya merambah ke langit yang di hiasi awan-awan kecil. Sinarnya memanaskan tanah yang ditimbuni sampah, merebakkan bau yang kian lama kian menjijikkan.
Sambil berusaha tetap tinggal mesti terlihat ganjil, Mary mempertahankan kesabarannya. Ia meyakinkan diri bahwa anak-anak itu tidak melupakannya dan benar-benar mengetahui di mana Barabbas berada. Selama berada di tempat ini, kehadirannya terus mengundang kecurigaan orang yang melihat.
Lalu, mereka kembali. Mereka tidak berlari-lari lagi. Malah, kini merekamenghampiri Mary dengan langkah perlahan. Pemimpin kecil mereka berkata dengan suara rendah, “Ikuti kami. Dia ingin menemuimu.”
Suaranya tetap kasar. Rupanya ia terbiasa bicara begitu. Mary merasakan perubahan sikap pada diri anak-anak yang lain.
Sebelum mereka beranjak dari lapangan itu, bocah lelaki tadi menambahkan, “Kadang-kadang ada yang ingin mengikuti kami. Meski tak terlihat, aku bisa merasakannya. Kalau aku bilang ‘Berpencar!’, lakukan saja. Jangan bertanya-tanya. Kita akan bertemu lagi di suatu tempat.”
Mary memberi isyarat setuju. Mereka melangkah menyusuri sebuah lorong yang becek, dibatasi tembok-tembok berlubang. Anak-anak lelaki itu berjalan tanpa suara, namun mantap. Mary bertanya kepada pemimpin mereka, “Siapa namamu?”
Ia tidak menjawab. Mary melihat yang lain melirik anak itu dengan pandangan yang mengandung ejekan. Salah satu dari mereka menepuk dada dengan bangga.
“Namaku Daud. Seperti raja yang mencintai seorang gadis cantik jelita...”
Ia berhenti karena tak mengingat nama gadis yang dimaksud. Yang lain mencoba membantu dengan bisikan, tapi tak seorang pun mengingat Bathsyeba.
Mary tersenyum sambil mendengarkan mereka. Akan tetapi pandangannya tidak berubah arah.
Tatkala yang lain diam, ia mengangkat bahu dengan tak acuh dan berkata perlahan, “Abdias.”
“Oh!” Mary berseru. “Namamu sangat indah. Dan juga langka. Tahukah kau berasal dari mana nama itu?”
Anak itu mengangkat wajah dan menoleh. Matanya yang sangat hitam mendominasi wajah penasarannya. Sinarnya memancarkan kecerdasan dan kecerdikan.
Seorang nabi. Yang tidak menyukai orang Roma, seperti aku.”
“Dan sangat kecil,” ejek anak bernama Daud. “Dan pemalas. Para rahib bilang ia menulis bagian yang paling sedikit dari seluruh Alkitab.”
Anak-anak lain cekikikan. Abdias menghardik mereka dengan kerlingan tajam, sehingga mereka diam.
Sudah seringkali ia diolok-olok karena namanya? Mary bertanya dalam hati. Dan sudah beberapa kali Abdias membungkam mereka dengan pukulan dan tendangan?
“Kau tahu banyak rupanya,” kata Mary kepada Daud. “Dan kau benar. Dalam Alkitab, hanya terdapat dua puluhan ayat mengenai Abdias. Tetapi isinya dalam dan indah. Aku ingat yang bunyinya begini,
Akan datang hari pembalasan Yahweh pada musuh-musuh kita. Penderitaan yang mereka timbulkan, akan ia lontarkan kembali. Begitu pula dengan kalian, bangsa Israel, kalian telah minum di gunung yang suci, seluruh rakyat mereguknya tanpa henti hingga tak lagi dahaga. Seakan-akan hanya satu orang lagi yang tertinggal!
Mary lalu menambahkan, “Abdias bertempur melwan orang-orang Persia, bahkan sebelum orang-orang Roma meneror dunia.” Ia yakin bahwa sang nabi Abdias mirip dengan ketua kelompok kecil itu: bebas, cerdik dan penuh keberanian.
Anak-anak itu berhenti. Mereka memandang Mary terkesima. Abdias bertanya, “Kau hafal diluar kepala mengenai para nabi? Kau membacanya dalam Alkitab?”
Mary tertawa kecil.
“Tidak. Aku sama dengan kalian, tidak bisa membaca. Tetapi ayahku pernah membaca Alkitab di Kuil. Ia sering menceritakan kisah-kisahnya kepadaku.”
Kekaguman bersinar dan mewarnai wajah-wajah dekil di hadapannya. Sungguh luar biasa, seorang ayah menceritakan kisah-kisah dalam Alkitab kepada anak perempuannya! Sukar dibayangkan. Mereka tergerak untuk bertanya lagi. Mary memrotes, ia kembali berlagak serius.
“Jangan buang-buang waktu untuk mengobrol. Setiap menit sangat berharga, para tentara Herodes sedang menyiksa ayahku. Aku berjanji akan menceritakan kisah Alkitab kepada kalian, nanti.”
“Ayahmu juga,” tambah Abdias dengan nada sungguh-sungguh. “Kalau Barabbas sudah membebaskannya, ia juga harus bercerita untuk kami.”
* * *
Setelah berbelok-belok, di kelokan jalan yang tak terlalu jauh, mereka tiba di sebuah jalan yang lebar. Rumah-rumah yang berada di pinggirnya agak terawat, dipercantik taman-taman. Beberapa wanita bekerja di sana. Mereka memandang heran pada kelompok anak-anak ini. Setelah mengenali Abdias dan teman-temannya, mereka segera kembali bekerja.
Abdias mengambil jalan pintas lagi ke sebelah kanan, memasuki sebuah gang yang diapit tembok bata tebal tak berlapis: Bangunan bergaya Roma kuno. Di sana-sini, tanaman grenadier liar dan tamaris mendesak dari retakan, menutupi sekaligus memerlebar celah-celah itu. Beberapa bahkan sangat besar dan kuat sehingga semaknya yang rapat menumbuhi tembok sampai setinggi orang dewasa.
Mary melihat beberapa anak diam di belakang, di ujung jalan tersebut. Setelah diberi isyarat oleh Abdias, mereka berlari ke depan.
“Mereka akan mengintai,” pimpinan cilik itu menjelaskan.
Ia bergegas menarik Mary ke balik semak tamaris yang tebal. Pokok pohon menggoyangkan ranting yang kering, tetapi cukup lemas sehingga dapat disingkirkan sebelum melintasinya.
“Cepatlah,” bisik Abdias.
Mantelnya terasa mengganggu. Mary melepaskannya dengan canggung. Abdias membantu sambil mendorong gadis itu maju.
Di sisi lain, Mary terkejut mendapati dirinya di sebuah ladang kacang polong yang lebat, ditandai sejumlah tanaman amandier berupa gundukkan kecil. Abdias melompat ke sebelahnya, diikuti dua anak lain.
“Lari!” perintahnya sambil menyurukkan mantel ke tangan Mary.
Mereka menyusuri kacang polong dan membentuk kelompok yang bercerai berai. Abdias, mendahului mereka, menaiki tangga yang diseraki pecahan bata. Mereka memasuki sebuah ruangan persegi yang dinding dalamnya sudah diremukkan. Dari balik lubang, Mary melihat bagian belakang sebuah bangunan lain. Bentuknya juga ala Roma dan sangat kuno. Langit-langit dari genting bulat sebagian telah ambruk.
Abdias melihat jembatan goyang dari kayu yang, sejak runtuhnya tembok itu, menembus sebuah tingkap bangunan besar bergaya Roma.
“Kita merangkak ke bawahnya. Tidak apa-apa, bahannya kuat. Dan dari sisi lain, ada sebuah tangga.”
Mary menuju ke sana, nafasnya tertahan. Memang kokoh, mungkin, tapi benar-benar goyah. Ia menyelinap ke balik tingkap, menjatuhkan diri dengan lembut ke atas sebilah papan. Ruangan tempatnya berada menyerupai sebuah loteng kecil. Keranjang-keranjang tua yang digunakan untuk mengangkut tempayan, aus karena lembab dan rayap, bertumpuk di satu sudut. Jalinan jerami yang kacau dan berserakan berderit saat diinjaknya. Ia merasakan daun pintu didorong dari lubang masuk sementara di belakangnya, Abdias melompat ke atas papan.
“Ayo, turun,” ia mendorong Mary.
Ruangan di bawah hampir suram karena pintunya sangat sempit. Meskipun demikian, cahaya yang sedikit itu cukup untuk melihat bahwa lantai ubin jauh dari papan tempat Mary berdiri. Paling tidak, empat atau lima kali tingginya.
Sambil meraba-raba dengan ujung kaki, ia mencari pegangan tangga. Abdias tersenyum mengejek, melompat ke depannya, dan meraih tangan Mary dengan gembira.
“Tidak terlalu tinggi, kok,” ia menggoda. “Berkali-kali bahkan aku tak pernah melewati tangga. Langsung lompat saja.”
Mary tak menjawab, merasakan anak tangga yang bergoyang-goyang di bawahnya. Ia menuruninya dengan gigi digertakkan. Sebelum mencapai tanah, sepasang tangan yang kuat menopang tubuhnya. Ia memekik ketika diangkat dan diturunkan di atas tanah.
“Aku yakin kita saling mengagumi,” ujar Barabbas, dengan suara geli.
* * *
Seberkas cahaya yang tak mudah diungkap bersinar dari belakang. Sinar itu menampakkan wajahnya samar-samar.
Di belakangnya, Abdias merosot seperti sehelai bulu sepanjang tangga. Barabbas mengacak-acak rambutnya yang tebal dan kusut masai dengan lembut.
“Kau juga sama beraninya dengan dia,” ia berkata pada Mary. “Kau mempercayakan hidupmu pada anak-anak berandal ini. Di Safuria, tidak banyak orang yang berani melakukannya.”
Wajah Abdias berseri-seri bangga.
“Sudah kulakukan sesuai perintahmu, Barabbas. Dan ia menurut.”
“Bagus. Sekarang, pergilah makan.”
“Tidak bisa. Yang lain menungguku di seberang sana.”
Barabbas menonjok Abdias pelan dan mendorongnya ke pintu.
“Mereka sudah menunggumu. Ayo, makanlah.”
Anak lelaki itu menggumam protes dengan lirih. Sebelum menghilang, ia melayangkan senyum lebar yang mendadak ke arah Mary. Untuk pertama kalinya, wajahnya benar-benar mirip seorang anak.
“Tampaknya kalian sudah akrab,” ujar Barabbas melihat isyarat itu. “Membingungkan, ya? Umur Abdias hampir lima belas tapi ia masih seperti berusia sepuluh tahun. Kebiasaannya makannya lebih unik lagi. Sewaktu baru mengenalnya, Abdias hanya makan sekali dalam dua atau tiga hari. Kukira ibunya melahirkan dia bersama seekor unta.”
Kemudian ia membuka pintu loteng, menuju arah yang terang. Mary melihat perubahan fisik Barabbas, bahkan lebih dari yang diduganya.
Janggut tebal dan rapat menutupi pipinya. Ia nampak lebih tinggi dari yang diingat Mary. Bahunya melebar dan dadanya kokoh. Tunik putih yang unik dari bulu domba, membungkus tubuhnya dengan ikat pinggang kulit yang selebar lengannya, menyelubungi seluruh badan. Sebilah pedang pendek berada di sisi tubuhnya. Sepatu setinggi betis bertali gaya Roma yang bagus membungkus kakinya. Bandana panjang dari linen berwarna oker dengan kain hijau dan merah yang menjulur menutupi kepalanya.
Penampilan yang menyolok dan mengejutkan pada diri seorang pemuda yang tengah bersembunyi. Benda-benda itu jelas tidak diperoleh Barabbas dari seniman Safuria yang miskin.
Ia meraba jalan pikiran Mary. Seringai nakal mewarnai parasnya lagi.
“Aku sengaja berdandan untuk menyambutmu. Jangan berpikir bahwa aku selalu berpakaian seperti ini!”
Mary tahu bahwa Barabbas mengatakan yang sesungguhnya. Ia pun berpikir bahwa Barabbas berusaha tak tampak sombong. Kelembutan, rasa ingin tahu dan ironi masih terlihat dari sosoknya.
Ia membuyarkan renungan itu dengan mimik yang mengejutkan.
“Mary de Nazaret! Syukurlah kau memberitahukan namamu kepada Abdias. Aku takkan mengenalimu,” ia berbohong. “Aku hanya ingat pada seorang bocah, bukan gadis secantik dirimu.”
Timbul keinginan Mary untuk balas mengejek. Tetapi saat ini, ia tak boleh membuang waktu. Barabbas agaknya lupa mengapa ia datang kemari.
“Aku datang karena memerlukan pertolonganmu,” ungkapnya kering, suaranya lebih cemas dari yang ia kira.
Barabbas mengerti dan segera berubah serius pula.
“Aku tahu. Abdias sudah mengatakan perihal ayahmu. Sungguh kabar yang buruk.”
Ketika Mary hendak berbicara lagi, Barabbas mengangkat tangannya.
“Tunggu sebentar. Jangan bicarakan itu di sini. Kita belum sampai di rumahku.”
Mereka memasuki semacam lorong yang dibatasi dengan unik oleh ubin besar berkilat yang membentuk sebuah labirin koridor sempit, terdiri dari ruang minum, pondok-pondok, bahkan sebuah kanal dari bata dan keramik, yang terlihat misterius di mata Mary. Dindingnya kelam oleh jelaga, terkelupas di sana-sini, seolah bata dan kapur merupakan kulit yang rapuh.
“Ikuti aku,” ajak Barabbas sambil memandunya menyusuri lantai dari ubin yang bersinar dan berlubang.
Mereka menuju sebuah serambi rusak, namun pintunya masih kokoh seperti baru. Pintu itu terbuka kala Barabbas mendorongnya. Mary melangkah masuk. Ia terpaku seketika. Belum pernah dilihatnya temapt seperti ini. Ruangan itu amat luas, ditengahnya terdapat kolam besar, dan langit-langitnya tidak menutup seluruh batas. Pilar-pilar yang elegan menopangnya. Lukisan manusia yang sangat besar, hewan-hewan yang tidak lazim, tanaman bunga yang tertata rapi menyelubungi dinding hingga mencapai balok tebal di langit-langit. Lantainya terbuat dari batu yang memantulkan warna hijau membentuk geometri di antara lempengan marmer.
Meskipun demikian, ini bukan sekedar monumen yang megah. Air kolam begitu biru sehingga hampir memantulkan awan. Rumput laut bergoyang-goyang dalam keremangannya, sedangkan kepiting air berlari di permukaan. Marmer agak berkilau, lukisan-lukisan terkadang tercoret berkas putih, bayangan kelembaban menodai bagian atas dinding. Sebagian langit-langit rusak seperti akibat terbakar, tetapi begitu jauh sehingga hujan membasahi kayu sisa yang hangus. Di bagian yang paling bersih, gundukkan karung dan keranjang penuh gandum, kulit, dan kain menggumpal. Pelana kulit unta, senjata, kulit kambing bertumpuk di antara deretan pilar mencapai atap.
Dalam keadaan berantakan ini, sekitar lima puluh orang pria dan wanita berdiri atau berbaring di atas hamparan atau bungkusan wol. Mereka sama sekali tidak tampak ramah.
“Masuklah,” kata Barabbas. “Kau aman. Di sini, semua telah memiliki apa yang mereka inginkan.”
Ia berbalik ke arah teman-temannya, dengan kebanggaan yang mengagumkan ia berseru cukup keras, “Ini Mary de Nazaret. Seorang gadis pemberani yang telah menyembunyikanku suatu malam ketika tentara Herodes ingin menangkapku.”
Ia tidak perlu berbicara panjang lebar. Semua menoleh. Karena terpesona oleh tempat itu, Mary masih berdiri diam. Sikap asing orang-orang dihadapannya begitu kentara, jarang yang bersuara, sehingga sama bekunya dengan lukisan dinding. Di beberapa sudut nampak sebagian organ tubuh, wajah, patung dada, anggota badan, samar oleh kain yang transparan. Semuanya begitu nyata dan mengagumkan.
“Ini pertama kalinya kau melihat rumah bergaya Roma, bukan?” ucap Barabbas senang.
Mary mengiyakan.
“Para rabi mengatakan bahwa agama kita melarang lukisan wanita dan pria dalam sebuah rumah...”
“Dan bahkan binatang! Kambing, juga bunga-bunga.”
Ia terdengar lebih mengejek dari sebelumnya.
“Memang sudah lama aku tidak mendengarkan lagi bualan munafik yang diulang-ulang para rabi, Mary de Nazaret. Tempat ini sangat nyaman bagiku.”
Sambil menggoyangkan tunik kulit kambingnya dengan gerakan teatrikal yang lucu, Barabbas menjelaskan semua yang berada di sekeliling mereka.
“Ketika Herodes berumur dua puluh tahun, segalanya menjadi miliknya. Ia yang tak lebih dari anak manja dan menjadi penguasa kecil di Galilea. Ia datang kemari untuk mandi. Ia mengeluh disitu, tentu saja. Bersama wanita-wanita yang lebih nyata dari lukisan di dinding itu. Orang-orang Roma yang mengajarinya untuk meniru mereka, menjadi seorang Yahudi yang baik dan mudah diatur, seperti yang mereka sukai. Ia melakukannya dengan baik, mencari muka mereka sehingga diangkat sebagai raja mereka. Raja Israel dan para rabi di Sanhadurim. Safuria dan Galilea sengsara karena hanya merupakan ladang pajak bagi mereka.”
Teman-teman Barabbas mendengarkan sambil menyetujui cerita yang telah mereka hafal, tetapi tidak mereka biarkan. Barabbas melukiskan lorong ganjil yang baru saja mereka lintasi.
“Yang kau lihat di sana adalah rumah-rumah yang dapat menghangatkan air kolam di musim dingin. Sudah bertahun-tahun, para budak yang menjaganya membakar kayu di sana. Mereka melarikan diri ketika tempat di sebelahnya kebakaran, dan semua terbengkalai. Tak seorang pun bisa memasukinya. Tempat itu selalu menjadi milik Herodes, bukan? Bahkan sampai hari ini. Sampai apa yang kuperbuat pada rumah ini. Tempat bersembunyi terbaik di Safuria!”
Tawa dan canda membahana. Barabbas menanggapi, bangga dengan akal bulusnya.
“Herodes dan tentara Roma mencari kami ke mana-mana. Percayakah kau bahwa mereka pernah menduga kami berada di sini? Tidak! Mereka benar-benar dungu.”
Mary yakin akan hal itu. Tetapi Barabbas hampir tak menyadari bahwa ia berada di sini bukan untuk menyambut keberhasilan tersebut.
“Aku tahu kau sangat cerdik,” katanya dingin. “Itulah sebabnya aku menjumpaimu, walaupun semua orang di Nazaret menganggapmu bandit seperti yang lainnya.”
Gelak tawa menjadi lamat-lamat. Barabbas mengelus-elus dagunya dan menggelengkan kepala seperti menyanggah sindiran yang baru terlontar.
“Orang-orang Nazaret itu penakut,” gumamnya. “Semua, kecuali ayahmu karena apa yang telah diperbuatnya.”
“Pokoknya ayahku berada di bawah cengkeraman tentara Herodes, Barabbas. Kita membuang waktu dengan omong kosong ini.”
Mary khawatir nada suaranya yang keras memicu amarah pemuda itu, sementara teman-temannya membelalakkan mata. Di belakang sekelompok wanita, Abdias berdiri menggenggam roti dengan alis terangkat.
Barabbas ragu. Ia melemparkan pandangan menghina. Kemudian ia berkata dengan ketenangan yang tak terduga, “Jika kepribadian ayahmu seperti dirimu, aku mengerti apa yang dialaminya!”
Ia menghampiri salah satu ceruk di bawah dinding berlukisan yang mengelilingi kolam. Tempat itu ditata seperti sebuah kamar. Sebuah kasur jerami ditutupi kulit sapi, dua bangku dan sebuah lampu. Dua bangku kayu tinggi dari perunggu menghiasi sebuah dataran besar dari tembaga penuh gelas tinggi berbentuk piala dan sebuah guci perak. Perabotan dan benda-benda mewah yang jelas dicuri dari saudagar kaya asal negeri gurun diletakkan di sana-sini.
Walaupun tidak sabar dan tegang, Mary memperhatikan kebanggan Barabbas ketika mengisi sebuah gelas piala dengan susu fermentasi bercampur madu.
“Ceritakanlah,” katanya sambil duduk dengan nyaman di atas gumpalan kapas.
* * *
Tatkala gadis itu terdiam, Barabbas bersiul.
“Jelas, ayahmu akan disalib. Membunuh tentara dan menikam petugas pajak...mereka tak mungkin mengampuninya.”
Sekali lagi, jemarinya bermain-main di dagunya dengan gaya yang membuatnya nampak jauh lebih tua.
“Jadi kau ingin aku menyerbu benteng Tiberias?”
“Jangan sampai ayahku tewas disalib. Kita harus mencegahnya.”
“Mengatakannya memang mudah, Manis. Alih-alih menolongnya, mungkin kau malah mati bersamanya.”
Cibirannya lebih mengungkap rasa malu daripada ironi.
“Sayang memang jika mereka membunuhku bersamanya. Paling tidak, aku tidak berpangku tangan melihat ketidakadilan.”
Mary belum pernah mengucapkan kata-kata yang demikian keras dan tegas. Namun ia tahu bahwa yang dikatakannya itu benar. Ia tidak gentar terhadap risiko kehilangan nyawa karenamembela ayahnya.
Barabbas menyadari hal itu pula. Perasaan kikuknya bertambah.
“Keberanian saja tidak cukup. Benteng itu tidak mudah ditembus dan orang tidak bisa berkeliaran di dalamnya seperti di ladang kacang polong! Kau berkhayal. Kau takkan sanggup memasukinya.”
Mary bersikeras, mulutnya mengerucut. Barabbas menggelengkan kepala.
“Tak seorang pun bisa,” ia menegaskan sambil memukul dada. “Tidak satu pun, bahkan aku.”
Ia menegaskan kalimat akhir seraya melemparkan pandangan sarat kecongkakkan untuk menekan hasrat memberontak pada diri Mary. Dengan wajah membeku, ia balas memandang.
Barabbas membuang muka pertama kali. Sambil menggerutu, ia beranjak dari tempat duduknya dengan gugup dan berjalan ke tepi kolam. Beberapa kawannya pasti telah mendengar perkataan Mary, dan semua mengamati mereka. Ia berbalik. Suaranya keras, tangannya terkepal. Kekuatan yang menjadikannya pimpinan sebuah kelompok yang termasyhur kian nampak.
“Yang kau minta itu mustahil!” ujarnya dengan marah. “Apa yang kau pikirkan? Apakah kita memerangi tentara Herodes seperti merobek sehelai kain? Menyerang bentengnya seperti merampok karavan saudagar Arab? Kau bermimpi, Mary de Nazaret. Kau tak mengerti apa yang kau bicarakan!”
Gelombang kecemasan menghinggapi Mary. Ia tak pernah menduga bahwa Barabbas dapat menolak permintaannya. Tak sedikit pun ia berpikir bahwa orang-orang Nazaret benar.
Apakah Barabbas tak lebih dari seorang pencuri? Telahkah ia melupakan pernyataan-pernyataan agung yang tempo hari menjelaskan tujuannya merampok? Mungkin saja ia hanya berpura-pura. Barabbas bukan lagi seorang pemberontak. Ia hanya penikmat kemewahan, lumer ketika menyentuh benda-benda yang dicurinya dan berubah menjadi seperti para pemiliknya: munafik, lebih tergiur emas atau perak dibandingkan keadilan. Keberaniannya terkikis oleh kemenangan-kemenangan yang mudah digapai.
Mary bangkit dari kursinya. Ia tidak mau mempermalukan diri di hadapan Barabbas dengan memohon-mohon kepadanya. Ia mengembangkan senyum lebar, berlagak berterima kasih atas sambutannya.
Barabbas melompat ke dekatnya dengan tangan terangkat.
“Tunggu! Aku tahu apa yang kau pikirkan. Matamu berbicara dengan jelas. Kau yakin bahwa aku telah melupakan utang budi padamu, dan aku tak lebih dari seorang penyamun. Kau memikirkan hal-hal konyol tetapi perasaanmu terlalu kelihatan.”
Getaran amarah dalam suara pemuda itu ke kepalan tangannya. Beberapa temannya mendekat saat ia berbicara kian keras.
“Barabbas masih seperti dulu. Aku mencuri untuk hidup dan menghidupi para pengikutku. Termasuk anak-anak yang kau temui tadi.”
Ia menujuk mereka yang menghampirinya.
“Tahukah kau siapa mereka? Kaum Am-haretz. Orang-ornag yang kehilangan segalanya akibat ulah Herodes dan bangsat-bangasat Sanhadurim. Mereka tidak mengharapkan apa-apa dari siapa pun juga. Terutama orang Yahudi Galilea yang tak ubahnya kerbau dicocok hidung! Apalagi para rabi yang hanya bis membual dan menceramahi kita. ‘Orang-orang kotor akan kembali ke tempat yang kotor!’, begitulah pemikiran mereka. Jika tidak merampok orang kaya, kami menerobos tempat yang terbuka. Itulah kebenarannya. Bukan tempat seperti Nazaretmu itu.”
Ia berteriak-teriak. Pembuluh darah di dahinya mencuat. Pipinya memerah. Semua merapat di belakangnya, menghadapi Mary. Abdias menerobos agar dapat berdiri di deretan depan.
“Takkan pernah kulupakan tujuanku, Mary de Nazaret!” seru Barabbas sambil menepuk dadanya. “Tak pernah. Bahkan ketika aku tidur. Melawan Herodes, mengusir orang Roma keluar dari Israel, itulah keinginanku. Juga menendang pantat orang-orang Sanhadurim yang sibuk menguras harta rakyat.”
Tanpa reaksi berlebihan terhadap pengumuman yang dikumandangkan itu, Mary menggelengkan kepala.
“Dan bagaimana kau melawan Herodes, jika membebaskan ayahku dari benteng Tiberias saja tidak mampu?”
Barabbas memukulkan telapak tangannya di atas paha. Matanya bersinar penuh amarah.
“Kau hanya seorang anak perempuan, tak mengerti soal peperangan! Jika aku mati, aku bebas. Tetapi orang-orang di sana itu, mereka mengikutiku karena tahu bahwa aku takkan membawanya dalam pertempuran konyol. Di Tiberias, dua pasukan infantri Roma menjaga benteng itu. Lima ratus legiun. Ditambah seratus tentara bayaran. Coba hitung! Kami takkan pernah mampu membebaskan ayahmu. Apa gunanya kematian kami kelak? Untuk bergabung dengan Herodes!”
Dengan wajah pucat dan jari-jari bergetar, Mary menggeleng.
“Benar. Tentu saja kau benar. Aku yang salah. Kukira kau lebih kuat dari ini.”
“Ah!”
Seruan Barabbas menggaung di atas air kolam, bergetar di antara pilar-pilar. Diraihnya pundak Mary, yang sudah siap melangkah pergi.
“Aku gila, kau pembohong yang buruk... Kau lupa satu hal. Bahkan jika ayahmu dapat kabur dari benteng, ia akan menjadi seperti kami selama sisa hidupnya. Seorang buronan. Ia tak dapat lagi bekerja di bengkel. Tentara akan menghancurkan rumah kalian. Kau dan ibumu harus bersembunyi di Galilea seumur hidup...”
Mary melepaskan diri dengan sinis.
“Yang tidak kau pahami adalah lebih baik mati saat berjuang! Mati kala melawan tentara daripada dipermalukan di atas salib! Herodes menang, Herodes lebih kuat daripada rakyat Israel, karena kita tunduk ketika ia menyiksa orang-orang yang kita cintai di depan hidung kita.”
Jawaban Mary menimbulkan kesenyapan.
Abdiaslah yang memecah keheningan itu. Ia menghampiri Mary dan Barabbas.
“Ia benar. Aku akan pergi bersamanya. Aku akan mengendap-endap dan pada malam hari, akan menyelamatkan ayahnya dari salib.”
“Tutup mulutmu atau kutendang pantatmu!” sela Barabbas dengan nada bergurau.
Mereka berhenti, berpaling tiba-tiba pada para temannya. Mata Barabbas berkilat penuh semangat.
“Makhluk kecil ini benar! Sungguh tolol menemui ajal ketika berusaha memasuki benteng. Tetapi karena Joachim akan disalib, persoalannya menjadi lain!”
* * *
Jangan biarkan ayahmu terlalu lama meringkuk di penjara,” jelas Barabbas antusias. “Para tahanan memenuhi tempat itu. Mereka yang dibuang, mereka yang telah melakukan perampasan dengan dalil kesalehan. Di situlah kita dapat menolong ayahmu. Kita loloskan orang-orang pesakitan itu dari salib. Abdias benar tentang malam hari. Perlahan-lahan, jika memungkinkan. Serangan seperti ini sudah lama kuimpikan. Dengan sedikit peluang, kita dapat juga menolong beberapa tahanan lainnya. Tetapi kita harus bergerak seperti rubah: mengejutkan, cepat, dan melarikan diri secepat mungkin!”
Seluruh kemarahannya telah lenyap. Ia tertawa seperti anak-anak, gembira membayangkan betapa dirinya akan mempermainkan serdadu-serdadu garnisun Tiberias.
“Melepaskan para hukuman di Tiberias! Dengan bantuan Tuhan, kalau Dia memang ada, ini akan menggemparkan. Herodes akan kebakaran jenggot dan membuat kehebohan di kalangan tentara!”
Mereka semua tergelak membayangkan keberhasilan itu.
Mary cemas. Tidakkah mereka akan terlambat? Sebelum disalib, ayahnya pasti sudah berkali-kali dihajar, ditikam, dan bahkan mungkin sudah mati. Seringkali para tahanan telah menghembuskan nafas terakhir jauh sebelum disalib.
“Itu hanya bisa terjadi bila kita beruntung. Pada orang-orang yang diberkati sebelum mereka menderita terlalu lama,” Barabbas meyakinkan. Mereka ingin melihat ayahmu sengsara selama mugkin. Tetapi ia akan baik-baik saja. Tentu saja mereka akan memukulnya, melecehkannya, dan menyiksanya dengan haus dan lapar. Tetapi mereka akan gigit jari. Kita akan menurunkannya dari salib tepat pada malam pertamanya.”
Barabbas berpaling pada kawan-kawannya dan memberitahukan apa yang ingin mereka ketahui sejak tadi.
“Mereka tidak akan senang kehilangan tawanan yang akan disalib. Tentara takkan melepaskan kita lagi. Kita tidak dapat kembali ke sini, tempat ini tidak aman. Pokoknya kita tidak bisa memasuki desa lagi. Setelah penyerbuan itu, kita harus berpisah selama beberapa bulan. Kita hidup dengan persediaan yang ada ...”
Salah satu yang paling tua mengangkat tangan.
“Tidak perlu terlalu banyak bicara, Barabbas! Kita tahu akibatnya. Tidak jadi soal. Segala sesuatu yang menyulitkan Herodes membuat kita bahagia!”
Sorak-sorai bergemuruh. Selama beberapa saat, bekas tempat mandi Herodes hiruk-pikuk, sementara Barabbas masih memberikan perintah dan orang-orang menyiapkan keberangkatan.
Abdias menarik lengan baju Barabbas dengan tidak sabar.
“Aku harus memberitahu yang lain. Kita berpencar tanpa menunggumu seperti biasa, bukan begitu?”
“Sebelumnya kita harus mengambil gerobak dan keledai dulu. Kita akan memerlukan pedati.”
Abdias mengangguk. Ia menjauh, menari-nari dan melihat ke arah Mary. Giginya yang buruk menyembul kala ia tersenyum dan berkata, “Tadi aku berkata yang sebenarnya. Bila kau tidak mau, aku akan menemaninya pergi.”
“Kau harus mematuhiku atau kusumbat mulutmu,” tawa Barabbas sambil menjentikkan jari mengancam.
“Hah! Kau lupa siapa yang punya ide untuk menolong ayahnya. Aku, bukan kau. Sekarang kau bukan lagi ketua. Kita sederajat.”
Kebanggaan menyinari wajahnya yang aneh, menciptakan ketampanan sekilas seorang anak laki-laki. Dengan suara mengolok-olok, ia menambahkan, “Dan kau akan lihat, akulah yang akan disukai Mary de Nazaret. Bukan kau!”
Ketika ia pergi, tawanya bergema di antara dinding pemandian umum. Dari sudut mata, Mary melihat raut wajah Barabbas merah padam.
* * *
Ketika malam meremang, sebuah karavan yang sama dengan karavan-karavan lain yang lalu-lalang di jalan-jalan Galilea pada hari pasar besar Kapernaum, tiberias, Yerusalem atau Kaisera, meninggalkan Safuria.
Ditarik hewan-hewan yang tampak sama malangnya dengan pemilik mereka, lusinan pedati mengangkut gulungan wol, kain rami, kulit sapi dan berkarung-karung gandum. Masing-masing memiliki lapisan tersembunyi tempat Barabbasdan teman-temannya menyelinapkan sejumlah besar pisau, pedang pendek, kampak perang, dan bahkan beberapa lembing Roma yang diambil diam-diam dari gudang senjata.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar