Kamis, 07 Juli 2011

Virgin Mary: Perawan Suci Maryam

10

Seperti malam-malam sebelumnya, Mary terbangun dalam kegelapan. Ia membuka mata. Di sebelahnya Maryam tidur dengan nafas teratur. Sekali lagi ia merasa iri pada kelelapan tidurnya.

Mata Mary setengah terbuka. Mengapa ia merasa bersalah karena tak dapat tidur? Kecemasan menghantuinya. Terasa tenggorokannya seperti tercekat.

Mary menyesal telah berjanji pada Rachel untuk tinggal sehari lagi di Magdala. Akan lebih baik jika ia berangkat ke Nazaret atau Yozpat pagi-pagi sekali.

Ia turun dari tempat tidur tanpa suara. Di ruangan lain, ia melewati tempat tidur dua pelayan untuk mencapai lorong yang besar.

Dengan kaki telanjang dan syal tebal menutupi pakaiannya, ia berjalan ke luar rumah. Tanpa ragu, ia menjejak rumput yang basah oleh embun malam. Bulan sabit meremangkan siluet di tepi danau. Ia menuju ke sana dengan hati-hati. Beberapa minggu terakhir ini, setiap malam ia berjalan-jalan dan memandangi dedaunan yang bergemerisik dihembus angin dan kecipak air danau.

Ia berjalan ke arah dinding dermaga, tempat ditambatkannya perahu-perahu milik keluarga Rachel. Ia meraba batu-batu yang ada di sekeliling tempat itu dan duduk di atas yang paling besar. Di depannya pohon kercut membentuk dinding kelam, menukik ke dalam danau, menyerupai sebuah lorong. Sebaliknya, langit terlihat cerah. Di atas tepian lain, terlihat berkas biru yang mewarnai malam menjelang dini hari.

Mary terdiam terpaku. Betapa langit luas yang bertabur bintang itu melepaskan beban yang menyesakkan dadanya. Burung-burung tak bersuara. Hanya terdengar hempasan gelombang menerpa bebatuan di tepian danau atau berdesir di antara pohon kerucut.

Mary tetap diam di sana selama beberapa saat. Menikmati bayangan demi bayangan. Kecemasan, keraguan, dan bahkan kekesalannya menguap. Ia memikirkan Maryam. Hingga kini, betapa ia merasa bahagia melewati hari-hari bersama gadis itu. Perpisahan mereka akan dipenuhi keharuan. Rachel benar, karena ia telah mencegahnya pergi begitu saja.

Ia tersentak. Bunyi yang beraturan terdengar di permukaan danau. Hentakan keras kayu dengan kayu. Dayung yang beradu dengan badan sebuah perahu. Itulah yang ia dengar. Gerakan yang teratur, kuat namun perlahan. Mary memandang ke air.

Siapa gerangan yang naik perahu malam-malam begini? Para nelayan yang menggunakan angin sejak matahari baru terbit tidak pernah sampai ke danau ini sebelum dini hari tiba.

Meski khawatir, ia ragu-ragu untuk membangunkan para pelayan. Mungkinkah seorang suami yang cemburu mengutus penjahat untuk menyerang? Hal itu pernah terjadi. Seringkali Rachel dan ‘rumahnya yang penuh kebohongan’ diancam para lelaki yang mengetahui pengaruhnya terhadap istri-istri mereka.

Dengan hati-hati, Mary menyusuri dinding dermaga dan merunduk di bawah dahan-dahan pohon tamaris. Ia tak dapat menunggu lebih lama lagi. Terlihat jelas di permukaan danau yang memantulkan semburat langit nan terang dari rah timur, sebuah perahu kecil muncul.

Perahu itu meluncur perlahan. Seorang pria berdiri di buritan mengayunkan dayung yang panjang. Ketika sampai di tengah barisan pohon kercut yang menuju dermaga, ia berhenti. Mary menduga ia mencari tambatan.

Dengan gerakan yang luwes, lebih keras, dan lebih panjang, ia memutar perahu dan mengarahkannya ke tempat Mary berada.

Sekali lagi gadis itu berpikir untuk melarikan diri. Tetapi rasa takut membuatnya terpaku. Sementara itu ia berusaha mengamati orang yang datang tersebut. Ada sesuatu yang akrab dalam siluetnya, rambutnya, pada caranya memalingkan kepala ke belakang. Namun rasanya tidak mungkin.

Pemuda itu segera berhenti menggerakkan perahu dan hanya mengarahkannya dengan kemudi. Sebuah suara menunjukkan ujung perahu telah membentur dinding. Pemuda itu hilang dalam keremangan. Lalu tiba-tiba ia muncul dan membungkuk untuk menambatkan perahunya dengan tambang. Perahu itu bergoyang. Si pemuda bergerak cekatan untuk meperkuat ikatannya. Sosoknya mulai jelas diterpa fajar yang baru merebak. Mary yakin bahwa dirinya tidak keliru.

Bagaimana mungkin?

Ia keluar dari persembunyiannya dan melangkah maju.

Pemuda itu mendengar langkah kakinya yang cepat. Ia meloncat ke atas dinding pembatas. Kilatan sebuah benda logam terlihat dalam keremangan bayangan. Mary memekik takut, khawatir salah menduga. Sesaat, mereka tetap diam dan saling memandang.

“Barabbas?” tanya Mary dengan suara lirih.

Pemuda itu tak bergerak. Ia begitu dekat hingga Mary dapat mendengar helaan nafasnya.

“Ini aku, Mary,” katanya berusaha meyakinkan.

Pemuda itu tak menjawab. Ia kembali ke perahunya dan memeriksa tambang yang tadi diikatkannya. Kini, sinar samar-samar di langit menerangi sosoknya. Mary tak lagi ragu.

Ia maju dengan terentang. “Barabbas! Kaukah itu?”

Kali ini, pemuda itu berhadapan dengannya. Tatkala Mary sudah amat dekat sehingga dapat menyentuhnya , ia berseru dengan suara parau dan kaget, “Sedang apa malam-malam kau di sini?”

Mary tertawa. Ia gugup sekaligus amat bahagia. Sudah lama ia tak merasa segembira ini. Ia memekik kegirangan, berlari menghampiri dan menjabat tangan Barabbas dengan hangatnya.

Dirasakannya si pemuda bergetar ketakutan. Ia terdiam, melepaskan jabatan Mary dan berkata sebelum ditanya, “Aku memerlukan bantuanmu. Abdias bersamaku.”

“Abdias?”

Barabbas menunjuk ke arah perahu. Mary melihat bayangan hitam menyerupai onggokan di dasar perahu, sesosok tubuh di atas lembaran kulit sapi.

“Ia sedang tidur,” katanya sambil tersenyum.

Barabbas menyelinap ke pintu perahu.

“Ia tidak tidur. Abdias terluka dan kotor.”

Kegembiraan yang tadi merambah hati Mary menguap. Barabbas mengangkat tubuh pemuda Am-haretz yang tak bergerak itu.

“Apa yang terjadi? Parahkah keadaanya?” tanya Mary.

Barabbas tak menjawab, ia nampak kesal. “Tolong aku.”

Mary beranjak menyelinapkan tangannya ke bawah punggung Abdias. Cairan lembab yang hangat membashi telapak tangan dan jari-jarinya.

“Ya Tuhan! Ia berlumuran darah.”

“Ia harus diselamatkan. Itu sebabnya aku kemari.”

* * *

Penghuni rumah segera dibangunkan. Lampu-lampu dan obor dinyalakan di ruangan tempat Barabbas membaringkan Abdias.

Rachel, Maryam, para pelayan, bahkan sang sais Rekab, mengerumuni tempat tidur. Tubuh pucat pemuda Am-haretz itu tampak rapuh bagaikan bocah berumur sepuluh tahun, tetapi wajahnya yang aneh memancarkan ketidaksadaran dan rasa sakit sehingga tampak lebih tua dan lebih keras dari biasanya. Sehelai kain lebar keberuntungan, yang kuyup oleh darah dan kotor oleh gumpalan debu, membebat dadanya.

“Kami berusaha sebisa mungkin agar ia tidak mati kehabisan darah seperti sapi,” bisik Barabbas. “Tapi ia terus merintih. Aku tidak tahu cara membuat ramuan. Di tempat kami, tak ada yang dapat membantu. Letaknya tak terlalu jauh dari sini...”

Kalimatnya tergantung karena sebuah gerakan yang ragu-ragu. Rachel mengangguk. Ia meyakinkan Barabbas bahwa tindakannya benar, lalu ia menyuruh keluar para pembantu yang memandangi penyamun yang telah lama mereka dengar namanya. Wajah Barabbas, di bawah sinar lampu, digerus keletihan dan kesedihan. Pandangannya tak lagi mengobarkan semangat dan amarah yang kerap Mary ingat. Kulit yang mengelupas akibat parutan-parutan luka nampak di sekujur lengannya dan ia segera meluruskan sebelah kaki.

“Kau juga terluka?” tanya Rachel cemas.

“Tidak apa-apa.”

Para pelayan membawa air panas dan kain bersih. Mary membuka perban di tubuh Abdias ragu-ragu. Jarinya gemetar. Rachel berlutut dan memasukkan sebatang kayu ke dalam lipatan kain yang telah kotor. Perlahan-lahan, ia membuat kain pembalut di depan Mary terbuka, menguk lukanya sedikit demi sedikit.

Di bawah ruang rangka dada, di atas perut, luk itu cukup lebar hingga dagingnya terlihat. Tikaman sebuah lembing tentara jelas teramat dalam menembusnya. Para pelayan terperanjat, menutup mata dan mulut mereka. Rachel menegur mereka. Dengan tenang, Maryam berdiri di dekat Mary yang gemetar sampai ke bibir. Ia merendam kain dalam air dan memberikannya pada temannya, yang mulai membersihkan luka Abdias dengan wajah tegang tanpa airmata.

Setelah melepaskan balutan lama, Rachel menoleh pada Barabbas. “Ini lebih parah dari yang kukira. Tak seorang pun di antara kita mampu mengobati luka seperti ini.”

Barabbas menyergah keras, “Dia harus diselamatkan! Lukanya harus ditutup dan dibubuhi ramuan...”

“Sudah berapa lama keadaanya seperti ini?”

“Dua malam. Awalnya ia tidak terlalu gawat. Hanya tak bisa tidur karena kesakitan. Seharusnya aku kemari lebih cepat. Tapi aku takut akan menambah lebar luka itu. Ia harus ditolong. Aku pernah lihat yng lebih parah...”

Kata-kata berhamburan dari mulutnya, seolah ia telah memulai ribuan kali pada setiap dayungan perahu yang mendekat ke Magdala.

Rachel melihatnya bergerak mundur ke sisi Mary, sementara gadis itu membersihkan wajah Abdias dalam diam. Barabbas melepaskan pegangannya dengan mulut getir.

“Istirahatlah!” kata Rachel dengan lembut. “Kau juga memerlukan perawatan. Makan dan pergilah tidur. Di sini kau tak dapat berbuat apa-apa.”

Barabbas menoleh pada Rachel seolah-olah tak mengerti apa yang dikatakannya. Wanita itu membalas pandangannya. Tatapan yang dihantui kengerian pembantaian. Ia mengerutkan kening sampai Barabbas menciut kemudian tersenyum.

“Pergilah!” tandas Rachel. “Kau harus istirahat. Kami akan merawat Abdias.”

Barabbas ragu-ragu dan melayangkan pandangannya ke arah Mary. Gadis itu ak membalasnya sampai Barabbas meninggalkan ruangan.

* * *

Selama diurus oleh Mary dan Rachel, Abdias tetap tak sadarkan diri. Wajahnya yang ganjil tidak menampakkan rasa sakit, namun juga tak bereaksi apa pun. Berkali-kali Mary mendekatkan pipinya ke mulut anak lelaki itu untuk memastikan bahwa ia masih bernafas. Ketika ia membersihkan noda-noda di tubuhnya, gerakannya semakin lama semakin lembut dan hati-hati.

Tubuh anak laki-laki itu penuh luka lebam. Memar-memar menghiasi pahanya dan kulit pinggulnya mengelupas. Tak diragukan lagi ia telah diseret di tanah. Mungkin dengan kuda dan dalam jarak yang jauh.

Terus terang Mary khawatir ada bagian tulang Abdias yang patah. Rachel pun mengkhawatirkan hal yang sama. Tanpa suara, ia meraba kaki dan lengan Abdias dengan sangat hati-hati. Ia menoleh pada Mary sambil menggeleng. Tampaknya tak ada tulang yang retak. Tapi sangatlah sulit untuk mengetahui bagaimana keadaan tulang pinggulnya.

Para pelayan kembali membawa sejumlah kain bersih. Sang sais telah membangunkan seorang wanita tetangga mereka yang terkenal luas pengetahuannya seputar tanam-tanaman dan berpraktek sebagai dukun bayi.

Ketika wanita itu melihat Abdias, ia merasa mual dan mulai mengeluh. Dengan nada dingin, Rachel memintanya untuk tenang dan bertanya kalau-kalau ia dapat membuat ramuan untuk merawat luka-luka dan terutama mencegah pendarahan.

Wanita itu akhirnya berhasil menenangkan diri. Maryam menyalakan lampu ketika si dukun bayi mendekati Abdias. Ia memeriksa anak lelaki itu dengan hati-hati. Semua rasa takutnya lenyap.

“Aku bisa membuat ramuan obat untuknya,” katanya sambil bangkit berdiri. “Juga pembalut yang dapat mencegah lukanya cepat membusuk. Akan kusiapkan juga jamu yang berkhasiat untuk memulihkan stamina anak malang ini, jika kalian dapat meminumknnya. Tapi aku tak dapat menjanjikan lebih jauh khasiatnya.”

Dengan bantuan Maryam dan para pelayan, sang dukun bayi membuat ramuan yang terdiri dari cmpuran tanah liat dan biji mostar yang dilumatkan dengan cabe dan bubuk cengkeh. Ia menyuruh para pelayan untuk memetik beberapa lembar daun consoude yang penuh bulu dan plantain yang memagari jalan di taman. Ia lalu mencampurkannya ke dalam adonan, mengaduknya hingga menghasilkan pasta bertekstur kental.

Secara berkala berdasarkan petunjuk wanita itu, Maryam merebus bawang putih dan akar tanaman serpole , thym dan biji-biji cardamome ke dalam susu kambing yang dibubuhi cuka. Biasanya ramuan ini digunakan untuk menguatkan orang-orang jompo yang jantungnya sudah lemah.

Dengan bantuan Rachel, Mary bersusah-payah meminumkannya pada Abdias, setelah si dukun bayi membalut luka-lukanya dengan ramuan dan sekali lagi membungkusnya dengan perban. Meskipun pingsan, Abdias terus memuntahkan kembali cairan yang masuk ke mulutnya. Mary dan Rachel harus sangat sabar meneteskan sedikit demi sedikit.

Akankah obat itu manjur? Ketika mereka membalikkan tubuh Abdias agar dapat membalut lukanya, anak lelaki itu kejang-kejang hingga membuat mereka berdua terperanjat. Mereka memperhatikan jemarinya yang bergerak-gerak seakan berusaha mencengkeram sesuatu. Saat mereka mengganti pembalut di punggungnya dengan hati-hati, nafas Abdias terdengar memburu. Kelopak matanya tiba-tiba terbuka. Pandangannya semula masih kabur. Wanita-wanita yang merawatnya menduga ia telah siuman.

Mata Abdias menelusuri wajah-wajah Maryam dan Rachel yang tak ia kenal. Rasa terkejut, sakit dan takut berbaur di wajahnya yang penuh parutan luka sehingga tampak lebih tua. Pandangan Abdias tertumbuk pada Mary. Mulutnya menganga. Ia berusaha bernafas walaupun sulit.

Sambil mendekatkan wajahnya ke muka Abdias, Mary memegang lembut tangn pemuda itu sambil berbisik, “Ini aku, Mary. Kau masih mengenaliku?”

Abdias mengerjapkan matanya. Seberkas senyum keceriaan bersinar di bola matanya. Ia nampak begitu lemah, namun Mary tak khawatir pemuda itu akan pingsan lagi.

Abdias terlihat berusaha keras mengumpulkan kekuatan untuk berbisik, “Barabbas sudah berjanji...Aku bisa melihatmu sebelum...”

Kata-katanya tersendat. Ia tak dapat menyelesaikan kalimatnya. Tapi matanya mengungkapkan apa yang ingin ia sampaikan.

“Jangan terlalu lelah dulu,” kata Mary sambil menaruh telunjuknya di mulut Abdias.”Tak usah bicara. Simpan tenagamu. Kami akan merawatmu.”

Abdias memberi isyarat penyangkalan.

“Tak mungkin...aku tahu...”

“Jangan berkata yang tidak-tidak.”

“Tak mungkin...luka-lukaku terlalu parah...Aku sudah melihat...”

Sambil tersedu, Maryam bangkit dan meninggalkan ruangan itu. Mary menyambar guci kecil berisi obat.

“Kau harus minum.”

Abdias tidak menolak. Mary membasahi dulu bibir Abdias yang pecah-pecah dengan kain, lalu menyelipkan ujung gelas dengan hati-hati ke mulutnya. Abdias minum sedikit dengan agak gemetar. Tapi ia memaksakan diri untuk meneguknya agar dapat memperoleh kekuatan.

Setelah beberapa tegukan, Mary meletakkan gelas itu dan mengelus pipi Abdias dengan lembut. Abdis menggapai tangan Mary dan menggenggamnya dengan jari-jarinya yang kurus.

“Aku berjanji pada Pak Joachim...Aku berjanji...”

Anehnya pandangan matanya penuh ironi.

“....Menikah denganmu...”

“Ya!” jawab Mary dengan penuh semangat. “Hiduplah, Abdias. Tetaplah hidup dan kau akan menjadi suamiku!”

Kali ini, senyuman benar-benar terkembang di bibir Abdias. Ia mengerjapkan matanya lagi. Jemarinya meremas jari Mary. Kemudian matanya terpejam. Hanya terlihat seringai di bibirnya.

“Abdias?” tanya Mary perlahan.

Tak ada jawaban.

“Apakah ia masih hidup?”

Pertanyaan itu terlontar dari Barabbas, yang sudah berdiri di ambang pintu. Mary yang melingkar di ujung tempat tidur mengecup tangan Abdias tanpa menjawab. Rachel membungkuk di dekatnya dan meraba dada pemuda itu.

“Ya. Ia masih hidup. Debar jantungnya terasa keras. Semoga Yang Maha Kuasa berbelas kasih padanya.”

* * *

Pada siang harinya, Abdias masih hidup. Demam membakar tubuhnya tak lama setelah ia kembali siuman. Mary berjaga tanpa kenal lelah.

Sang dukun bayi menyiapkan ramuan baru, campuran baru, memasukkan kain dalam rebusan mint dan cengkeh. Ia menjelaskan bahwa gunanya adalah untuk mencegah luka agar tidak membusuk. Tapi ketika Mary bertanya apakah Abdias akan selamat, wanita itu hanya menghelas nafas. Ia mengedikkan bahu ke arah Barabbas dan berkata, “Ia juga harus dirawat.”

Barabbas menyangkal dengan cibiran, tetapi sang dukun bayi tak menyerah.

“Kau dapat menutupinya di depan orang lain, tapi aku tahu kau sedang demam. Kau menyembunyikan luka. Luka itu menggerogotimu. Dalam satu-dua hari, kondisimu akan sama parahnya dengan bocah malang ini.”

Barabbas bersikukuh menganggapnya hanya beromong kosong. Rachel mendorong mereka berdua keluar ruangan.

“Jangan ribut di dekat Abdias,” bisiknya sebelum memaksa Barabbas agar mau dirawat. “Kami akan membutuhkanmu untuk menolong temanmu. Jadi jangan sampai kau sekritis dia.”

Sambil bersungut-sungut, Barabbas menyibakkan bajunya. Sepotong sobekan kain menutupi luka yang masih mengucurkan darah di kaki kanannya. Sang dukun bayi bergidik dan berdecak jijik melihat luka itu. Sedikit daging menyembul di tungkainya. Luka itu sebenarnya tidak terlalu parah, tapi tidak terawat sehingga mengeluarkan nanah.

“Kau lebih kotor daripada kutu!” desis wanita itu.

Dengan gerakkan kaku karena terkejut, ia merobek pakaian Barabbas sehingga terpampnglah bagian atas tubuhnya yang bercodet dan penuh luka di sana-sini.

“Lihat itu! Parutan luka, memar-memar...Sejak kapan kau tidak mandi?”

Barabbas mendorong dukun bayi dengan marah dan mengeluarkan sumpah serapah.Tetapi wanita itu merenggut lehernya dengan keras dan memaksanya mendengarkan kata-katanya. Posisi mereka begitu dekat sehingga orang yang melihat bisa saja menyangka bahwa mereka akan berciuman.

“Tutup mulutmu, Barabbas! Aku tahu siapa kau. Kau sangat terkenal di sini. Aku tahu apa yang kau lakukan dan mengapa kau bertempur. Memang keberanianmu sudah terbukti. Tak ada gunanya mati konyol karena hatimu tersayat melihat teman kecilmu di ambang kematian. Pakai otakmu. Obati luka-lukamu. Istirahatlah beberapa waktu dan kau bisa menolongnya.”

Otot-otot Brabbas berhenti menegang. Dilemparkannya pandangan ke ruangan tempat Mary dan Abdias berada. Pundaknya lemas. Walaupun tak ada airmata di pipinya, Rachel dan sang dukun bayi memahami getaran bibirnya. Mereka memalingkan wajah tak tega.

Sesaat kemudian, Barabbas terkulai di bak mandi yang sudah disiapkan para pelayan dan terlelap. Ia remuk sampai ke batinnya. Sang dukun bayi tersenyum dan berbisik pada Rachel bahwa obatnya telah bekerja.

Di sebelahnya, Maryam memandang heran wajah Mary. Air muka serius namun ramah telah berganti menjadi seraut wajah tegang dan membeku, penuh amarah sekaligus duka yang mendalam. Tatapan tajamnya seolah bukan memandang tubuh Abdias. Mungkin punggungnya bergetar di balik lipatan tunik. Nafasnya sama tersendat dengan pemuda yang tengah pingsan itu.

Dalam kebingungannya, Maryam tak mampu mengucapkan sepatah kata pun. Namun ia sangat ingin tahu siapa gerangan pemuda Am-haretz yang memporak-porandakan perasaan temannya itu. Mary kerap menyebut nama Abdias ketika mereka sedang bercanda. Ia pun berkali-kali menceritakan perihal Barabbas, yang Mary kagumi dalam hal keberanian dan keteguhannya, tapi juga sangat angkuh.

Dengan ragu, Maryam menyentuh tangannya. “Kau juga harus istirahat. Kau hampir tak tidur malam ini. Biar aku yang menjaganya. Tak usah khawatir. Jika ia sadar, kau akan segera kupanggil.”

Mary tak langsung bereaksi. Maryam menduga gadis itu tak mendengar kata-katanya. Ia hendak mengulanginya kala Mary mengangkat kepala dan memandangnya. Ia tersenyum ganjil. Senyuman tanpa keceriaan tapi sangat lembut dan mengokohkan wajahnya bagai keramik yang rapuh.

“Tak usah,” katanya sekuat tenaga. “Abdias membutuhkan aku. Ia tahu aku di sini dan memerlukanku. Kekuatannya terasa dalam hatiku.”

* * *

Barabbas bangun tatkala matahari belum tinggi. Ia segera teringat pada Abdias dan khawatir ia telah siuman. Si dukun bayi menggeleng dan tidak memberinya kesempatan untuk bertanya sebelum merawatnya. Setelah wanita itu selesai membalut pahanya dengan perban yang membuat kakinya terasa kaku, Barabbas mendekati Mary.

Air muka gadis itu menunjukkan bahwa ia tak menyadari kehadiran Barabbas. Dengan gerakan lembut, sesekali ia menyeka kening Abdias atau meminumkan beberapa tetes obat. Kali lain ia mengelus lengan, pipi, atau tengkuknya. Mulutnya berkomat-kamit mengucapkan perkataan yang tak dipahami Rachel serta Maryam, yang berjaga di sisi lain pembaringan.

Tiba-tiba suara lantang Barabbas terdengar. Wajahnya menoleh pada Mary, seolah-olah ia khusus berbicara dengannya.

“Mathias, yang bertemu kita di Nazaret, rumah Yusuf, suatu hari datang ke dekat Gabara, tempat kami bersembunyi dari tentara. Ia bertanya, ‘Sampai kapan kau bertingkah seperti tikus begini? Kami membutuhkan orang untuk melawan Herodes dan menciptakan banyak kesulitan baginya. Seribu orang siap mengikutimu. Pengikutku hanya separuhnya tapi senjataku banyak. Tetap saja pendapatku tak berubah. Kita harus bertempur. Dan walaupun harus mati, maka biarlah kita meregang nyawa saat menikam bangsat itu!’ Ia benar. Aku bosan bersembunyi. Juga bosan memikirkan penolakanmu, Mary. Mungkin kau benar, kita membutuhkan raja baru. Tapi ia takkan muncul hanya karena kau mengharapkannya. Maka, kujabat tangan Mathias dan menyetujuinya. Begitulah semuanya berawal.

Mulanya persenjataan mereka yang lebih baik membuatku terkejut. Mereka cukup banyak untuk melakukan serangan terus-menerus di sejumlah tempat. Di jalan, pada pasukan yang lewat, di kamp dan jalan-jalan setapak menuju desa... Para serdadu Herodes tak mampu bertahan, langsung kocar-kacir meninggalkan banyak korban jiwa di medan perang. Atau kalaupun mereka bertahan karena lebih banyak, Mathias dan Barabbas bergerak sangat cepat sehingga musuh harus mampu mengejar kami. Sering kali, kami dengan mudah merampok gudang persediaan atau membakarnya.

Dalam beberapa bulan saja, pasukan Herodes mulai digerogoti kecemasan. Para tentara takut berpindah jika tidak dalam rombongan besar. Tak ada kamp di Galilea yang cukup aman untuk mereka. Perampokan dan pembakaran gudang persediaan menggoyahkan kekuatan legiun. Para pejabat Roma begitu khawatir sehingga memanggil banyak bala tentara untuk menjaga mereka sendiri.

Namun Herodes tetap tak waras. Orang-orang Roma yakin akan hal itu dan tak sanggup memberitahukan hal sebenarnya. Di istana, sulit bagi seseorang membedakan kebenaran dan kebohongan. Semua berlangsung persis dugaanku. Inilah saat terbaik berbuat makar.

Setiap hari, orang-orang datang bergabung untuk bertempur di wilayah masing-masing. Di desa-desa Galilea dan sebelah utara Samaria, kami menerima mereka dengan tangan terbuka. Para petani tak lagi enggan memberi makanan atau tempat bersembunyi sementara. Bahkan karena pertempuran melawan kaum tiran dan kaki tangannya menghasilkan pangan yang cukup, semua itu dapat dibagi rata antara petani dan petarung.”

Terdorong oleh kekuatan baru mereka, Barabbas dan Mathias memutuskan untuk melancarkan serangan kian jauh dari Galilea. Peperangan tak pernah besar, tetapi sangat cepat dan mematikan. Awalnya di Samaria, lalu di pelabuhan Dora, di wilayah Fenisia, tempat mereka memperoleh sejumlah besar senjata di sisi lain laut. Mereka memperolehnya sebagai imbalan membebaskan budak. Orang-orang Barbar dari Utara, yang beberapa di antaranya tinggal bersama mereka. Mereka menyerang Sichem dan Akrabeta, di gerbang-gerbang Yudea, menantang anak lelaki Herodes yang selamat karena mengungsi ke benteng Alexandrion.

“Kami tak perlu memerangi mereka karena Herodes sendiri yang membunuhnya bulan purnama yang lalu!”

Setelah beberapa kali menang, antusias menjalar di desa-desa.

“Bahkan para rabi berhenti mengutuk kami di sinagog,” kisah Barabbas datar. “Ketika kami memasuki desa yang tidak diawasi tentara, penduduk menyambut kami dengan nyanyian dan tarian. Begitulah perjalanan kami berlangsung.”

Ia terus berbicara, seolah harus membersihkan jiwanya dari kejadian besar dan luar biasa yang ia alami beberapa bulan terakhir. Mary tak mengalihkan pandangannya dari Abdias. Satu-satunya tanda bahwa ia mendengarkan perkataan Barabbas adalah wajah yang terangkat menghadap pemuda itu sementara Rachel dan Maryam menyimak penuturannya.

Barabbas menunjuk Abdias dengan gerakan kesakitan yang hampir menyerupai sebuah belaian.

“Dia juga senang. Ia selalu senang bertarung. Dalam pertempuran saat memegang senjata dan berhadapan dengan orang-orang Herodes, ketika para bajingan itu beraksi, ia sangat mahir. Kemampuannya melebihi ukuran tubuhnya. Juga dari fisiknya yang masih anak-anak. Tak berlebihan jika aku bangga. Ia lebih cerdik daripada kera dan lebih berani dari kami semua. Sungguh, ia suka bertarung. Ia membalas dendam...”

Barabbas terdiam. Menatap tangan Mary dan membelai lengan Abdias, dan menyeka pelipisnya tanpa suara. Pemuda itu menggeleng.

“Abdias lah yang mencetuskan gagasan untuk kembali ke Galilea untuk menyerang benteng Tiberias. Ia ingin melakukan sesuatu yang hebat. Bukan untuk pamer, tapi menunjukkan pada semua orang bahwa pada akhirnya semua lagiun Roma bertekuk lutut pada kami, seperti halnya tentara-tentara Herodes. Bahkan di tempat mereka menjadi lebih kuat.

“Kami harus menemukan tempat yang tersembunyi. Kami tengah mempertimbangkan benteng Yerusalem atau Kaesaria. Tetapi Abdias bilang padaku, ‘Kita harus merampas Tiberias. Kita pernah hampir melakukannya.’”

Itu benar. Serangan tatkala mereka menyelamatkan Joachim telah membuktikan kelemahan benteng itu. Orang-orang Roma terlalu bodoh dan terlalu yakin pada diri sendiri dan terlalu percaya diri sehingga lupa untuk memperbaikinya. Bodohnya mereka membangun kembali barak-barak di pasar dan bangunan kayu yang mengelilingi tembok batu. Seperti pertama kali, aksi dilancarkan dengan membakarnya.

Tetapi untuk kali ini, alih-alih mengambil kesempatan dari kepanikan orang-orang akibat kebakaran, mereka merusak gerbang-gerbang. Mereka merasa berjumlah cukup banyak untuk menguasai wilayah itu.

Di lain pihak, Barabbas dan Mathias yakin bahwa sekali pertempuran terjadi dan begitu sedadu serta legiun dapat ditundukkan, maka orang-orang Tiberias akan berbondong-bondong membawa perang dan kampak untuk turut bertempur.

Barabbas melanjutkan, “Satu-satunya kesulitan adalah menghindari timbulnya kecurigaan mata-mata Herodes. Kami tidak boleh terlihat bergerombol di kota pada esok harinya.”

Kedua gerombolan itu akhirnya dibagi menjadi tiga atau empat kelompok kecil. Dengan menyamar sebagai pedagang, petani, seniman dan bahkan pengemis, para pemberontak ini bersembunyi di celah-celah bukit, di desa nelayan antara Tiberias dan Magdala. Ini memakan waktu hampir sebulan lamanya.

“Tentu saja beberapa orang telah mencurigai kami,” Barabbas mendesah. “TApi kami pikir...”

Ia terdiam sejenak.

Siapa yang telah disuap? Pengkhianat dari kelompok Mathias kah? Ataukah kelompoknya? Seorang nelayan? Seorang petani yang bernyali kecil? Atau seorang nista yang ingin meraup sejumlah uang dari kematian mereka?

“Kami tak pernah tahu, tapi kurasa dia adalah salah seorang dari kami. Kalau tidak, bagaimana mereka tahu tempat Mathias dan aku menginap? Abdias bersama kami. Pasti itulah yang diceritakan pengkhianat bahwa Mathias dan aku ada di desa itu. Ia cukup membekuk kami saja agar yang lainnya tak bisa bertempur lagi.”

Dua malam sebelu serangan itu, pagi-pagi sekali tatkala seisi desa masih pulas, si jago merah melahap pondok-pondok beratap jerami. Malamnya, Sebuah kapal perang besar berlabuh di danau, di sebuah dermaga kecil. Senjata perang kuno yang dipasang di kapal, memuntahkan lusinan lembing berapi ke atap-atap gubuk. Sementara penduduk pontang-panting dengan panik, sepasukan kavaleri Roma memasuki desa dari arah selatan dan utara. Mereka membantai anak-anak, wanita, orangtua dan para pemberontak tanpa terkecuali.

“Mudah saja bagi mereka melakukannya,” papar Barabbas. “Semua orang sangat panik. Anak-anak dan wanita menjerit, berlari kesana-kemari sebelum disepak kuda-kuda. Orang Roma sampai berjubel saking banyaknya. Kami sulit melakukan perlawanan karena hanya berlima. Mathias dan dua anak buahnya, Abdias dan aku. Mathias tewas seketika. Abdias menolongku menyelamatkan diri...”

Barabbas tidak mampu berkata-kata lagi. Tangannya mengusap wajah, berusaha menghapus apa yang ia saksikan mesti sia-sia.

Kemudian suasana menjadi sunyi senyap. Begitu mencekam sehingga nafas pemuda Am-Haretz yang tersendat pun terdengar dengan jelas.

Tanpa sadar, Maryam mencengkeram tangan ibunya selama beberapa beberapa saat. Ia bersandar di dinding, menangis tanpa bersuara sambil berjongkok.

Mary tetap mematung. Rachel merasakan betapa Barabbas sangat menantikan gadis itu mengucapkan sesuatu. Tapi tak terdengar tanggapan dari mulut Mary. Ia hanya berkata dengan dingin.

“Abdias akan mati bila dibiarkan begini terus.”

Rachel gemetar.

“Kita harus berbuat apa? Dukun bayi itu bilang bahwa ia sudah berusaha maksimal. Di Magdala ini, hanya dia yang mampu merawat orang.”

Hanya satu yang dapat menyelamatkan nyawanya. Joseph. Ia ada di Beth Zabdai, dekat Damas. Ia menguasai ilmu pengobatan.

“Damas terlalu jauh! Paling tidak perjalanan ke sana makan waktu tiga hari. Apakah kau tak memikirkan itu?”

“Mungkin saja. Maksimal satu setengah hari kalau kita tidak berhenti di waktu malam dan keledainya sehat.”

Suara Mary kaku dan tajam. Jelaslah bahwa selama Barabbas berbicara, yang dipikirkannya hanyalah cara paling cepat untuk mencapai Damas. Ia mengangkat wajah ke arah Rachel. “Maukah Anda menolongku?”

“Tentu saja, tapi...”

Ini bukan saatnya berdebat. Tak ayal lagi jika terpaksa. Mary akan menggendong Abdias sampai ke Beth Zabdai. Rachel berdiri tanpa mengindahkan tatapan kaget Barabbas.

“Ya...Kau boleh pakai keretaku. Akan kusuruh Rekab untuk menyiapkannya.”

“Ia harus menjadikannya lebih nyaman,” Mary berkata. “Kita harus membawa perban, air dan ramuan. Juga orang kedua untuk mengemudikan kereta. Di perjalanan, kusir harus bergantian, Kita harus cepat-cepat berangkat.”

Ucapannya terdengar memerintah. Namun Rachel mengangguk tanpa membantah. Maryam bangkit sambil menyeka airmatanya dengan ujung baju.

“Yah, kita harus bergegas. Aku akan membantumu dan ikut denganmu.”

“Tidak,” tukas Barabbas. “Aku akan pergi. Harus laki-laki yang menjadi kusir.”

Mary tak meliriknya, menyetujui atau menolak bantuannya.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar